episode 5

Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Jenia baru saja selesai mengurus beberapa dokumen dan berniat membawa berkas tambahan ke ruang meeting di lantai atas. Ia berjalan pelan di lorong, menyeimbangkan tumpukan map di tangannya.

Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang familiar dari dalam ruang kerja semi-terbuka.

Suara itu… milik Bastian dan suara lain yang sangat ia kenal, Vita.

Awalnya Jenia tak berniat menguping, tapi begitu ia mendengar namanya disebut, kakinya seakan menancap di lantai.

“Bas, kamu nggak usah terlalu sering ngobrol sama Jenia deh. Aku nggak suka lihatnya,” ujar Vita dengan nada manja tapi penuh tekanan.

Hening sejenak, lalu suara Bastian terdengar datar.

“Kenapa kamu harus khawatir? Jenia itu… bukan levelku. Dia hanya karyawan biasa. Aku nggak akan mungkin suka sama dia. Jadi kamu tenang saja.”

Deg...

Seakan seluruh dunia berhenti berputar. Nafas Jenia tercekat, matanya membesar tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apa pun yang pernah ia bayangkan.

Tangannya bergetar, hampir saja map yang dibawanya jatuh. Ia buru-buru menempelkan tubuhnya ke dinding, berusaha menahan suara tangis yang hendak pecah.

Vita terdengar terkekeh puas. “Nah gitu dong. Aku nggak mau ada cewek lain yang deket sama kamu.”

Jenia tidak sanggup lagi. Dengan langkah terburu-buru ia memilih menjauh sebelum air matanya benar-benar jatuh. Ia masuk ke toilet, mengunci pintu, dan akhirnya pecah.

“Bukan level…? Jadi selama ini memang cuma aku yang bodoh berharap.”

Di jam makan siang, Jenia memilih tidak ikut Leony ke kantin. Ia duduk sendirian di rooftop gedung, memandang langit yang sedikit mendung. Di kepalanya, suara Bastian terus terulang. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menguatkan diri.

“Mungkin ini saatnya benar-benar berhenti, Jen. Dia bahkan nggak pernah menoleh ke arahmu.”

Namun tanpa disadari, dari kejauhan Rehan memperhatikannya. Ia sempat melihat Jenia berlari keluar toilet dengan mata merah, dan kini wajah sendunya di rooftop menambah rasa ingin tahunya. Rehan menghela napas. Apa yang sebenarnya terjadi sama dia? batinnya.

Sementara itu, di ruangannya, Bastian menatap layar komputer tanpa fokus. Entah kenapa, setelah mengucapkan kata-kata itu pada Vita, dadanya terasa berat. Ada penyesalan samar yang tidak bisa ia jelaskan.

Kenapa aku harus bilang begitu?

Tapi ia mengusir perasaan itu, menutupi dengan sikap dinginnya seperti biasa.

Yang tidak ia sadari, kata-kata singkatnya sudah berhasil menghancurkan hati seseorang yang diam-diam selalu mencintainya.

Sore itu setelah jam kerja selesai, Jenia memilih pulang lebih awal. Wajahnya masih terlihat lelah, matanya sembab meski sudah ia tutupi dengan bedak tipis. Di parkiran, ia mendapati Rehan berdiri sambil bersandar di mobil hitamnya, seolah memang sengaja menunggunya.

“Jenia,” panggil Rehan lembut.

Jenia sempat kaget. “Eh, Mas Rehan? Kenapa di sini?” tanyanya kikuk.

Rehan tersenyum kecil. “Kebetulan aku ada urusan di kantor Bastian. Terus… aku lihat kamu keliatan nggak baik-baik aja dari tadi siang.”

Nada suaranya penuh perhatian, membuat hati Jenia sedikit hangat.

Jenia menunduk, pura-pura sibuk merapikan tasnya. “Aku baik-baik aja kok.”

Rehan menghela napas, lalu berkata pelan, “Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi kalau kamu butuh temen cerita… aku siap dengerin. Jangan simpan sendiri, Jen. Itu bikin sakitnya makin parah.”

Kata-kata itu membuat pertahanan Jenia runtuh. Air matanya nyaris jatuh, namun ia buru-buru menepisnya dengan senyum tipis. “Makasih, Mas. Tapi aku nggak mau bikin orang lain repot dengan masalahku.”

Rehan menatapnya lama, kemudian mengangguk. “Kalau gitu, izinin aku minimal nemenin kamu makan. Aku nggak mau kamu pulang dengan perut kosong.”

Awalnya Jenia ingin menolak, tapi akhirnya ia luluh. Mereka makan di sebuah warung sederhana tak jauh dari kantor. Suasana hangat tercipta, tawa kecil Jenia perlahan kembali muncul. Rehan pun merasa lega bisa membuatnya sedikit lebih tenang.

Keesokan harinya di kantor, perubahan Jenia mulai terlihat. Ia tidak lagi menoleh atau mencari-cari Bastian. Tidak ada senyum ramah, tidak ada tatapan diam-diam seperti dulu. Setiap kali Bastian memberi arahan kerja, Jenia hanya mengangguk singkat dengan ekspresi datar.

“Baik, Pak,” jawabnya singkat, lalu segera berlalu tanpa memberi celah.

Bastian sempat terdiam, merasa ada yang aneh. Biasanya gadis itu selalu menunduk malu atau salah tingkah saat bicara dengannya. Tapi sekarang… dingin.

Di meja kerjanya, Bastian tanpa sadar memandang Jenia yang serius mengetik. Ada rasa asing yang muncul, seperti kehilangan sesuatu yang dulu sering ia abaikan.

Kenapa sikap dia berubah? batinnya gelisah.

Sementara di sisi lain, Rehan makin gencar hadir di sekitar Jenia. Entah menjemputnya pulang, sekadar menanyakan kabar, atau mengajaknya makan siang. Perhatian itu membuat Jenia merasa lebih dihargai dan mulai menyadari ada pria lain yang selama ini diam-diam peduli padanya.

Dan di tengah semua itu, Bastian justru makin terganggu dengan dinginnya sikap Jenia.

Hari pertama Jenia di kantor cabang barunya berjalan cukup melelahkan. Ia harus beradaptasi dengan tim baru, sistem baru, juga lingkungan kerja yang jauh berbeda dengan pusat. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit lega ia tidak lagi harus melihat Vita yang selalu menempel pada Bastian.

Saat sedang menata dokumen di meja kerjanya, suara familiar terdengar.

“Surprise!”

Jenia terperanjat. Di hadapannya berdiri Rehan, dengan senyum hangat yang selalu berhasil menenangkan.

“Kamu… ngapain di sini?” tanya Jenia dengan dahi berkerut.

Rehan menyodorkan kotak makanan. “Aku ada urusan meeting di cabang sini, sekalian mampir. Aku tahu kamu pasti belum terbiasa, jadi aku bawain makan siang.”

Jenia menatapnya tak percaya. “Rehan, kamu nggak harus repot-repot begini.”

“Tapi aku mau,” jawab Rehan singkat namun tulus. Senyum itu membuat hati Jenia bergetar sesuatu yang dulu hanya ia rasakan saat memandang Bastian.

Sementara itu, di kantor pusat, Bastian duduk termenung di ruangannya. Sejak kepergian Jenia, ia merasa kantor begitu sepi. Vita beberapa kali mencoba menghiburnya, tapi entah kenapa justru membuatnya makin jengah.

Di depan laptopnya, ia tanpa sadar mengetik nama Jenia di kolom pencarian media sosial, lalu menatap lama foto profil gadis itu. “Kenapa aku kepikiran terus?” gumamnya lirih.

Sekretarisnya yang mengetuk pintu membuat Bastian tersadar. “Pak, ini laporan dari cabang Surabaya. Sudah datang pagi tadi.”

Bastian meraih dokumen itu, matanya langsung tertumbuk pada tanda tangan Jenia di lembar persetujuan. Bibirnya mengulas senyum samar sesuatu yang jarang ia lakukan.

Malamnya, Jenia duduk di balkon kos barunya, menatap lampu kota yang berkelip. Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk.

Rehan:

"Besok weekend, mau aku ajak keliling kota? Biar nggak bosan sendiri di sini."

Jenia tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar tulus memperhatikannya. Ia mengetik balasan singkat.

"Boleh."

Namun, sebelum ponselnya ia letakkan, muncul notifikasi lain email dari kantor pusat. Pengirimnya: Bastian.

Subjek: “Laporan mingguan”

Isinya biasa saja, tapi di akhir kalimat Bastian menambahkan sesuatu yang tidak resmi:

"Jaga kesehatan di sana. Jangan terlalu memaksakan diri."

Jenia terdiam lama. Tangannya bergetar, hatinya kembali goyah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!