NovelToon NovelToon

Kesempatan Kedua Sang Duchess

Hidup dan Mati

"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke."

Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon.

Begitulah... Elena Ivor Carwyn

....

Pesta di kediaman Marquess Bernard.

"Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether."

"Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan."

"Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar."

Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan lelaki.

Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang. Tertata. Mengintimidasi.

Mervyn Dieter Carwyn.

Di sisi lain, para wanita bangsawan berkumpul.

"Pria luar biasa yang tahun lalu menjadi rebutan para keluarga bangsawan... siapa sangka, keluarga Boniface yang berhasil mendapatkannya," bisik salah satu wanita dengan senyum menyeringai.

"Benar, keluarga Baron Boniface yang nyaris bangkrut, justru menikahkan putrinya dengan Duke Carwyn. Bukankah itu menjadi berita utama kerajaan waktu itu?"disambut tawa ringan.

"Waktu itu? Sampai sekarang pun masih ramai dibicarakan... Bukankah begitu, Duchess?" Ucapan itu ditekan, dengan mata menusuk dan senyum menghakimi.

Semua kepala menoleh. Mata mereka kini menatap Elena.

Elena menunduk, jemarinya saling menggenggam gugup. Wajahnya pucat. Tak ada sepatah kata pun terucap.

"Aku bahkan dimarahi ayahku karena gagal mendekati Duke Carwyn kala itu,"- keluh seorang wanita.

"Tapi apa boleh buat... keputusan Duke Carwyn saat itu sungguh mengejutkan. Apalagi soal tunangannya yang dulu, Lady A-"

"Saya... mohon izin undur diri. Sepertinya... saya ti-tidak enak badan," Elena berdiri tergesa-gesa, membungkuk sedikit, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan.

Tawa pelan terdengar.

"A-a-a... dia melarikan diri lagi."

Tawa itu pecah lebih jelas.

Mereka tertawa bukan karena lucu. Mereka tertawa karena kemenangan. Sekali lagi, Elena Carwyn Duchees boneka berjalan pergi dengan kepala tertunduk.

Dan Elena mendengarnya.

Dengan jelas.

Elena melangkah cepat keluar aula, mencengkeram gaunnya, suara sepatunya terdengar jelas di lantai marmer.

Taman kediaman Marquess Bernard terasa begitu sunyi berbeda dengan aula pesta yang begitu bising. Mungkin ini memang tempatku seharusnya, pikirnya.

Ia duduk di bangku taman, melepas sepatu hak tingginya. Kakinya bengkak. Saat membungkuk untuk memeriksanya, tetesan air jatuh. Itu air matanya.

"Meski kalian tak mengatakannya, aku juga tau. Aku tahu aku tidak cocok dengannya," gumam Elena, menyeka air matanya perlahan.

"Kamu juga pasti berpikir begitu, kan, Mervyn..." Suaranya terdengar lemah.

"Jika tidak, tak mungkin kamu mengabaikanku selama ini," Ucap Elena sedih.

Srak...

Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak.

"Siapa di sana?" seru Elena cepat, menoleh ke arah asal suara.

Dari kegelapan, sosok berpakaian hitam muncul. Wajahnya tertutup kain, pedang tergenggam erat di tangannya.

....

Sementara itu, di aula pesta...

Riuh... riuh...

Mervyn melirik ke arah tempat para wanita berkumpul. Ekspresinya berubah, terkejut dan cemas. Ia segara memanggil seorang pelayan.

"Di mana istriku?" tanyanya tegas.

Pelayan itu membungkuk sedikit dan menjawab cepat, "Tadi saya melihat Duchess berjalan keluar dengan tergesa-gesa."

Mendengar itu, wajah Mervyn semakin cemas. Ia bergegas keluar dari aula sambil memanggil para kesatria.

"Temukan Duchess!" perintahnya tegas.

Semua mata tertuju pada sang Duke yang kini tampak diliputi kegelisahan.

"Aakkkhhh.....!"

Teriakan itu terdengar sangat kencang.

Sang Duke yang mendengarnya langsung berlari cepat menuju arah datangnya suara. Para tamu di pesta pun tampak terkejut dan ikut menyusul ke sumber suara tersebut.

Seorang wanita terduduk di tanah. Wanita itu perlahan memundurkan tubuhnya, matanya membelalak, tangannya gemetar tak terkendali.

Di hadapannya. Seorang wanita lain tergeletak bersimbah darah, membasahi gaun mewah yang semula tampak indah. Salah satu sepatu berhak tinggi yang berkilau terlepas dan ikut berlumur darah.

Gaun itu... sepatu itu... semuanya terasa sangat familiar bagi Mervyn.

"Tidak... tidak... kumohon... bukan dia," gumamnya dengan suara parau.

Dadanya sesak, napasnya tercekat, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ia melangkah mendekat, tertatih dan kehilangan keseimbangan.

Ketika wajah wanita itu terlihat jelas di hadapannya, dunia Mervyn runtuh. Ia berlari, lalu berlutut dan mendekap tubuh yang bersimbah darah itu, wanita yang tadi ia mohon bukanlah dirinya.

Sang Duchess kini terbaring di pelukannya, diam.... bersimbah darah.

Para tamu berdatangan. Beberapa berteriak histeris, yang lain membeku. Tuan rumah pesta pun tampak tak kalah terkejut oleh pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Dengan tangan yang gemetar, Mervyn menyentuh wajah Elena. Dingin. Tak ada respon.

"Dokter... panggil dokter! Cepat!" perintahnya keras, nadanya tercampur antara panik dan tak percaya.

Marquess Bernard segera menyuruh kepala pelayan memanggil tabib pribadi keluarga.

Tak butuh waktu lama, sang dokter tiba dan langsung memeriksa tubuh sang Duchess.

Setelah beberapa saat, ia diam. Matanya terpejam, lalu ia menggeleng perlahan.

Mervyn mengguncang tubuh Elena, seolah mencoba mengembalikannya. Napasnya tersenggal. Emosinya meledak. Ia marah. Ia hancur.

"Panggil kereta kuda, sekarang. Aku tidak percaya ini... panggil Alwen. Dia harus sudah bersiap sebelum aku tiba," ucap Mervyn tajam.

Dengan penuh kehati-hatian, ia mengangkat tubuh Elena dalam pelukannya. Mervyn berdiri, matanya menatap lurus ke depan. Ia berjalan tanpa berkata apa pun, tanpa menoleh ke belakang, membawa Elena yang tak lagi bernyawa di pelukannya.

"Perintahkan seluruh kesatria di Ducy untuk menyelidiki. Sisanya yang ada di sini, mulai lakukan pencarian sekarang juga. Jangan biarkan satu pun detail terlewat," ucapnya dingin, tanpa emosi.

Ketegasannya membuat para kesatria bergidik. Tanpa berani membantah, mereka langsung bergerak.

Marquess Bernard bergegas menyusul dan berkata,

"Duke, kami pun akan membantu penyelidikan."

Tak ada jawaban.

Kereta kuda itu melaju, meninggalkan kediaman Marquess dalam keheningan yang mencekam.

Di dalam kereta kuda...

"E-eh, itu kan... tubuhku? Kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?"

Elena mengangkat kedua tangannya dan membolak-baliknya.

"Kenapa tanganku tembus pandang...?"

Ia terdiam sejenak.

"Begitu, ya... aku sudah mati."

Elena termenung sedih. Tatapannya tertuju pada tubuhnya sendiri yang terbaring di pangkuan sang suami.

"Mervyn... kenapa kamu terlihat begitu sedih? Bukankah kamu tidak pernah mempedulikanku?" ucap Elena lirih, suaranya lembut namun terasa pedih.

Mervyn menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong. Namun tangannya tetap menggenggam tubuh Elena erat. Air mata mulai mengalir dari matanya.

Tangis Mervyn pecah. Elena refleks berdiri dan menghampirinya. Ia ingin menyeka air mata itu, namun...

Tangannya menembus wajah Mervyn.

"Kenapa kamu menangis seperti ini...? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentangku? Berhentilah menangis... kumohon..." ucap Elena sambil terus mencoba menyentuh wajah pria itu.

Air mata Elena mengalir... ia memeluk Mervyn meskipun tahu sentuhannya tak akan pernah bisa sampai.

Tubuhnya perlahan memudar... dan mulai menghilang.

Aakkhh...

Elena tersentak bangun, napasnya memburu, air mata masih menggenang di pelupuk matanya....

Dia hidup kembali.

Tidak, ia mengulang kehidupan itu sekali lagi.

Kebangkitan

Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.

"Apa anda tidak apa-apa, Nyonya?" suara tegas terdengar dari balik pintu kamar.

Brakk!

Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.

"Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?" tanyanya cepat.

Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, "Tanggal berapa sekarang?" Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke arah pelayan itu.

"Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga... menurut kalender kerajaan," jawab sang pelayan dengan gugup.

Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.

"Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard... jadi ini artinya... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa... ?" ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Elena terlihat kebingungan, bibirnya terus bergumam pelan. Sikapnya yang aneh membuat pelayan itu gentar. Tanpa menunggu lagi, pelayan tersebut segera berlari keluar kamar. Sementara itu, Elena masih terperangkap dalam pikirannya yang kacau, mencoba memahami kenyataan tak masuk akal yang baru saja ia alami.

....

Ruang kerja Mervyn

"Tuan!" ucap pelayan terburu-buru, ia bahkan lupa untuk mengetuk pintu.

Melirik seseorang yang baru saja masuk dengan tidak sopan, Mervyn memberinya tatapan tajam. "Ada apa?" Balasnya.

Pelayan berkeringat... "saya mendapat kabar, nyonya bertingkah aneh."

Ruangan seketika tampak hening tatapan tajam Mervyn berubah seketika, ia terlihat kebingungan dan khawatir. Kertas dan alat tulis yang ia pegang langsung diletakan, ia berdiri dari duduknya dan berlari keluar dari ruangan.

...

Kamar Elena

"Ahh... benar-benar menyejukan" serunya sambil tersenyum bahagia.

Sinar matahari pagi yang tidak terlalu panas menyentuh Elena seperti memeluknya dengan kehangatan, aroma bunga di taman terbawa oleh angin hingga bisa di cium oleh Elena. Ia duduk di atas balkon, menggoyangkan kedua kakinya sambil tersenyum bahagia.

Brakk!

"Nyonya..." pelayan yang tadi keluar dari kamar Elena datang kembali sambil membawa Dokter, kedua orang itu sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat.

Tak... takk...

Suara langkah itu sangat cepat, Mervyn masuk ke kamar Elena, napasnya sedikit tidak teratur, ia langsung mencari Elena, alangkah terkejutnya dengan apa yang dia lihat, tanpa sadar ia memanggilnya dengan keras.

"Elenaa... "

Elena sangat kaget. "Mervyn?" Ucapnya.

Ia menatap Mervyn yang kini berdiri di hadapannya. Dulu, pria itu tak pernah sekalipun memanggil namanya dengan nada panik seperti tadi. Hatinya terasa hangat, sekaligus getir.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Mervyn?"

tanya Elena, alisnya mengernyit bingung. Ia menoleh ke sekeliling, menyadari kehadiran para pelayan dan seorang pria tua yang tampak seperti dokter. Lalu ia turun dari balkon dan melangkah mendekat.

Mervyn mengembuskan napas panjang, menutupi sebagian wajahnya dengan tangan seolah baru saja terlepas dari mimpi buruk. Sorot matanya yang tegang perlahan melunak. Ia menoleh ke arah sang dokter, memberi isyarat halus agar segera memeriksa kondisi istrinya.

Tanpa menunda, dokter itu bergerak cepat menghampiri Elena.

Meski masih dipenuhi kebingungan, Elena menuruti dengan patuh. Diam-diam ia mencoba mencerna semua yang terjadi sambil membiarkan sang dokter memeriksa dirinya.

"Kenapa kau tidak memanggil Alwen?" tegur Mervyn dengan nada tajam pada pelayan di depannya.

Pelayan itu langsung menegang. Tangannya gemetar hebat, wajahnya pucat pasi. Ia tidak sanggup menjawab, bibirnya bahkan tak mampu membentuk sepatah kata pun.

Mervyn menghela napas berat, jelas terlihat kesal. Sorot matanya tajam menusuk, lalu ia memalingkan pandangannya.

"Alwen? Bukankah itu dokter pribadi Mervyn... Mana mungkin pelayan itu bersusah payah memanggilakannya untukku," batin Elena, getir.

Setelah dokter memastikan kondisi Elena baik-baik saja, Mervyn berbalik tanpa sepatah kata pun dan meninggalkan kamar. Sang dokter dan pelayan pun ikut pamit, setelah Elena sendiri yang menyuruh mereka pergi.

Elena duduk diam. Tapi pikirannya terus berputar.

"Aku harus mulai menyusun langkah. Pertama-tama, para pelayan itu harus dibereskan. Dan aku harus bersiap menghadapi para bangsawan. Untuk itu, aku harus berubah."

Waktu makan pun tiba.

Seperti biasa, Elena duduk di dalam kamarnya. Para pelayan selalu mengatakan bahwa Duke tidak ingin makan bersamanya, dan ia sudah terlalu sering mempercayainya begitu saja.

Beberapa pelayan masuk membawa makanan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa hormat. Mereka bahkan tidak mengetuk pintu.

Elena mengerutkan kening, matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada.

"Ini makanan anda," ucap salah satu pelayan sambil menyodorkan nampan dengan kasar. Piring nyaris tergelincir, sup di dalamnya hampir tumpah.

Elena menatap isi piring itu. "Seperti biasa, makanan ini tak layak. Sayurnya busuk, kuahnya encer dan berbau. Bahkan air yang mereka bawa pun keruh, seperti diambil dari genangan kotor,"gerutunya dalam hati.

Tawa mencemooh keluar dari mulut para pelayan, tanpa rasa takut, tanpa rasa malu tepat di hadapan Elena.

Elena meletakkan sendoknya perlahan, lalu bertanya datar, "Apa Duke ada di ruang makan?"

Para pelayan tampak saling berpandangan, sejenak ragu, namun salah satu dari mereka menjawab, "Tentu saja."

Elena mengangguk. "Kalau begitu, aku akan ke sana."

Ia bangkit berdiri, gaunnya menyapu lantai dengan anggun saat melangkah keluar kamar.

Para pelayan sontak panik, mencoba menghentikannya seolah Elena tidak berhak ke ruang makan. Namun Elena tidak menggubris.

Langkahnya tetap tegap dan tenang.

Ruang makan

Riuh... riuh...

Suara kegaduhan samar terdengar dari balik pintu.

Brak!

Pintu ruang makan terbuka dengan kasar.

Elena masuk tanpa menunggu izin. Semua mata tertuju padanya, termasuk Mervyn yang duduk di ujung meja. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Elena mengalihkan pandangannya dan duduk tepat di sebelah pria itu.

Mervyn masih menatapnya, alisnya sedikit berkerut.

"Kenapa kamu ke sini?" tanyanya datar.

Elena menoleh cepat padanya, lalu kembali menatap piring kosong di hadapannya. "Aku hanya mencari makanan yang layak."

"Makanan layak?" Mervyn mengulang dengan bingung, namun Elena tidak menanggapi lebih lanjut.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Elena mulai menyantap hidangannya dengan tenang. Mervyn memperhatikannya sejenak sebelum kembali melanjutkan makannya sendiri.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang aneh, sebelum akhirnya Mervyn kembali bicara.

"Tumben sekali kamu mau makan bersamaku."

Elena menoleh, matanya menusuk. "Bukannya kamu yang selalu menolak makan bersamaku? Itu yang selama ini kudengar."

Mervyn menoleh pelan. Ada kerutan samar di antara alisnya. Tatapannya tak lagi tenang. Seolah ia sedang menghubungkan titik-titik dalam pikirannya.

Namun Elena tidak peduli. Ia melanjutkan makannya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup cepat.

Apa dia sedang mengujiku? Atau hanya ingin melihat reaksiku sekarang? Pikirnya.

Mervyn telah selesai makan, tapi tidak juga beranjak dari kursinya. Ia hanya duduk diam, memperhatikan Elena yang masih sibuk menyuap makanannya.

Elena berusaha bersikap biasa, walau pipinya mulai memerah. Ia mempercepat suapan terakhirnya. "Tanpa sadar aku makan banyak sekali" dalam batinnya

Mereka masih tidak bergerak dari tempat duduk masing-masing. Ruangan terasa kaku. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang dinding hanya bisa saling melirik, kebingungan. Butiran keringat mulai muncul di pelipis mereka karena atmosfer yang mencekam.

Dret...

Elena akhirnya mendorong kursinya dan berdiri. Wajahnya masih memerah, matanya menghindari pandangan siapa pun.

"Ka-kalau begitu... aku pergi dulu," ucapnya gugup, buru-buru berjalan keluar tanpa menoleh.

Mervyn menatap punggung Elena yang menjauh. Sudut bibirnya terangkat tipis.

Ia berdiri, lalu menyusul keluar dari ruang makan.

Taman

Tak... tak...

Langkah Elena terdengar cepat di koridor batu menuju taman belakang. Wajahnya masih merah, matanya sibuk menunduk menatap rerumputan.

Tanpa sadar, ia sudah tiba di dekat air mancur taman.

"Wah... wah... bukankah ini Duchess?"

Sebuah suara lembut namun menyengat memecah lamunannya.

Elena mengangkat wajah. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan gaun mahal penuh perhiasan. Riasannya nyaris sempurna, tapi senyumnya terlalu manis untuk dianggap tulus.

Ekspresi Elena berubah seketika. Matanya menajam, dagunya sedikit terangkat.

Perubahan

"Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?" tanya wanita itu, matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.

Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.

"Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu." Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. "Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?"

Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.

"Sayang sekali," ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, "Di balik keindahan itu... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?"

Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.

"Benar sekali," ujarnya pelan, seolah menyetujui. "Dan mereka yang ingin membersihkannya... tak lebih dari sekumpulan lalat, benarkan Lady Claire."

Ia berhenti sejenak, menatap Claire tanpa berkedip.

"Lalat yang bahkan tak tahu di mana seharusnya hinggap."

Sunyi.

Claire masih tersenyum, tapi matanya kehilangan cahaya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Lady Claire. Nikmati waktumu."

Elena melangkah anggun melewati Claire. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum tipis penuh kemenangan. Gemerisik kain gaunnya yang lembut menjadi satu-satunya suara yang tersisa di antara mereka.

Claire hanya bisa menatap punggung Elena yang menjauh, matanya menyala tak rela. Tapi Elena tak menoleh. Ia tahu, ia menang.

Setelah keluar dari taman, langkah Elena menyusuri koridor belakang yang lebih sepi. Aroma tanah basah dan bunga mawar masih tertinggal samar di udara, namun suasana hati Elena mulai berubah. Ketika ia memasuki selasar dekat dapur utama, langkahnya melambat.

Ia merasakan tatapan.

Bukan satu. Bukan dua. Banyak.

Beberapa pelayan berdiri dalam kelompok kecil, berkerumun di balik bayangan lengkungan pilar. Mereka tidak tahu Elena sudah begitu dekat. Bisikan tajam keluar dari mulut mereka, menusuk seperti duri tersembunyi dalam sutra.

"Padahal dari keluarga bangkrut, bisa-bisanya dia angkuh seperti itu."

"Duchees? Pantas? Aku malu harus melayaninya..."

Elena berhenti. Ujung sepatunya berderit ringan menyentuh lantai batu. Para pelayan langsung menegang. Diam. Mata mereka membulat dalam keterkejutan, seolah baru sadar bahwa yang mereka hina sedang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka.

Dengan tenang, Elena memutar tubuh. Matanya menatap satu per satu wajah mereka yang mulai memucat.

Langkahnya tenang saat ia mendekat. Suara sepatu haknya menggema pelan tapi tegas.

"Aku tidak keberatan dengan bisikan," ucapnya pelan, namun tegas, "Tapi aku keberatan kalau tikus-tikus dapur merasa lebih tinggi dari pemilik rumah."

Tak ada yang berani menjawab. Namun satu pelayan muda, mungkin terlalu baru untuk tahu siapa yang sedang berdiri di hadapannya, memberanikan diri membuka mulut.

"Kami hanya... tidak biasa ada yang sok memerintah, padahal dulu..."

"Dulu?" Elena menyela, menatapnya tajam.

"Dulu aku diam. Bukan berarti aku tidak melihat."

Suara Elena rendah, tapi mengandung kekuatan yang dingin dan tak terbantahkan. Ucapan itu menampar jauh lebih keras daripada teriakan.

Dari sisi lain, seorang pelayan wanita berjalan tergesa melewati mereka, membawa baki berisi linen bersih. Ia menunduk memberi hormat dengan sopan saat lewat di depan Elena tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa ikut mencibir atau melirik remeh seperti yang lain. Tenang dan hormat. Elena sempat meliriknya.

Lalu, ia menoleh kembali pada kerumunan pelayan yang barusan mencibirnya.

Tangannya terangkat, telunjuknya menunjuk empat orang.

"Kalian berempat, berkemas. Hari ini adalah hari kerja terakhir kalian di Duchy ini."

Sunyi.

Seperti angin yang berhenti berhembus.

Beberapa pelayan lain yang mengintip dari balik pintu dapur tersentak. Seseorang bahkan menjatuhkan panci kecil dari tangannya. Benturan logam menggema keras.

"Tapi... anda tidak bisa semena-mena! Emangnya siapa anda?"

salah satu pelayan berseru, suaranya bergetar antara panik dan marah.

Elena menoleh dengan ekspresi dingin, matanya seperti es musim dingin yang baru turun.

"Aku?..." ia mengulang, "Duchess Carwyn."

Diam. Tak ada lagi yang bersuara setelah itu.

Dan dalam keheningan itu, Elena berbalik, menatap kepala pelayan wanita senior yang berdiri mematung di ujung lorong.

"Kumpulkan semua pelayan. Sekarang. Mulai hari ini, tidak ada satu pun yang boleh menyentuh ruanganku, pakaianku, atau mendekatiku tanpa izin langsung dariku."

Wanita itu langsung mengangguk. "Baik, Duchess."

Beberapa jam kemudian, kamar pribadi Elena dipenuhi para pelayan yang berbaris.

Suasananya panas, tapi bukan karena api melainkan karena ketegangan yang menyesakkan.

Wajah-wajah di hadapannya menunjukkan berbagai ekspresi gugup, takut, ada pula yang pura-pura tenang meski mata mereka menyimpan kebencian.

Elena berdiri di hadapan mereka, tegak dan tanpa ragu.

Ia mengangkat tangannya perlahan.

Lalu, satu per satu, ia menunjuk beberapa orang. Suaranya datar.

"Kalian semua... dipecat."

Sekejap, kamar itu meledak dalam protes.

"Apa?! Ini tidak adil!"

"Kami sudah bekerja selama bertahun-tahun!"

"Anda tidak bisa begini!"

Suara-suara bertumpuk, saling melawan. Namun Elena tidak bergeming. Ia hanya menatap lurus ke depan, suara mereka seolah tak menyentuh telinganya.

Di ruang kerja, Mervyn yang mendengar laporan soal kegaduhan di kamar Elena memejamkan mata. Wajah Elena dan kalimat-kalimat yang diucapkannya saat di ruang makan terlintas di pikirannya.

Dengan alis mengernyit, ia menekan bel kecil di mejanya.

"Panggilkan kepala pelayan."

suaranya rendah namun tegas.

Sementara itu, Elena tetap berdiri kokoh di tengah riuh suara yang memekakkan telinga.

Tapi matanya tidak memedulikan yang berteriak melainkan menatap mereka yang diam.

Hanya tiga pelayan yang tidak ia tunjuk. Mereka berdiri rapi, tanpa berani bicara.

Dari ketiganya, pandangan Elena tertumbuk pada satu wajah.

Pelayan wanita itu berdiri dengan tenang, tidak menunduk, tapi juga tidak menantang.

Ia hanya menatap lurus, sopan, seperti seseorang yang tahu batas dan tahu tempatnya.

"Kalau tidak salah... dia," batin Elena.

Kenangan samar berkelebat. Pelayan itu adalah gadis yang tadi berjalan melewatinya tanpa banyak bicara, namun tetap memberi hormat sopan. Elena mengingat wajahnya. Dalam ingatan masa lalunya, meskipun samar, gadis itu tidak pernah ikut mencemooh atau merendahkannya. Ia juga beberapa kali membantu dalam diam, meski tak menunjukkan kedekatan secara terang-terangan.

"Siapa namamu?" tanya Elena, tatapannya tajam namun penuh pertimbangan.

Gadis itu menjawab, suara lembut dan jelas, "Myra Elowen, Duchess."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!