#3

"Umi ... Sampaikan kepada Abi. Untuk anaknya Asha, tolong makamkan dengan baik ya."

Dengan suara yang sedikit gemetar, Umi membalas permintaan Asha. " Iya ... Iya. Sekarang sedang di kafani dan nanti di rumah akan di makamkan dan di tahlilkan dengan baik."

"Alhamdulillah. Dia adalah anak surga Asha. Kelak, Asha akan bertemu dengannya di titik Surga. Insyaallah."

"Aaminn. Sekarang, anak umi. Istirahat dulu ya. Jangan banyak bicara dan jangan banyak pikiran. Semua sudah di urus oleh Abi."

"Umi. Asha mau sholat dhuhur dulu."

"Iya, Umi ambilkan baju ganti yang bersih dan mukena."

Asha tersenyum, "Asha juga ingin bermake up dan ingin memakai parfum. Masa ketemu sama Allah. Asha jelek sekali."

"Iya, iya. Umi ambilkan."

Dari dulu hingga sekarang saat mau sholat, Asha selalu berganti pakaian, memakai bedak ataupun lipstik walaupun itu beribadah di dalam rumah. Dan kebiasaan itu selalu dia lakukan di rumah mertuanya.

Selesai sholat, netra Asha berbinar. Dia melihat sebuah gambar di dinding kamar inapnya yang di bawahnya tertera angka angka dan bulan di tahun 2017. Gambar seorang ibu yang memeluk buah hati dengan kehangatan.

Asha mengingat lima tahun yang lalu, awal pertama bertemu dengan Fajar. Tepatnya bulan Februari tahun 2012. Asha yang saat itu melamar pekerjaan di salah satu sekolah dasar swasta sebagai pengajar.

"Maaf mbak Asha. Nanti jika ada tambahan guru honorer akan saya hubungi," ucap kepala sekolah menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dan di balas oleh Asha dengan prilaku yang sama sebagai bentuk sopan santun.

Dengan tersenyum manis, "Terimakasih Pak. Saya tunggu infonya dan saya mohon undur diri." jawab Asha.

Dia berjalan di koridor yang panjang, dengan ruang kelas di sebelah kanannya dan lapangan di sebelah kirinya. Suara langkah kakinya bergema, dia menikmati dengan santai pemandangan lapangan yang rindang. Walaupun angin musim gugur menjatuhkan daun daun yang menggantung di dahan pohon, turun dengan irama angin yang manis.

Jam istirahat berbunyi, sekelompok anak berseragam sekolah yang keluar dari kelas dengan berlari, berhamburan karena bahagia. Tanpa sengaja menabrak Asha yang memperhatikan mereka dengan senyum yang lebar. "Aduh. Astaghfirullah." Asha terjatuh, namun telapak tangannya dapat menopang keseimbangan tubuhnya.

" Apa kamu tidak apa apa?" suara Fajar mencoba mengangkat lengan Asha untuk membantunya berdiri.

Dengan menepuk nepuk telapak tangannya yang kotor, "tidak apa apa. Terimakasih." Asha masih fokus membersihkan debu yang menempel.

"Maaf, tadi murid murid saya, berlarian keluar tanpa melihat ada orang di depannya. Maklum mereka masih kelas satu."

"Oh. Tidak apa apa," ucap Asha melihat telapak tangannya yang sudah bersih. Lalu, dia mengangkat kepala dan menatap ke atas.

Pandangan mereka bertemu. Fajar terpesona dengan ke-ayuan wajah Asha. Wajah cantik seperti karya seni keindahan yang alami dengan keserasian yang tepat. Kelopak netra yang memiliki lipatan jelas di kulit netra atas. Senyum manis yang membuat hati terhisap dalam keindahan mahakarya sang pencipta.

Terpesona saat pertama kali. Membuat fajar yakin bahwa Asha adalah takdir yang di tunjukkan oleh Allah dengan cara yang indah. Hati Fajar seperti pasir hisap yang menariknya kedalam dan tak dapat lepas dari pandangan wajah cantiknya.

Asha terheran melihat Fajar yang terbengong saat dia berdiri menatapnya. "Saya permisi dulu." Asha memengang tali tas Selempang ya dan menunduk sedikit ke bawah sebagian rasa sopan santun untuk berpamitan.

"Tunggu sebentar, ini ada yang jatuh tadi." Fajar mengulurkan sebuah gantungan kunci berwarna hijau dari arkelik bertuliskan nama Asha dengan gaya tulis astetik.

"Oh. Terimakasih."

"Saya Fajar ?" lontarnya saat Asha mengulurkan tangan meminta gantungan kunci. Namun, Fajar malah menjabat tangannya untuk berkenalan dan tersenyum.

Hal ini membuat Asha sangat gugup karena sikap Fajar. Sehingga mau tidak mau dia harus menanggapi salam perkenalan, " Saya Asha. Terimakasih gantungan kuncinya. Saya permisi dulu. Assalamualaikum," cerocos Asha dengan menunduk mohon pamit.

"Tunggu sebentar ... "

Asha membalikkan badan kembali ke arah Fajar.

"Seperti nya kita pernah bertemu."

Asha terheran heran mendengar perkataannya. "Maaf, seperti nya tidak."

"Kamu, kuliah di kampus Surabaya kan ? Fakultas tarbiyah dan keguruan kan ?"

"Iya benar. Maaf. Aku tidak kenal mas ya?"

"Aku lulus di tahun kemaren. Aku ingat kita bertemu di pengajian Akbar, kamu panitia juga kan saat itu ?" Fajar terlihat berbasa basi

"Aku ikut, tapi bukan panitia. Mungkin mas salah orang ?"

"Tidak mungkin. Aku ingat wajahmu ?"

"Mungkin hanya panitia pengganti. Karena teman tidak hadir. Dan itu hanya sekali."

"Loh, kenapa ?Apa kamu masih ikut pengajian ?

"Oh. Sudah tidak mas. Sejak tiga bulan yang lalu, di suruh Abi untuk pindah ke Banyuwangi."

"Oh, bulan depan angkatan aku mengadakan acara pengajian Akbar lagi di gedung serbaguna di sana.l Mau ikut ? Karena acara acara seperti ini setiap tahun banyak peminat jadi kita mau mengadakan lagi ?"

"Sepertinya tidak." Dengan melihat ke arah jam tangan, Asha seperti terburu buru dan ingin mengakhiri percakapan. "Maaf, aku permisi dulu ya mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," membalas dengan wajah berseri.

Dari belakang, Fajar melihat tubuhnya yang berjalan meninggalkan sekolah. Dengan langkah langkah yang mantap, punggung yang lurus dan bahu yang tegap laksana seorang ratu. Dengan kerudung segi empat berwarna biru tua pekat, motif gabungan bunga besar dan kecil yang bertabur diantara sisinya, angin meniup ujung kerudungnya sehingga membuatnya terlihat sedang menari.

Untuk pertama kalinya, Asha tersenyum sendiri tanpa di sadari. Ada sesuatu yang ajaib terdengar di hati saat memandang wajah Fajar yang terpesona tanpa berkedip melihat dirinya. Senyumannya tak pernah lepas dari raut wajahnya dari awal dia naik becak hingga tiba ke rumah.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," sahut Abi dan Umi bersamaan.

Dengan bersalaman, Asha tak lupa mencium punggung tangan kedua orang tuanya, lalu. "Bagaimana wawancara pekerjaannya. Apa di terima ?" cerocos Umi.

"Belum, katanya nunggu telpon dari sekolah." Asha masuk ke dalam bilik kamar dengan masih mempertahankan senyum berseri di wajahnya.

Umi terheran mendengar jawaban Asha, dan bergumam lirih. "Kalau belum di terima kenapa dia senyum senyum terus ya Abi ?"

Abi melipat koran dan menaruhnya di atas meja, menyeruput kopi hitam buatan tangan Umi yang duduk bersebelahan dengannya.

"Biarkan saja, sebentar lagi dia berusia dua puluh lima tahun. Sudah saatnya, nanti bertemu dengan jodohnya."

"Yaaa, kalau bis jangan sekarang, Abi. Kan dia barusan lulus sarjana, setidaknya dia kerja dulu menikmati hasilnjerih payahnya."

"Kalau sudah di pertemukan jodohnya sama Allah, bagaimana ? Kita tidak bisa menolak, Umi."

Wajah cemberut dengan alis mengkerut dan bibir yang terjatuh rapat. Raut wajah Umi terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat karena omongan suaminya.

"Yo wis. Aku pamit ke ngajar ngaji dulu. Nanti setelah pulang, aku engko langsung ke warung bantuin Umi."

Umi mencium punggung telapak tangan suaminya sebagai doa agar dia selamat di perjalanan. "Tapi. Mie nya belum di anter pak Omar ?"

" Engko ke rumahnya. Aku mau berangkat dulu, assalamualaikum."

"Walaikumsalam. Ojok lali ya Abi !" teriak Umi dari dalam rumah, yang hanya di balas oleh suaminya dengan mengangkat tangan kanan ke atas walaupun dirinya tak berbalik menoleh.

Umi merapikan gelas kopi yang masih tertinggal di meja, dan berjalan ke arah dapur sambil melihat daun pintu kamar Asha dan berpikir, "ada apa ko Asha pulang pulang senyum senyum. Apa benar yang dikatakan Abi. Entahlah, semoga saja tidak terjadi. Kerja dulu ya nak. Nanti saja menikahnya."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!