Ruangan lobi perusahaan itu terasa begitu megah dengan langit-langit tinggi, lampu kristal yang berkilau, dan lantai marmer yang licin hingga bayangan siapa pun bisa terpantul jelas. Jenia berusaha menenangkan debaran jantungnya. Pertemuan tak terduga dengan Bastian barusan membuat pikirannya kacau.
Leony, yang sedari tadi menggandeng tangannya, menoleh penasaran.
“Jen, aku heran deh. Kenapa kamu kayak bengong gitu sih tadi? Jangan-jangan kamu....”
“Sudahlah, Leony… kita fokus aja ke wawancara dulu,” potong Jenia cepat sambil pura-pura sibuk merapikan map berisi dokumen.
Mereka berdua akhirnya diarahkan ke lantai 10 oleh resepsionis. Sepanjang perjalanan dalam lift, Jenia hanya bisa menunduk. Bayangan wajah Bastian tadi seakan memenuhi ruang pikirannya. Tatapan matanya, suara dalam yang singkat, bahkan aroma parfum maskulin yang sempat tercium… semuanya masih jelas melekat.
Kenapa harus ketemu dia lagi setelah sekian lama? batinnya.
Di ruang tunggu, puluhan kandidat sudah menunggu dengan rapi. Leony sibuk menghafal jawaban wawancara dari catatan kecilnya, sementara Jenia justru semakin resah.
“Nomor 15, Jenia,” panggil salah satu staf HRD.
Degup jantung Jenia langsung melonjak. Ia berdiri dengan tangan sedikit bergetar, namun mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. Pintu ruangan terbuka, dan seketika langkahnya terhenti.
Di ujung meja panel wawancara, duduklah sosok yang sangat ia kenal.
Bastian.
Ia terlihat begitu berwibawa dengan jas hitam rapi, kemeja putih, dan dasi biru tua. Wajahnya dingin, fokus menatap berkas di tangannya. Jenia nyaris kehilangan kata-kata. ia membatin jadi dia kerja di sini?? dia...
“Silakan duduk,” ucap salah satu pewawancara senior membuat Jenia tersentak dari lamunannya, ia menarik kursi perlahan, berusaha agar suara detak jantungnya tidak terdengar keluar. Saat ia mendongak, pandangan matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Bastian. Dingin. Dalam. Membuat darahnya berdesir.
“Nama lengkap?” tanya pewawancara lain.
Dengan suara bergetar, Jenia menjawab. Ia berusaha tegar menjawab setiap pertanyaan, meski sesekali ia menangkap Bastian memperhatikannya. Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar.
Wawancara itu berlangsung sekitar 20 menit, dan akhirnya selesai. Jenia menghela napas panjang begitu keluar ruangan. Tubuhnya terasa lemas, namun hatinya dipenuhi rasa yang tak menentu.
Leony segera menghampirinya.
“Gimana, Jen? Lancar?”
“Hmm… lumayan,” jawab Jenia sambil tersenyum hambar. Ia tidak sanggup bercerita apa pun tentang kehadiran Bastian di dalam ruangan tadi.
Setelah wawancara selesai, Jenia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Saat ia menuruni tangga gedung menuju parkiran, langkahnya terhenti karena suara panggilan dari belakang.
“Iya sayang, ini aku sudah mau pulang”
Suara itu. Suara yang sama, yang dulu hanya bisa ia dengar dari jauh ketika Bastian memimpin rapat organisasi kampus.
Jenia menoleh. Bastian berdiri dengan ponsel menempel di telinganya, tangan yang lainnya dimasukkan ke saku celananya, tatapannya tak lagi dingin seperti tadi, melainkan lebih lembut.
melihat itu, seluruh dunia Jenia seolah berhenti berputar. ia tidak mengerti kenapa rasanya sangat menyesakkan dada. Jenia perlahan bersandar di dinding untuk menetralkan perasaannya, "Jen..sadar, kamu bukan siapa-siapa" katanya dalam hati berusaha menyadarkan dirinya.
setelah kurang lebih 10 menit ia menenangkan jantungnya, ia berjalan santai melewati Bastian yang masih sementara menerima panggilan dari ponselnya yang Jenia duga telepon dari kekasihnya. namun saat ia melewati Bastian, justru Bastian menoleh ke arahnya dan sedikit memperhatikan Jenia dari samping. ia terus melihat Jenia hingga sampai di tempat ia memarkirkan sepeda motornya, Bastian terus saja memperhatikan semua gerak gerik Jenia dari tempat ia berdiri.
Bastian yang sudah selesai menerima telepon, belum juga masuk ke dalam mobilnya meskipun sang sopir sudah berkali-kali memintanya untuk berangkat. Ia sedang terpesona dengan kecantikan Jenia yang memang sangat menawan siang itu, ia memakai kemeja putih dengan dua kancing depan terbuka, dengan rok span hitam di atas lutut yang memperlihatkan kaki jenjang mulusnya serta rambut yang dibiarkan terurai karena akan memakai helm. Bastian yang sempat terpaku, nampak terkejut saat tiba-tiba Jenia tidak sengaja melihat ke arahnya
Bastian langsung salah tingkah dan secepat membuang pandangannya ke arah lain. Ia lalu membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam, sopir menghidupkan mobil dan hendak berangkat namun tiba-tiba ponsel Bastian berdering sehingga ia terpaksa menerima panggilan terlebih dahulu. Ia kemudian mengambil kesempatan untuk turun dari mobil agar sang sopir tidak mendengar pembicaraannya.
"pak, bisa minta tolong hidupin motorku gak? aku udah mencoba hidupin tapi gak bisa. tolong ya pak" pinta Jenia pada sopir Bastian yang masih duduk di dalam mobil.
suara itu membuat Bastian terkejut karena begitu dekat di belakang ia berdiri. sang sopir yang ternyata adalah asisten pribadi Bastian itu dengan ramahnya keluar dari mobil dan pergi bersama Jenia menuju tempat di mana motor Jenia di parkir. Bastian yang menyaksikan itu mematung di tempatnya, ia tidak tahu harus berbuat apa. ia memilih masuk ke dalam mobil dan menunggu sang asisten.
"terima kasih pak, sudah membantu" ucap Jenia setelah motornya sudah bisa di hidupkan. "aku Jenia.." ucap Jenia lagi memperkenalkan diri kepada asisiten yang masih muda dan cukup tampan itu. interaksi mereka itu tidak luput dari pengamatan Bastian dari dalam mobil.
"siapa gadis itu??" tanya Bastian tiba-tiba pada asistennya sesaat setelah mobil keluar dari parkiran. "maksud bos yang tadi minta tolong??, namanya Jenia, karyawan yang baru selesai wawancara bos" jelas sang asisten. Bastian hanya mengangguk namun ia sedang mengingat-ingat nama itu yang seperti tidak asing di telinganya. ia juga merasa wajah Jenia tidak asing tetapi ia tidak ingat sama sekali.
"Sayang.....aku kangen sekali" pekik seorang gadis bernama Vita yang merupakan kekasih dari Bastian berlari menghampiri Bastian dan langsung memeluknya. Bastian pun tak kalah antusias menerima pelukan dari gadis tersebut. mereka berpelukan cukup lama hingga Bastian mengurai pelukannya dan mengajak sang gadis masuk. mereka duduk di ruang keluarga yang di desain sangat modern menambah megahnya rumah itu.
mereka bercengkrama begitu hangat seperti pasangan umumnya yang sudah lama tidak berjumpa.
"sayang, besok aku ikut kamu ke kantor ya?? please sayang.." mohon Vita.
"boleh, nanti aku minta Dion jemput kamu ya.." jawab Bastian.
"ternyata dia udah punya kekasih, tapi kenapa hati aku sakit ya??" Jenia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Ia kemudian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Halo, ada apakah gerangan tuan putri menghubungiku??" sapa seseorang dari seberang. "Jeff, aku mau tanya. seandainya kamu sudah punya kekasih, apa ada kemungkinan kamu tertarik sama gadis lain??" tanya Jenia pada sang sepupu yang bernama Jeff. "hahahhahaha... pertanyaan macam apa itu?? ya nggak mungkin lah.." jawab Jeff. "oh. ya udah, terima kasih untuk jawabannya. aku tutup dulu ya..bye!!" Nadia sedikit kesal dengan jawaban sepupunya itu, namun bagaimanapun ia harus menerima kenyataan jika Bastian tidak mungkin menyukainya. "hah.. ikuti sja alurnya" ucap Jenia menyemangati dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
2025-08-31
0