Wasiat

Suara monitor jantung di ruang VIP rumah sakit terdengar monoton.

"Beep... beep... beep," teratur namun terasa dingin. Bau antiseptik dan obat-obatan memenuhi udara, menusuk hidung Lovy hingga membuatnya ingin batuk.

Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan dress mini merah muda yang malam tadi membuatnya percaya diri. Tapi sekarang? Ia merasa dress itu seperti pakaian badut. Terlalu mencolok. Terlalu salah.

Tapi ia berusaha berjalan dengan tampilan percaya diri. Lagi pula sekarang masih jam 5 subuh. Harusnya tidak ada yang memperhatikan pakaiannya.

Ia menarik napas dalam, mencoba menelan kegugupannya. Perlahan, ia melangkah masuk. "Nenek…" bisiknya pelan.

Di atas ranjang putih itu, neneknya—Margaretha Luwiys, wanita yang membesarkannya setelah orang tua Lovy meninggal—terbaring dengan wajah pucat. Napasnya tipis. Tangannya yang dulu selalu sibuk mengaduk kue atau merapikan rambut Lovy, kini terkulai lemah.

Meski begitu, mata nenek itu masih terbuka. Masih penuh kasih sayang, meski jelas ada rasa lelah.

"Lovy Crisela Luwiys," suara neneknya serak tapi tegas. "Akhirnya… kamu datang juga sebelum Nenek mati."

Lovy buru-buru mendekat, duduk di sisi ranjang, dan meraih tangan keriput itu. Dingin. Rapuh. Tapi masih ada sedikit kekuatan.

"Aku datang, Nek," ucap Lovy, memaksakan senyum. "Jangan ngomong aneh-aneh. Nenek pasti sembuh. Kita masih bisa pergi belanja, jalan-jalan ke mall, atau… kita bisa ke spa bareng, kayak dulu. Nenek suka ‘kan? Aku traktir deh—"

Neneknya tersenyum tipis, wajah tuanya penuh keriput, tapi matanya hangat. "Nak… kamu selalu bicara seenaknya. Tapi… nenek suka. Kecuali—" mata sayu itu menatap pekaian Lovy. "Pakaianmu ini, nenek tidak suka..." lanjutnya menggeleng lemah.

Lovy yang mendengar itu semakin ingin menangis kencang. Ia merasa ingin menepuk dahinya segera karena lupa mengganti pakaiannya sebelum bertemu neneknya. "Maaf, Nek. Aku tadi sangat kalut. Jadi... asal mengambil pakaian," sangkalnya. Takut neneknya justru semakin mempermasalahkan pakaiannya di tengah kesehatan neneknya yang menurun drastis.

Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara alat medis yang terdengar, mengisi celah di antara kata-kata mereka.

Lovy menggenggam tangan itu lebih erat dengan kepala semakin menunduk. Di balik wajah ‘cegil’ yang selalu ditunjukkannya pada dunia, ada satu orang yang selalu membuatnya lembut: neneknya.

Tiba-tiba, neneknya memanggil dengan nada yang berbeda. Lebih serius. Lebih berat. "Lovy..."

Lovy mengangkat wajah, merasa ada sesuatu. "Ya, Nek?"

"Kamu sudah… dua puluh tujuh tahun. Saatnya menikah."

Lovy memejamkan mata, menghela napas panjang. "Nenek, jangan bahas itu lagi. Aku—"

"Dengar dulu." Suara neneknya tajam, berbeda dari tadi. Genggaman tangannya mengejutkan Lovy, lebih kuat dari yang Lovy duga. "Aku sudah pilihkan seseorang untukmu."

Mata Lovy membulat. Ia langsung bangkit sedikit. "Apa?! Nek, aku nggak mau dijodohin! Aku bisa pilih sendiri!" teriaknya. Ia merasa keputusan neneknya sangat tidak adil untuknya. Apalagi ia paham betul arah pembicaraan neneknya tidak mengarah ke pacarnya karena neneknya jelas tidak suka hubungannya dengan William.

"Terlambat," kata neneknya tenang. "Aku sudah buat perjanjian. Kamu hanya perlu pergi ke Jakarta. Ada alamatnya di kertas ini..."

Nenek dengan susah payah merogoh laci meja di samping ranjang. Tangannya bergetar hebat saat menarik keluar sebuah amplop putih. Tubuh Lovy yang kaku buru-buru membantu, memegang amplop itu.

Amplop itu ringan, hanya berisi secarik kertas. Tapi bagi Lovy, rasanya berat. Seperti mengandung seribu ton masalah. Ia memegang dengan perasaan pasrah.

"Nenek…" Lovy menatap amplop itu lalu mengangkat wajah.

"Aku nggak kenal dia. Aku nggak pernah ketemu. Wajahnya aja aku nggak tahu! Gimana kalau dia—tua? Atau botak? Atau punya hobi koleksi ular?" ucap Lovy yang otaknya penuh dengan prasangka menakutkan. Ia juga berharap ucapannya bisa menjadi alasan agar neneknya membatalkan niat perjodohan itu.

Nenek tersenyum samar. "—atau justru lebih baik dari semua laki-laki yang pernah kamu temui," katanya dengan tatapan penuh arti. "Kamu akan menikah dengannya, Lovy. Dan itu sudah keputusan final."

Lovy terdiam. Kata "menikah" itu seperti bom jatuh di kepalanya.

"Nenek..." suaranya bergetar, setengah ingin membantah, setengah ingin menangis.

Namun tiba-tiba suara monitor jantung itu berubah. Bunyi "beep" menjadi lebih cepat… lalu melambat drastis.

"NEK!" Lovy panik. Ia mengguncang tangan neneknya. "Nenek, jangan bercanda! Jangan begini!"

Mata yang tadi terbuka perlahan tertutup. Neneknya terdengar menghembuskan hafas. Dan itu membuat Lovy semakin mengeratkan genggamannya seraya mengelus kepala neneknya lembut.

Pintu terbuka. Samuel—sepupu Lovy, pria tinggi berwajah dingin yang jadi bosnya di kantor—berlari masuk bersama dokter dan perawat.

"Apa yang terjadi?!" Samuel bersuara keras.

Para perawat memeriksa neneknya, dokter mencoba melakukan CPR. Lovy bergegas mundur. Ia berdiri terpaku, matanya besar, napasnya tercekat. Air matanya mengalir deras. Ia menunggu dengan harapan neneknya masih bisa diselamatkan.

Namun dalam hitungan detik yang terasa seperti berjam-jam, garis di monitor itu berubah lurus.

"Code blue," bisik salah satu perawat.

Dunia mendadak hening.

Lovy memandang layar itu kosong. Kepalanya berputar. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Nenek?" Ia berlari kecil menyentuh wajah neneknya yang kini tenang. Terlalu tenang.

"NEK!" jeritnya, air mata akhirnya pecah, deras.

Samuel mendekat, memegang bahunya. "Lovy…"

"Jangan sentuh aku!" Lovy menepisnya, lalu menunduk lagi, memeluk tubuh neneknya. Tangisnya pecah tanpa ia pedulikan siapa saja yang melihat.

"Nenek! Kenapa meninggalkanku, Nek! Bangun, Nek! Lovy nggak akan nakal lagi, asal Nenek bangun! Hiks... Nenek! Lovy akan turuti semua keinginan Nenek dan nggak akan membantah lagi, Nek! Tapi tolong, jangan tinggalin Lovy!" teriak Lovy meraung-raung dengan air mata yang sudah membanjiri pelupuk matanya.

Samuel yang melihat itu dengan air mata yang ikut terun. Ia hanya bisa diam membiarkan sepupunya meluapkan semua emosinya.

Langit di luar masih gelap. Hujan juga mulai membasahi bumi seolah paham akan duka yang tengah dihadapi kedua sepupu ini. Hati mereka harus merelakan kehilangan sosok yang menjadi penjaga mereka setelah kedua orang tua mereka berdua tiada.

 ***

Keesokan harinya, langit mendung menutup upacara pemakaman. Hujan gerimis jatuh pelan. Semua orang memakai pakaian hitam. Payung-payung gelap berjejer di antara batu nisan.

Lovy berdiri di tepi pusara, wajahnya tanpa riasan, matanya sembab. Dress hitam panjangnya basah di ujung karena hujan, tapi ia tidak peduli.

Ia menatap tanah merah yang menutup peti neneknya. "Kenapa kamu ninggalin aku, Nek… kenapa sekarang?" bisiknya, suaranya hampir hilang ditelan hujan.

Samuel berdiri di sampingnya, memegang payung. Ia menyodorkan sapu tangan putih. "Lovy," panggilnya pelan.

Lovy tidak menoleh. "Aku nggak butuh."

Samuel menahan napas, tahu ini bukan waktu untuk berdebat.

Saat upacara selesai, orang-orang memberi pelukan dan ucapan bela sungkawa. Lovy hanya mengangguk, wajahnya datar. Setelah itu ia langsung masuk ke mobil, menutup pintu dengan keras.

Malam itu, rumah keluarga Luwiys sunyi. Foto nenek Lovy yang sedang tersenyum kini dipajang di altar kecil dengan lilin menyala di sampingnya.

Lovy duduk di lantai kamarnya. Dress hitam masih menempel di tubuhnya. Ia belum mandi, belum berganti baju. Wajahnya nampak lelah tidak bertenaga.

Di meja, amplop putih dari neneknya tergeletak, seolah mengejek.

Lovy menatap amplop itu. Lama. Entah kekuatan dari mana, hingga akhirnya ia meraih dan membuka lipatan amplop itu.

Di dalamnya, hanya ada secarik kertas dengan tulisan alamat di Jakarta dan sebuah catatan kecil dari neneknya. Tulisan itu jelas tulisan tangan neneknya—huruf miring rapi dengan sedikit goyah di ujung.

"Lovy, kalau kamu mencintaiku, turutilah ini."

[Pilihan nenek tidak akan mengecewakanmu. Dan satu lagi, jika kamu menolak menikahinya, semua harta nenek akan kuhibahkan ke yayasan.]

Lovy menatap catatan itu lama.

Lalu, reaksinya datang seperti badai. "Apa?!" jeritnya, suara membahana di kamar sepi itu. Ia membaca ulang. Dan membaca lagi.

"Kalau aku nggak nikah, harta nenek pindah ke yayasan?! What?! Yang bener aja! Jadi aku cuma dikasih dua pilihan: nikah sama orang asing atau jadi gelandangan?!"

Lovy berdiri, meremas kertas itu, lalu melemparnya ke kasur. "Oh no, oooh my god! Nenek! Kamu juga cegil kayak aku!"

Ia mondar-mandir di kamar. Tangan di pinggang, wajah kusut.

"Siapa sih pria ini? Kenapa nenek begitu percaya sama dia? Dan kenapa harus aku yang jadi korban?! Aku Lovy Crisela Luwiys, cegil kebanggaan keluarga Luwiys—aku nggak bisa disetir kayak gini!"

Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Pandangannya jatuh lagi pada secarik kertas itu.

Di sana, ada alamat. Jakarta.

Nama kota itu terasa asing, dingin, dan menakutkan di telinganya.

Lovy menatap kertas itu lagi. Ia membayangkan pria itu—apakah dia orang tua? Apakah dia pria berperut buncit? Atau mungkin pria super tampan yang terlalu sempurna?

"Jangan-jangan dia monster berkedok manusia…" gumamnya, dramatis.

Ia lalu terjatuh di kasur, menatap langit-langit kamar. Air mata kembali turun, tapi kali ini bukan hanya karena sedih—tapi karena marah, bingung, dan… takut. "Warisan atau jadi gelandangan," bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa aku siap?"

Tidak ada jawaban.

Hanya suara hujan di luar jendela.

Tapi di dalam hati Lovy, badai sudah mulai menggulung—dan ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

****

Terpopuler

Comments

Fatihah

Fatihah

ini pemakaman neneknya pacarnya tuh gak datang? bener bener sakit sih pacarnya itu.... putus aja cepat lah

2025-09-04

1

𝐌𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭𝐨᷼𝐨𝐧

𝐌𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭𝐨᷼𝐨𝐧

lanjut kak updatenya... penasaran sama kelanjutannya

2025-08-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!