Aku mengayuh sepeda balapku menuju rumah Alya yang letaknya ... kalau dihitung dari rumahku, jaraknya lebih kurang 2 – 3 kilo.
Sebenarnya, aku malas mengayuh sepeda dengan kecepatan yang menurutku, biasa – biasa saja. Lebih baik aku mengendarai sepeda motor atau memesan ojek online, akan tetapi, karena menuruti nasihat orang tua yang tak ingin terjadi apa – apa pada anaknya di jalan terlebih jaman sekarang dimana kriminalitas merajalela sekalipun di daerah terpencil seperti Lumajang ini, maka, aku terpaksa memakai sepeda. Sementara aku mengayuh sepeda, pikiran ini mengembara pada berita yang dibawa Alya lewat telapon tadi pagi belum lagi mimpi burukku semalam. Semuanya membuatku merasa tak nyaman.
Jalanan demi jalanan, kelokan demi kelokan menghantarkanku ke sebuah jalan yang pada kanan – kirinya ditumbuhi pohon – pohon kapuk rimbun diantara hijaunya dedaunan, terselip warna putih kecoklatan, sebagai penanda bahwa pohon tersebut sudah siap untuk dipanen. Tak sedikit pula bunga dan buahnya berserakan di jalanan sehingga, jalanan tersebut seakan dibalut dengan serat – serat putih nan halus bagai sutera. Jalanan itu saat menjelang pagi seperti ini masih sepi oleh orang – orang atau kendaraan yang berlalu lalang. Angin berhembus perlahan, menerbangkan kapuk beserta dedaunan tersebut, membuatku harus memperlambat laju sepeda sebab, aku tak ingin berlama – lama di jalanan. Aku harus segera tiba di rumah Alya yang sudah tak jauh dari ... hutan kapuk ini.
Aku berbelok ke sebuah jalanan kecil tak jauh dari jembatan dan setelah berjalan sekitar 10 – 15 menit sampailah aku di sebuah bangunan mewah ... mirip benteng plus dengan menara pengintainya, bercat merah hati, usianya mungkin sudah ratusan tahun tapi tetap kokoh dan megah. Bangunan itu menebarkan hawa sejuk, mungkin karena rimbunan berbagai macam tanaman dan semuanya dipelihara dengan baik oleh pemilik benteng tersebut. Pak Junaedi dan teman – temannya yang bekerja di rumah Alya.
Saat tiba di pintu gerbang, kulihat Pak Junaedi tengah menyiram halaman rumah yang luas tersebut dengan selang air. Begitu melihat kedatanganku, dia tersenyum ramah,
“Hei, nak Rimbi... tumben pagi – pagi sudah datang ?” Aku membalas senyuman pria berusia setengah abad itu dengan senyum seramah mungkin meskipun tak menutupi rasa lelah di wajahku juga keringat dingin yang mengalir dari dahiku, “Ya, pak ... habis si Alya memaksaku untuk datang pagi – pagi. Entah hendak membicarakan apa. Oya, apa Alya ada ?”
Pak Junaedi melangkah ke pintu gerbang, membuka dan menyuruhku masuk sambil berkata, “Nak Alyanya masih keluar. Katanya hendak cari sesuatu untuk teman – teman,” air mukaku berubah menjadi merah padam mendengar berita itu. Bayangkan saja, lebih dari 2 kilo badanku terguncang – guncang di sepeda balap, kedua kakiku serasa kebas karena mengayuh tanpa henti, kini, setelah sampai di tujuan orang yang memintaku datang segera tak ada di tempat, ‘Sialan !’ umpatku dalam hati. Tapi, tampaknya Pak Junaedi mengerti keadaanku itu maka dengan cepat ia berkata, “Kau tak perlu cemberut begitu, nak Alya sudah berpesan kalau nak Arimbi datang diminta untuk menunggu sebentar, dan dilayani baik – baik. Ayo, masuk,” Dengan helaan nafas panjang, entah harus lega atau marah, aku menuntun sepedaku masuk ke dalam dan menaruhnya sembarangan di halaman, untuk kemudian dihantarkan Pak Junaedi memasuki ruang tamu dengan keramik seputih kapas dan bersih.
Aku merasakan hawa dingin mengalir dari telapak kakiku, hawa di dalam ruangan begitu sejuk, tanpa sadar kutarik nafas dalam – dalam dan bau harum memasuki kedua lubang hidupku, lalu kuhembuskan perlahan. Aku merasa tenang, entah kemana perginya rasa letih dan emosiku tadi. Kembali kutarik nafas hingga tiga kali sementara mata terpejam dan saat kubuka kedua kelopak mataku, aku terbelalak manakala melihat seorang anak laki – laki duduk di hadapanku. Kulitnya pucat, sepasang matanya tampak kosong menatap ke arahku, di sudut bibirnya tersungging senyuman tipis.
“Hai, siapa kau ? Sejak kapan kau duduk di situ ?” tanyaku mencoba untuk menenangkan diri, tapi, tampaknya aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku atas kemunculannya yang tiba – tiba itu.
Anak itu tertawa nakal, “Ha... ha... ha... ha... jadi si Alya memiliki teman centil sepertimu. Dia sama sekali tak pernah menyebutkan namamu ... mungkin malu memiliki teman seburuk kamu,” katanya.
Emosiku yang sempat mereda, mendadak tersulut kembali dan berkata gusar, “Buruk katamu ? Berani benar kau berkata seperti itu padaku,”
“Wih, lihat ... sudah jelek emosinya tidak stabil lagi. Pantas saja Alya tak pernah menyebut nama Arimbi pada teman – temannya. Orang pemarah sepertimu tak pantas berteman dengan siapapun,” celoteh bocah itu sambil lari menjauhiku. “Hei, kembali ! Kau harus menjelaskan semuanya padaku,” seruku hendak menyusulnya tapi, pada saat itu Pak Junaedi muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat, ia terkejut melihat tingkah lakuku, “Nak Arimbi, kau bicara dengan siapa ? Apakah nak Alya sudah datang ?” tanyanya.
“Bocah itu,” sahutku, “Bocah itu membuatku marah, dia berlari menuju pintu itu,” sambungku sambil menunjuk ke salah satu pintu yang terletak tak jauh dari ruang tamu. Pak Junaedi terkejut, “Bocah ? Disini tak ada siapa – siapa selain aku, Mbak Ratih, Mbak Nana. Apa kau tak salah lihat ?”
Aku termenung, “Hah, tadi ada seorang bocah laki–laki duduk di hadapanku, dia mengolok–olokku lalu pergi begitu saja,” kataku kemudian.
Pak Junaedi tersenyum, “Sudahlah, nak ... kau duduk saja disini sambil menunggu nak Alya, jangan bicara yang bukan – bukan. Dan, ini ada teh hangat dan sedikit cemilan untukmu, cobalah,” katanya sambil meletakkan nampannya di atas meja tamu tepat di hadapanku. Apakah aku berhalusinasi karena letih ? Tidak. Dia terlihat begitu nyata, dan kini aku bisa melihat sesosok wanita muda berpakaian putih duduk di salah satu bingkai jendela. Jarak jendela itu dengan tempatku duduk sekitar 3 – 7 meter. Dari perawakannya yang tinggi dan ramping, berkulit putih pucat, berambut cokelat berombak dan tersisir rapi, dia bukanlah penduduk aseli pribumi. Dia adalah seorang keturunan Belanda, biasa disebut noni Belanda. Sepasang tatap matanya yang cokelat menatap lurus ke depan. Kosong dan hampa sementara, mulutnya komat – kamit menyenandungkan sebuah lagu. Merdu dan sendu. Lagu lirik Jawa yang tak kumengerti artinya.
Perlahan – lahan aku berjalan menghampiri, dan saat jarakku tinggal satu meter darinya, langkahku dihentikan dengan suara langkah kaki lain yang berasal dari halaman. Langkah itu semakin lama semakin dekat dan noni Belanda itu menghilang entah kemana.
Telingaku mendengar suara berat dari arah depan, saat membalikkan badan tampak Alya berjalan masuk diikuti dengan 2 orang wanita, masing – masing membawa bungkusan beraneka ragam ukuran juga tas plastik.
Melihatku, Alya segera meletakkan barang bawaannya, berlari menghampiriku, “Ah, Arimbi selamat pagi, sudah lama kau berada disini ?” tanyanya sambil menarikku menuju sofa tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku masih kesal dengan tingkah laku bocah laki – laki tadi, hingga air mukaku tampak menyebalkan di mataku tapi, tidak di mata Alya, “Tampangmu begitu lucu, apa yang membuatmu seperti itu ?” tanyanya. Aku menghela nafas perlahan, “Mengapa kau sama sekali tak pernah mengungkit – ungkit soal saudara laki – lakimu yang menyebalkan itu ?” tanyaku.
“Saudara laki – laki ?” tanya Alya heran, “Idih, kita sudah lama berteman tapi, kau masih tetap saja tak tahu berapa jumlah saudara atau kakak – kakak kandungku ? Kak Ima adalah yang tertua, aku nomor dua dan Yanuar adalah yang terakhir duduk di kelas 4 SD. Saudara mana lagi yang kau maksud ?”
“Jadi, kau tidak memiliki saudara lagi ? Lalu siapa bocah berumur lebih kurang 11 tahun itu ?” tanyaku masih tidak mengerti.
“Sadar, dong, Rim. Apakah kau masih mengantuk di jam – jam seperti ini ? Aku memang punya saudara laki – laki tapi tidak tinggal di sini melainkan di Amsterdam. Ah, sudahlah, lebih baik kita bicarakan hal yang lain saja. Percayakah kau pada berita yang kusampaikan lewat telepon pagi tadi ?”
“Itu, sich tidak mungkin Lya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi padahal beberapa waktu yang lalu, dia baik – baik saja ?”
“Pada awalnya, aku juga tidak percaya dengan perkataan anak yang bernama Cindy Permatasari itu. Dia adalah anak baru, bisa apa dia. Menurutku dia hanya cari perhatian saja,”
“Cari perhatian ? menurutku, tidak juga anak seperti dia memiliki keistimewaan, kok. Sekarang coba ceritakan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi,” pintaku penasaran. Pada saat itulah kulihat Mbak Nana muncul sambil menyajikan 2 buah nasi goreng ikan asin di meja tamu. Nasi goreng tersebut tampaknya baru selesai dimasak, asapnya mengepul memenuhi seisi ruangan dan menebarkan aroma harum, sedap dan gurih. Sontak cacing – cacing di dalam perutku mulai ribut, belum lagi segelas susu coklat hangat di hadapan Alya. Semua membuat perasaan tidak tenang terlebih rasa letih sehabis bersepeda masih belum hilang sepenuhnya. Hidangan yang menurutku mewah tersebut membuat LAPAR.
Alya mendekatkan susu coklat di bibirnya yang merah jambu dan sensual, perlahan – lahan meniup bibir gelas sehingga tanpa sadar asapnya singgah di hidungku. Sialan. Anak ini membuatku iri, padahal seumur hidup, aku jarang mendapatkan pelayanan istimewa seperti itu. Setelah meneguk sedikit susu coklatnya, iapun mulai bercerita. Aku duduk sambil memperhatikan setiap kata yang terlontar dari mulut wanita cantik yang umurnya sebaya denganku itu, berusaha menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, bukan ?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments