5 tahun. Bukanlah waktu yang sebentar bagiku mengarungi bahtera Rumah Tangga bersama sang suami RONALD VAN GIELS. Bagi kebanyakan orang, kami adalah pasangan yang paling berbahagia, sempurna dan serasi. Tapi, tidak bagiku ... karena belum dikaruniai seorang anak pun. Sebelum melangkah ke jenjang pernikahan kami sudah menjalankan berbagai serangkaian test kesehatan, semua normal, tidak ada kelainan, ‘Honey ... pabrik pembuat anak, siap beroperasi,’ candaku pada Ronald.
Di malam pernikahan, kami membuat iri semua orang. Di benak kami berjuta tumpuan dan harapan menari – nari. Semuanya seakan sudah dicapai. Aku adalah wanita yang paling berbahagia di dunia ini. Terasa bagai raja dan ratu walau hanya semalam, tapi, harkat dan martabatku sebagai seorang wanita tuntas sudah. Tapi, aku masih merasa kecewa, kebahagiaan kami masih belum lengkap.
Aku tak tahu mengapa ini harus terjadi pada kami di saat kami merngkuh kebahagiaan bersama. Aku merasa bahwa TUHAN ITU TIDAK ADIL. Saat kulihat kawan – kawan seumuran denganku, aku merasa iri, hatiku menjerit dan jiwaku berontak. Aku merasa bahwa aku adalah seorang wanita yang cacat di mata mereka. Mengapa ? Bayangkan saja ... sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai anak, apa yang akan kalian rasakan ? Dimana pun aku berada dan bertemu dengan wanita – wanita lain yang sibuk mengurus buah hati mereka, bermain sepanjang hari, tersenyum sepanjang hari sambil menatapnya ... tapi, aku ?! Mengapa ini harus terjadi pada kami ? Hati kecilku benar – benar berontak ! ‘Honey ... bersabarlah, aku tahu apa yang kau rasakan, terlebih menginginkannya. Berdoa dan bersabarlah,’ hibur Ronald saat melihatku menangisi keadaan ini.
Bersabar dan berdoa ? Aku tersenyum kecut. Aku sudah cukup bersabar dengan ini semua, juga tidak lagi mempercayai kekuatan sebuah doa, bagiku itu sia – sia, Tuhan sudah menutup mata dan telinganya untukku. Membuatku harus mengutuk diri ini, mengutuk kejadian di masa lalu yang selalu menghantuiku. Mungkin, itulah yang menyebabkan kami tidak memiliki anak.
Aku berasal dari keluarga yang biasa – biasa saja. Dulu kakek bekerja sebagai buruh pada rumah Keluarga Belanda VAN GUIFERN.
Sekalipun inlander, tapi kakek diperlakukan dengan baik oleh majikannya. Saat Jepang masuk ke Hindia Belanda, keluarga Van Guifern mengajak hampir seluruh inlandernya ikut pulang ke Negeri Belanda. Beberapa diantara mereka menolak, namun, kakekku memilih untuk ikut karena hampir seluruh keluarganya tercerai berai saat perang. Dalam situasi yang kacau balau itu, kakek harus terpisah dengan wanita pujaan hatinya yang bekerja pada sebuah keluarga Belanda lain.
Di negeri Kincir Angin tersebut, kakek bertemu kembali dengan wanita pujaan hatinya, mereka menikah dan kembali ke Hindia Belanda saat situasi sudah dirasa aman, saat kembali Nenek mengandung dan melahirkan dalam perjalanan pulang, Ayahku : KI SETANG DIARSO. Kakek dan keluarganya tinggal di rumah bekas KELUARGA VAN GUIFERN, itu amanat sang majikan pada kakek, ‘Kalau kamu orang kembali ke Hindia Belanda dan mendapati itu rumah kami masih berdiri dan bisa ditinggali, tinggallah disana ... itu milik kamu orang berdua, kami sudah mempersiapkan itu untuk kamu. DIARSO. Ambillah sertifikat rumah ini, sehingga tak perlu lagi cari tempat tinggal. Kami tidak bisa memberi kamu apa – apa selain rumah itu, Ki ... Itu adalah ungkapan terima kasih Keluarga Van Guifern untuk pengabdianmu pada keluarga ini. Jaga dan rawat baik – baik rumah itu, selanjutnya terserah pada kamu. Itu sudah jadi hak milikmu, sepenuhnya,’
Yah, kami nenek moyang kami menjadi salah satu keluarga pribumi yang kaya mendadak. Sebab, di dalam rumah tersebut tersimpan barang – barang berharga yang tak ternilai harganya. Tapi, kakek sama sekali tidak ingin menjual barang – barang pemberian majikan kami. Beliau masih menganggap semuanya adalah milik keluarga Van Guifern, maka dari itu, mereka senantiasa dijaga dan dirawat sepenuh hati. ‘Barang – barang ini, bukanlah milik kita,’ kata kakek suatu hari, ‘Hidup manusia bagaikan roda berputar, ada kalanya kita berada di bawah ada kalanya kita berada di atas. Demikian pula Keluarga Van Guifern, tak selamanya mereka berada di atas. Jadi, apabila kelak salah satu anggota keluarga mereka datang dan berniat mengambil kembali miliknya, kita harus merelakannya,’ kata kakek walau sekalipun tahu bahwa kekayaan Keluarga Van Guifern, tak akan habis hingga diatas tujuh turunan.
Kakek dan nenek bertemu kembali dengan keluarganya, mereka semua tampak gembira sekali. Tak ada lagi kabar tentang keluarga Van Guifern. 5 tahun kemudian kakek meninggal disusul nenek, harta warisan dibagi dengan rata tapi, tetap memegang teguh prinsip yang telah disampaikan oleh kakek. Hingga aku MARIAM DIARSO lahir ke dunia ini dengan status puteri ke 3 dari pasangan Setang Diarso dan Jamilah. 2 kakakku jarang sekali bertemu denganku, juga adikku. Tepatnya tahun ke 3 setelah adikku lahir, terjadi perubahan sikap dari Ayahku.
Beliau suka sekali mengurung diri di sebuah ruangan yang terdapat di belakang rumah. Ruangan, rumah atau apa ... aku tak bisa menyebutkannya dengan tepat. Sebab, bentuknya cukup aneh dan menyeramkan sekalipun siang hari, untuk lebih mudah kusebut saja RUMAH DALAM POHON ( RuDaPoh ).
Di belakang rumah kami terdapat sebuah pohon beringin yang cukup besar dan berdaun lebat, usianya sudah ratusan tahun tapi, masih kokoh menantang langit. Bongkol dan serabut akarnya tak beraturan. Ada sebuah lubang yang cukup besar di bagian tengah pohon tersebut, lubang itu diberi pintu dengan anyaman bambu. Itulah pintu masuk RUDAPOH, satu – satunya atap adalah rimbunan dedaunan. Pintu masuk teras hanya berupa 2 bambu hijau mengapit pada kedua sisinya, beratap jerami. Ayah selalu mengganti atap itu dengan jerami yang masih bagus di waktu – waktu tertentu, seperti saat Bulan Suro.
Biasanya orang hanya menggunakan tirai bambu untuk menahan masuknya cahaya matahari kala siang, tapi, pintu teras tersebut menggunakan akar – akar pohon beringin yang bergelantungan di udara memanjang ke bawah hingga nyaris menyentuh tanah.
Sebuah karya seni yang unik, antik plus menyeramkan bagiku. Jalan masuk ke rudapoh, berhiaskan bongkol dan akar – akar beringin berbentuk aneh memanjang bagaikan tubuh seekor ular raksasa yang tengah bersembunyi di dalam tanah.
Ayah memberi peringatan keras pada kami sekeluarga agar jangan sekali – kali bermain ataupun masuk di area Rudapoh. Barangsiapa yang melanggarnya, maka, Ayah akan menghukumnya. Rudapoh, sudah ada sejak Keluarga Van Guifern tinggal hanya saja belum dirombak seperti sekarang. Bentuknya hanya sebuah pohon beringin besar dan tak ada lubang di bagian perut pohon.
Hingga saat aku berumur 6 tahun, tanpa sengaja aku mendatangi tempat terlarang itu tanpa sengaja. Aku memiliki kebiasaan aneh, sejak kecil sering tidur sambil berjalan. Itulah sebabnya, ibu memberiku nasihat agar sebelum tidur aku mengunci kamarku. Jika pintu kamar sudah terkunci, aku takkan tidur berjalan hingga keluar ruangan, paling – paling hanya berkeliling di sekitar kamarku setelah itu kembali ke pembaringan.
Malam itu aku mencium aroma harum yang cukup menyengat menggelitik hidungku. Mungkin aku lupa mengunci pintu kamarku sehingga bisa keluar dan mengikuti bau itu hingga tiba di area Rudapoh. Telingaku mendengar suara orang bercakap – cakap di dalam. Aku membuka kelopak mataku dan terkejut mendapati diriku sudah berada di teras. Percakapan itu begitu menarik, hingga aku memberanikan diri untuk mengintip dari celah – celah lubang pintu.
Mataku terbelalak manakala melihat barang – barang yang terdapat di dalam Rudapoh. Ruangan itu sangat luas sekali, disana – sini banyak terdapat benda – benda aneh seperti : bambu, parang, tombak dan senjata – senjata baik tradisional maupun modern. Di sebelah kiri, terdapat berbagai macam alat musik seperti gamelan, kendang, gong, dan alat – alat musik tradisional yang tak terhitung jumlahnya, berwarna kuning keemasan.
Boneka dan patung berukiran indah berbentuk aneh. Juga banyak sekali lukisan – lukisan indah. Aku tak tahan melihat barang – barang itu terlalu lama, seakan di dalamnya tersimpan kekuatan tak kasat mata. Cahaya lampu hanya bisa mencapai jarak sekitar 200 meter, selebihnya gelap gulita.
Ayahku duduk bersila menghadap meja yang di atasnya terdapat banyak sekali makanan, mengelilingi sebuah lilin dan tak jauh dari lilin tersebut ada sebuah perunggu dengan 3 lubang pada sisi kanan – kirinya. Asap mengepul keluar, memenuhi tempat itu dan bau harum semerbak ke sekeliling. Sepasang mata Ayah terpejam, tapi, mulutnya komat – kamit sementara kepalanya tertunduk dalam – dalam.
Asap – asap yang keluar dari perunggu 3 lubang bercampur aduk menjadi satu dengan asap lilin, membentuk siluet – siluet tak beraturan melayang – layang ditiup angin malam. Dalam waktu seper sekian detik, siluet – siluet itu membentuk sosok – sosok hitam tinggi besar dan ada pula yang membentuk sosok seorang wanita cantik, berpakaian ungu dengan mahkota berlapiskan emas di kepalanya. Rambutnya panjang sebatas punggung, sorot matanya dingin tajam menusuk. Sosok – sosok lain tampaknya sangat menghormati sosok wanita yang menunggangi sebuah kereta kencana berukiran indah itu. Dia terlihat begitu anggun sekali, naluriku mengatakan ia bukanlah wanita sembarangan, mungkin keturunan dari sebuah kerajaan yang entah aku tak bisa mengungkapkannya dengan pasti. Yang jelas Ayahku menaruh hormat padanya. Kemunculan wanita cantik mengendarai kereta kencana itu hanya sebentar, untuk kemudian menghilang diikuti dengan sosok – sosok lain dan wajah ayahku tampak merah padam. Ia menatap ke arah dimana aku mengintip, ia berdiri lalu melangkah menghampiri, belum sempat aku melarikan diri, pintu sudah terpentang lebar dan ayah sudah berdiri di hadapanku.
Beliau tidak berkata apa – apa melainkan mengangkat tubuh kecilku dan membawanya meninggalkan tempat itu menuju kamar. Apa yang selanjutnya terjadi, malam itu Ayah marah besar. Menghukumku dengan mengunci pintu kamar, tak ada seorang pun diperbolehkan mengunjungi atau berbicara lagi padaku selama 3 hari 3 malam. Aku menangis sejadi – jadinya tapi, seakan telinga semua orang tuli. Berulang kali aku minta ampun tapi, tetap tak ada yang menanggapi, semenjak saat itu tak berani lagi aku datang ke Rudapoh. Kuikat tangan dan kakiku untuk menahan kebiasaan burukku. TIDUR BERJALAN.
‘Kang, kau terlalu keras mendidik Mariam,’ kata ibuku suatu hari setelah kejadian itu, ‘Kau tahu sendiri, anak kita seringkali tidur berjalan, keberadaannya di Rudapoh, bukannya kemauan dia sendiri. Aku tidak terima dengan perlakuanmu padanya, kang ...’
‘Dik .. kau tahu Rudapoh adalah tempat sakral tak boleh didatangi oleh siapaun juga. Adanya Rudapoh itulah yang membuat keluarga kita masih utuh hingga saat ini,’
‘Semenjak Thio lahir, akang selalu mengurung diri disana, memangnya apa yang akang sembunyikan disana sampai – sampai mengabaikan anak – isteri akang. Sekalipun Rudapoh itu ada tapi, bisakah membantu Mariam yang kini berusia 15 tahun mendapatkan jodohnya ? Apa akang tidak malu pada tetangga ? Setiap kali ada laki – laki yang datang untuk melamar Mariam, kau selalu menolaknya. Apa akang ingin dia menjadi perawan tua ?’
‘Bukannya demikian, dik ... Aku juga tidak menginginkan itu terjadi, aku juga berharap ia bisa segera menikah dan memberikan cucu untuk kita. Tapi, jika kita asal terima lamaran – lamaran mereka ... saya khawatir hidup Mariam akan menderita. Dari sekian banyak pria yang jatuh hati pada Mariam, kau pikir cinta mereka tulus ? Ambil saja salah satu contoh : Amir. Kau tahu latar belakangnya, bukan ? Orang tuanya adalah sahabat karibku, Pak Yusman. Sekalipun dia adalah sahabatku, tapi, lihat hutangnya menumpuk, berulang kali ia harus meminjam uang padaku tapi, lihat kenyataannya, sampai sekarang dia tak melunasinya. Kemarin saja dia pinjam duit dan berjanji akan melunasinya bulan depan, tapi, aku tak percaya ... berapapun uang yang dia pinjam, aku ikhlas sekalipun tak dikembalikan. Seandainya saja anaknya Amir menikah dengan Mariam, bisa – bisa harta milik Keluarga Van Guifern ini ludes. Apa kau masih ingat wejangan yang diberikan oleh Ayahku ?’
‘Ah, akang ... buktinya hingga saat ini tak ada seorang pun dari Keluarga Belanda tersebut datang untuk meminta haknya. Tapi, memang ucapan akang ada benarnya. Aku setuju, tapi, kasihan Mariam, bukan ? Apalagi ia baru saja putus dengan Jaye, dia masih belum bisa melupakan pemuda itu. Aku sebagai ibunya bisa merasakan kepedihan hati Mariam. Tapi, kang ... kurasa bukan itu alasan akang untuk menolak lamaran pemuda – pemuda yang jatuh hati pada Mariam. Akang pasti punya alasan lain, bukan ? Kalau akang bersedia, bisa kau bicarakan hal itu padaku. Siapa tahu aku bisa memberikan usulan atau ide,’
‘Yah, kau benar, dik ... ada alasan lain yang rasanya sulit bagiku untuk membaginya bersamamu,’ desah Ayah.
‘Cobalah, kang ... aku adalah isterimu. Kau pikir apa aku tidak tahu dengan apa yang akang lakukan di Rudapoh ?’
‘Kau ...’ Ayah terkejut dan telunjuknya menuding lurus – lurus ke wajah ibu, sementara ibu tampak tenang – tenang saja.
‘Jangan khawatir, kang ... aku tidak pernah menginjakkan kakiku ke Rudapoh. Akang pikir isterimu ini hanyalah wanita biasa ? Tidak, kang ... Jamilah ini adalah murid dari Padepokan Gunung Lawu. Guruku Nini Lamsini mengajarkan semuanya kepadaku, bela diri hingga menembus indera keenam / alam gaib. Aku hanya tak ingin menonjolkan diri saja seperti yang lain dan aku tidak ingin ikut campur urusan orang lain terlebih suamiku, kecuali bila terpaksa. Nah, apakah akang siap menjelaskannya padaku ?’
‘Baiklah. Aku akan menjelaskannya padamu, kuharap kau tidak kecewa atas apa yang kuperbuat pada Keluarga ini. Malam itu, saat berada di Rudapoh, Kanjeng Nyai menyampaikan berita yang kurang menyenangkan atas apa yang dilakukan Mariam sekalipun tidak sengaja. Maka, untuk menghapus kesalahannya, Kanjeng Nyai memberiku tawaran .... Keluarga ini hancur atau kau harus melakukan sesuatu untuk menghapus kesalahan Mariam. Sekeras apapun aku berpikir, hanya satu yang bisa kuterima, untuk menghapus kesalahan Mariam, dia harus rela untuk tidak menikah seumur hidupnya atau jika ingin menikah, harus menikah dengan orang yang benar – benar tulus mencintai dan menyayanginya. Tapi, dalam tenggang waktu yang cukup lama, tidak akan mempunyai keturunan. Ini adalah perjanjian yang sakral dan kupikir, itulah jalan yang terbaik untuk Mariam juga keluarga ini. Nah, sekarang aku ingin mendengar pendapatmu, dik,’
Aku yang saat itu mendengarkan pembicaraan kedua orang tuaku, tertegun. Ternyata, Rudapoh memang benar – benar tempat yang sakral. Ini adalah kesalahanku, seandainya dari dulu aku tidak mengalami tidur berjalan, mungkin aku sekarang sudah menikah dan memiliki anak. Aku mengutuk diri ini, lututku serasa lemas, tak bertenaga. Aku jatuh terduduk sementara kedua tanganku memeluk lutut, kubenamkan kepalaku diantaranya, kamar tidurku menjadi saksi bisu ledakan tangis penyesalanku. TUHAN TIDAK ADIL, umpatku dalam hati.
Membiarkan tangisku berderai bagaikan hujan deras yang turun malam itu. Ledakan tangisku bagaikan bunyi guntur. Kukutuk diriku sepuas – puasnya, tapi, bisakah menghapus kesalahan yang kulakukan saat aku berumur 6 tahun. Butuh waktu yang cukup lama bagi ibu untuk mengambil keputusan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments