NovelToon NovelToon

Obsesi Sang Ceo

Bab 1 — Jaminan Hutang

Ketukan keras terdengar di pintu rumah minimalis berlantai 2 itu. Malam baru saja turun, hujan gerimis menitik di luar, dan suasana keluarga Camelia mendadak mencekam.

Ayah Camelia—Pak Rendra—membuka pintu dengan wajah pucat. Di hadapannya berdiri seorang pria muda tinggi tegap, berjas hitam elegan, rambut tersisir rapi, dan tatapan tajam bagaikan pisau.

“Nerios …” suara Pak Rendra bergetar. “Kenapa kau datang ke sini malam-malam begini?”

Pria itu melangkah masuk tanpa diundang. Sepatu kulitnya menginjak lantai itu menimbulkan bunyi yang membuat suasana semakin menegangkan.

“Aku datang untuk menagih,” jawab Nerios dingin. “Hutangmu, Pak Rendra. Sudah 3 bulan dari tanggal yang ditentukan."

Camelia yang baru saja keluar dari kamar bersama dua adiknya, Lila dan Maira, tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Ia sudah sering mendengar kabar bahwa ayahnya punya hutang, tapi ia tidak pernah tahu pada siapa. Kini semuanya jelas—pada Nerios, teman lamanya sejak SMA.

“Aku… aku butuh waktu, Nerios. Bisnisku baru saja bangkit lagi,” suara Pak Rendra memohon.

Nerios menatapnya tanpa belas kasihan. “Hutangmu bukan ratusan juta tapi sudah sampai 3 milliar! Waktu sudah kuberi cukup banyak. Sekarang aku ingin pembayaran.”

Camelia maju selangkah, dengan berani ia mendongak, menatap mata Nerios. “Kami tidak punya uang sebanyak itu. Tolong beri kami kesempatan lagi!” ucapnya memohon, ia rasa dulu Nerios bukanlah orang yang kejam, jadi ia berpikir bahwa pria itu seharusnya bisa memberikan keringanan.

Nerios menoleh, menatap Camelia. Tatapan itu menusuk, dingin tapi penuh obsesi. Seolah sejak lama ia menunggu momen ini. “Ada cara lain untuk membayar,” katanya lirih.

Ketiga gadis itu menegang. Pikiran mereka melayang, menerka apa sekiranya cara lain yang dimaksud olehnya.

“Aku akan memilih salah satu putrimu,” lanjut Nerios, suaranya penuh kuasa. “Salah satu harus ikut denganku sebagai jaminan hutang.”

“APA?!” teriak Camelia, matanya terbelalak mendengarnya. Dengan spontan ia kembali menghampiri kedua adiknya, berdiri di hadapan mereka seakan melindungi dari pria yang sangat berbeda jauh dari yang ia kenal dulu.

Pak Rendra gemetar. “Itu … itu keterlaluan, Nerios! Mereka masih muda. Mereka bukan barang yang bisa dijadikan jaminan!” bentaknya.

Nerios mendekat, tubuhnya hanya beberapa inci dari Pak Rendra. “Aku tidak main-main. Kau tidak punya pilihan. Kalau kau menolak, besok rumah ini akan kusita sebagai jaminan awal, dan keluargamu akan tidur di jalanan.”

Suasana hening seketika. Hanya suara tangisan lirih Lila dan Maira yang terdengar. Hati Camelia berdenyut nyeri mendengar tangisan kedua adiknya, mereka pasti ketakutan, banyak hal buruk yang bisa saja terjadi kepada mereka bertiga, seperti menjadi alat transaksi jual-beli organ manusia—itu hal paling buruk yang Camelia pikirkan.

Camelia menoleh ke belakang menatap sendu adik-adiknya. Lila baru 18 tahun, baru lulus sekolah. Maira bahkan baru masuk SMA. Mereka masih terlalu muda, mereka bahkan memeluk Camelia sangking takutnya.

Dengan suara serak, Camelia berkata, “Kalau memang harus ada yang pergi, aku yang akan ikut. Tapi jangan sentuh adik-adikku sedikit pun!"

“Camelia, tidak!” jerit ayahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu—”

Namun Nerios menyeringai tipis, tatapan matanya berkilat penuh kemenangan. “Tidak perlu repot memilih. Aku memang hanya menginginkan satu orang, yaitu dirimu.”

Camelia membeku. Itu artinya memang dirinya sudah diincar oleh Nerios, tapi apa alasannya? Mereka hanya teman satu kelas saat SMA dan kuliah, interaksi mereka pun tidak terlalu sering.

"Kenapa harus aku?" tanya Camelia penuh rasa penasaran.

Nerios menatapnya tanpa berkedip. “Karena sejak lama, aku sudah menunggumu. Dan sekarang kau akhirnya jadi milikku.”

“Mil—milikmu?” suara Camelia tercekat, campuran marah dan takut. Siapa yang tidak takut melihat perubahan besar dalam diri Nerios? Pria itu kini terlihat kejam.

Nerios mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Camelia. “Ya. Kau yang kupilih. Bukan adikmu. Bukan orang lain. Hanya kau.”

Camelia menggertakkan gigi. “Kau gila! Aku bukan barang!”

Senyum Nerios melebar tipis, tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya, berusaha keras agar tidak menyentuh pipi Camelia yang terlihat merona. “Tidak. Kau jauh lebih berharga dari itu. Kau adalah hutang yang tidak ternilai. Dan mulai malam ini, kau akan tinggal bersamaku sampai hutang itu lunas… atau selamanya.”

Tangisan adik-adiknya pecah lebih keras, mereka semakin erat memeluk Camelia, terlihat sangat tidak rela kehilangan kakak yang selama ini membantu mereka. Pak Rendra jatuh berlutut, menutupi wajah dengan kedua tangan. “Maafkan Papa, Camelia… Papa tidak bisa berbuat apa-apa.”

Camelia menahan air mata. Ia tahu, jika ia menolak, keluarganya akan hancur. Rumah disita, adik-adiknya menderita. Tidak ada pilihan.

Dengan suara serak ia berkata, “Baik. Aku ikut. Tapi jangan pernah sakiti mereka.”

Tatapan Nerios melunak sesaat, lalu kembali tajam. “Aku tidak peduli dengan mereka. Aku hanya peduli padamu.”

Ia meraih tangan Camelia tanpa bertanya, menariknya dengan paksa. Camelia sempat berusaha melepaskan diri, tapi genggaman Nerios kuat seperti besi.

“Ayo, Camelia. Mulai malam ini, kau akan mengenal arti sebenarnya dari kata ‘milikku’,” ucapnya dingin.

"Sebentar! Aku harus mengambil barang-barangku terlebih dahulu!" Camelia menyentak tangan Nerios lebih kuat membuat cengkraman itu terlepas.

Nerios menatap marah Camelia, ia tidak suka dengan suara wanita itu yang bernada tinggi dan juga hentakan pada tangannya.

"Kau tidak membutuhkan barang jelek itu, aku sudah menyediakan semua kebutuhanmu!" ungkap Nerios.

"Br*ngs*k! Jadi kau sudah merencanakan semua ini sejak awal!" maki Camelia, ia menggeleng pelan, tak percaya dengan perbuatan Nerios.

Nerios tertawa sumbang, ia kembali menarik tangan Camelia, kali ini lebih kasar. "Jangan menguji kesabaranku, Camelia!" bentaknya.

"Cepat ikut aku, atau aku akan menyakiti keluargamu!" ancam Nerios, membuat Camelia menggertak giginya.

Tak ada pilihan lain, wanita itu mengangguk pasrah, tanda siap dibawa oleh Nerios. Dan Nerios tersenyum kemenangan melihat anggukan itu, suara hujan dan tangisan membuat hatinya semakin senang seakan telah mendapatkan sebuah penghargaan yang selama ini ia kejar.

Camelia menoleh sekali lagi ke arah ayah dan adik-adiknya yang menangis. Air matanya jatuh.

"Nanti bilang sama bundanya pelan-pelan aja, ya, ayah! Jangan bikin bunda khawatir, karena aku yakin aku bakalan baik-baik aja!" pesan Camelia sebelum tubuhnya keluar dari dalam rumah.

Pintu itu tertutup, tapi ia masih jelas mendengar suara raungan ayahnya, meminta maaf padanya, memohon agar dirinya bisa menjaga diri baik-baik, membuat hati Camelia seakan remuk.

"Tak perlu menangis, aku tidak suka melihat air matamu turun karena mereka!" sentak Nerios, lalu dengan perlahan mengusap air mata yang turun membasahi pipi Camelia.

Camelia menepis tangan pria itu dengan kasar, ia tak sudi disentuh olehnya. Dengan mata yang memerah dan linangan airmata, ia menatap tajam Nerios.

"Pria br*ngs*k!"

Tolong dukung cerita pertama aku ya!

Jangan lupa vote dan komen

Salam cinta, biebell

Bab 2 — Di dalam Rumah Mewah

Suara deru mobil mewah itu masih terngiang di telinga Camelia, bahkan setelah langkahnya kini menapaki lantai marmer dingin rumah megah milik Nerios. Aroma lavender samar bercampur wangi kayu cendana memenuhi ruang utama. Segala sesuatu terasa asing.

Dinding tinggi berhias lukisan abstrak, lampu gantung kristal berkilau menusuk matanya, dan bayangan dirinya yang bergetar terlihat jelas di permukaan lantai yang terlalu licin.

Camelia menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali. Kedua tangannya bertaut, ia tak bisa memungkiri bahwa saat ini ia sangat merasa takut, hanya ia mencoba tidak memperlihatkan rasa takutnya itu.

“Mulai malam ini, tempat ini adalah rumahmu,” suara dingin Nerios terdengar di belakangnya.

Camelia menoleh. Pria itu melepas jas hitamnya, melemparnya begitu saja ke sofa panjang di ruang tengah, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh arti.

Tatapan yang membuat Camelia bergidik. Ada sesuatu di balik mata itu—bukan sekadar amarah atau dendam, mungkin saja obsesi yang pekat, menjerat, dan sulit dijelaskan.

“Apa yang harus aku lakukan di sini, apakah kau akan menjadikanku seorang pembantu?” Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari mulut Camelia.

Nerios tersenyum tipis, namun senyumnya lebih menyerupai garis tajam yang penuh ancaman. “Bukankah sudah aku bilang bahwa kau adalah milikku? Itu artinya mulai detik ini kamu akan menjadi kekasihku, Sweetheart!”

Camelia bergidik mendengar kata terakhir yang terucap, kalimat yang diucapkan dengan suara berat itu seakan mutlak dan tidak akan pernah bisa terbantahkan.

Nerios melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa berat di telinga Camelia, seperti gema yang menghantui. Ia berhenti hanya satu jengkal darinya. Aroma parfum maskulin Nerios menyergap, membuat Camelia semakin gugup.

“Kau akan menemaniku, berada di sampingku setiap saat layaknya seorang kekasih. Kau bebas melakukan apapun di rumah ini, aku akan menuruti semua keinginanmu, kecuali ... kebebasan!”

Camelia menggigit bibir, matanya menatap mata tajam Nerios. “Itu terdengar seperti sebuah obsesi gila! Aku tidak mau selamanya berada di sisimu, aku ingin pulang!”

“Sayangnya, kau tidak punya pilihan,” jawab Nerios cepat. “Kau harus belajar, Camelia. Di dunia ini, bukan kau yang memegang kendali. Aku yang memilih. Aku yang memutuskan. Dan sejak lama aku sudah memilihmu.”

Kata-kata terakhir itu menyalakan bara ketakutan sekaligus penasaran di hati Camelia. Sejak lama…? Apa maksudnya?

Sebelum ia sempat bertanya, Nerios meraih tas dari tangannya dengan kasar, lalu meletakkannya di lantai. “Ikut aku,” ucapnya singkat.

Camelia mengikuti, langkahnya berat. Tangga spiral yang megah membawa mereka ke lantai dua. Lorong panjang terbentang, dengan pintu-pintu kamar berjejer rapi. Nerios membuka salah satunya.

Kamar luas dengan jendela besar menghadap kota, ranjang king-size berseprei putih bersih, dan meja rias indah menanti. Semua tampak sempurna—kecuali hawa dingin yang menusuk hati.

“Inilah kamar barumu,” kata Nerios. “Mulai malam ini, setiap pagi kau bangun di sini. Dan setiap malam… kau tidur di bawah aturanku.”

Camelia menoleh cepat, wajahnya pucat. “Apa maksudmu?”

Nerios hanya tersenyum samar. Ia berjalan mendekat ke arah jendela, menyingkap tirai, memperlihatkan panorama lampu kota yang berkelap-kelip. “Lihatlah, Camelia. Dunia di luar sana bisa jadi indah, tapi sekaligus berbahaya. Di sini, aku bisa menjagamu. Namun ingat, jika kau mencoba kabur, kota ini lebih kejam daripada aku.”

Camelia merasakan dadanya sesak. Nerios bukan hanya menahannya secara fisik, tapi juga mulai menjerat mentalnya dengan ketakutan.

“Aku… aku bukan bonekamu,” bisik Camelia, suaranya pecah.

Nerios berbalik. Dalam sekejap ia berdiri di hadapannya, menatap tepat ke matanya. Tatapannya tajam, mendominasi, tapi juga penuh perasaan terpendam.

“Kau salah, Camelia,” ucapnya pelan, nyaris intim. “Kau jauh lebih berharga dari boneka. Kau adalah obsesi yang tidak pernah bisa kulepaskan, sejak kita masih remaja. Kau mungkin tidak ingat, tapi setiap senyum, setiap langkahmu … sudah menjeratku. Kau takkan bisa lari dari itu.”

Air mata Camelia jatuh tanpa ia sadari. Ia membenci bagaimana kata-kata Nerios menekan jiwanya, tapi di sisi lain ia bisa merasakan ketulusan aneh yang membungkus obsesi itu.

Nerios mendekat lebih jauh, jemarinya mengangkat dagu Camelia dengan lembut, meski tatapan matanya tetap menuntut. “Mulai malam ini, ingatlah satu hal, kau adalah Cameliaku. Tak peduli dunia menolak atau kau sendiri menolak aku tidak akan pernah melepaskanmu.”

Camelia menepis tangannya dengan cepat, melangkah mundur hingga punggungnya menempel di dinding. “Kau gila, Nerios!”

Namun Nerios hanya tertawa kecil, suara rendahnya bergema di kamar. “Kalau cinta yang terlalu dalam disebut gila, maka ya… aku gila karenamu.”

Suasana hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan seolah menghitung waktu dimulainya belenggu panjang yang akan dijalani Camelia.

Di dalam hatinya, Camelia tahu bahwa malam pertama di rumah ini hanyalah awal dari penderitaan yang mungkin akan mengikatnya selamanya.

"Apa kau ingin lebih lama bersamaku?" Jemari Nerios dengan lancang menyentuh rambut panjang nan indah milik Camelia, matanya menelusuri penampilan wanitanya, ia baru sadar jika Camelia menggunakan piyama tidur.

"Jangan sentuh aku!" sentak Camelia, lagi-lagi ia menepis tangan Nerios. Membuat pria itu memasukan salah satu tangannya ke dalam saku celana.

"Kau tampak lucu menggunakan piyama itu," ledeknya, matanya terus menyusuri tubuh Camelia. Wanita itu mengenakan piyama putih dengan motif bunga sakura, sangat imut.

Camelia tersentak, ia baru sadar bahwa dirinya mengenakan piyama. Karena pria s*alan itu datang saat akan waktu itu, maka tadi mereka berempat sudah bersiap tidur sembari menunggu sang bunda yang katanya akan segera sampai, tapi bukan bunda yang datang tapi Nerios.

"Lebih baik kau pergi, aku akan bersiap untuk tidur!" usirnya, tak memperdulikan ledekan itu. Yang ia inginkan hanya menjauh sesaat dari pria itu sebelum akhirnya mencoba menerima fakta bahwa sekarang ia merupakan 'jaminan'.

"Jangan congkak, Camelia!" Nerios berdesis tak suka, ia dengan kasar mencengkram dagu wanitanya, menimbulkan ringisan dari bibir ranum itu. "Jangan mentang-mentang aku berkata bahwa kau adalah milikku, kau bisa seenaknya mengaturku!" bentaknya.

"Akhh ..." Camelia meringis, cengkraman itu tidak main-main, rahangnya terasa sangat sakit, seperti bisa akan remuk kapan saja.

"S–sakit!" Ia mencoba memukul tangan Nerios dengan keras agar pria itu melepaskan cengkramannya. Air matanya kembali menetes, membasahi pipi dan tangan Nerios.

Mata Nerios yang semula menggelap kini berubah, mata itu nampak bergetar. Dengan cepat ia melepaskan cengkramannya, hingga membuat Camelia hampir luruh ke lantai jika saja ia tidak memeluknya dengan cepat.

"Maaf! Maaf!" ungkapnya penuh penyesalan, wajah memerah dan air mata Camelia membuat Nerios tersadar begitu saja.

Dirinya baru saja menyakiti wanitanya ...

Berikan dukungan kalian teman-teman!

Jangan lupa vote dan komen

Salam cinta, biebell

Bab 3 — Sekretarisku!

Cahaya matahari yang masuk karena gorden dibuka oleh pelayan di rumah Nerios, membuat Camelia terbangun dari tidurnya, matanya menyipit, bibirnya bergumam kecil.

"Bunda, aku masih ngantuk!" gerutunya tanpa sadar.

Rani—salah satu pelayan di rumah mewah itu tersenyum kecil, ia berjalan menghampiri Camelia. "Maafkan saya karena menganggu tidur nona, tapi tuan Nerios menyuruh saya untuk membangunkan Anda," ungkapnya.

Mata Camelia sontak terbelalak, ia duduk dengan spontan dan langsung sadar bahwa sekarang dirinya sudah tidak lagi berada di rumahnya.

Ia menatap Rani, tatapannya terlihat bingung. "Apakah aku harus bekerja di rumah ini?" tanyanya, ia masih mengira bahwa Nerios ingin menjadikannya seorang pelayan.

"Tidak," jawab Rani sambil berjalan ke meja nakas, ia menuangkan air putih ke dalam gelas. "Tuan Nerios meminta Anda untuk segera mandi dan bersiap menggunakan pakaian yang sudah saya siapkan," ucapnya memberitahu seraya menyodorkan gelas itu pada Camelia.

Camelia tidak terbiasa dilayani seperti ini, bahkan saat keluarganya masih di dalam kejayaannya, mereka tidak memliki pelayan yang melayani seperti ini. Lagi pula, kekayaan Nerios memang tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan keluarganya dulu, karena sangat berbeda jauh.

Wanita itu mengambil gelas dengan canggung, meminumnya secara perlahan, lalu mendongak menatap Rani setelah minum.

"Lalu sehabis itu aku harus melakukan apa?" tanya Camelia sambil menyodorkan kembali gelas itu dengan perlahan.

Rani tersenyum melihat gerakan tangan Camelia yang nampak sedikit ragu, ia mengambil gelas itu dari tangan Camelia. "Tuan sudah menunggu Anda di bawah, tepatnya di meja makan. Jadi setelah bersiap Anda bisa langsung ke sana."

"Baiklah!" ucapnya seraya mengangguk kecil.

Pelayan itu meletakan gelas ke atas nampan, tepat di samping teko yang terlihat mahal. Ia mengangkat nampan tersebut.

"Kalau begitu saya permisi!" pamit Rani, berjalan keluar dari dalam kamar.

Camelia tak menjawab, ia hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu. Perasaannya semakin kacau, ia tidak menyangka bahwa takdir begitu jahat padanya. Membawanya kepada pria yang terlihat jelas terobsesi padanya.

"Bunda, aku harus bagaimana ... Aku takut!" ucapnya dengan lirih, suaranya bergetar seperti ingin menangis.

......———......

Camelia menatap pantulan dirinya pada cermin meja rias, dirinya memakai pakaian yang disediakan oleh Rani. Pakaian ini terlihat begitu formal dan sepertinya setelan ini biasa digunakan oleh seorang sekretaris.

Wajahnya pun ia rias dengan riasan yang tidak terlalu tebal namun tidak terlalu natural, ini permintaan Nerios juga. Tadi Rani kembali ke kamar untuk memberitahunya bahwa ia juga harus merias wajahnya.

Ia menghela nafas panjang, menguatkan dirinya sebelum turun untuk menemui Nerios. Pria itu pasti sudah sangat tidak sabar, jadi dengan perlahan ia berjalan keluar dari dalam kamar sebelum pria itu mendatangi dirinya.

Suara hentakan heels yang menuruni anak tangga terdengar menggema, membuat pelayan yang bekerja di lantai dasar menoleh ke arah Camelia.

"Cantik banget!"

"Dia wanitanya tuan Nerios ya?"

"Kapan nona itu datang ke sini?"

Suara para pelayan pun terdengar di telinga Camelia karena wanita itu sudah berada di lantai dasar. Ia tersenyum kikuk pada pelayan yang semuanya wanita, dari yang muda hingga paruh baya.

"Selamat pagi nona Camelia!" sapa Retno yang merupakan kepala pelayan.

Camelia mengangguk kaku. "S-selamat pagi!" balasnya.

Retno tersenyum lembut, jari jempolnya menunjuk ke area dapur. "Tuan Nerios sudah menunggu Anda di sana," ucapnya memberitahu.

"Ah ... Iya!" Camelia menoleh ke area dapur, ia dapat melihat Nerios yang menatapnya dari sana dengan dingin.

"Saya permisi!" Dengan cepat Camelia berjalan menghampiri Nerios. Bayangan tentang cengkraman semalam sedikit membuatnya bergidik ngeri.

"Kau bersiap cukup lama, apa kau berencana untuk kabur?!" tuduh Nerios begitu Camelia berada di samping tubuhnya.

"Tidak! Aku memang lama jika sedang bersiap!" balas Camelia tidak terima, ia memang cukup lama jika bersiap, hanya saja hari ini ia merenung dulu karena memikirkan cara agar terlepas dari Nerios.

Nerios berdecak pelan, ia menunjuk bangku di sebrangnya dengan dagu. "Duduk di sana! Makanan ini sudah dingin hanya karena menunggumu!" perintahnya dengan tegas.

Camelia melirik sinis Nerios sebelum mengikuti perintahnya, pria itu sangat menyebalkan. Dia semena-mena karena Camelia kini berada digenggamannya, itu membuat hati Camelia sedikit berdenyut nyeri.

"Kau cantik." puji Nerios tanpa menatap Camelia. Ia sibuk dengan sendok dan garpu untuk memulai sarapan.

Wanita itu yang baru saja duduk di atas bangku pun tersentak, satu alisnya terangkat. "T-thanks!" katanya sedikit ragu karena pujian itu secara tiba-tiba.

"Makanlah! Jika tidak suka dengan makanannya katakan saja, aku akan meminta Bu Retno untuk menggantinya." perintah Nerios, tapi kali ini dengan suara yang lembut. Ia juga menatap Camelia dengan senyum tipisnya.

Camelia menurut, ia mengambil sendok dan garpu. Mengambil makanan lalu menyuapkan pada mulutnya. "Enak." pujinya setelah menelan makanan itu.

"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Camelia dengan penasaran.

Nerios menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya, mengunyah dengan santai sebelum akhirnya menjawab, "kita akan bekerja di kantorku dan kau akan menjadi sekretarisku!"

"Hah?" Camelia terkejut, ia menatap tak percaya Nerios. "Sekretaris? Yang bener aja! Aku tidak pernah bekerja dengan posisi tinggi seperti itu, aku pasti akan melakukan kesalahan!"

"Siapa yang peduli?" kata Nerios sambil mengendikkan kedua bahunya tak acuh. "Biar pun kau melakukan kesalahan, aku yang akan menghukum dirimu, bukan orang lain," lanjutnya dengan santai.

"Aku tidak tau pekerjaan sekretaris itu seperti apa, yang dasar pun aku tidak tau!"

Camelia memang bekerja di perusahaan sejak lulus kuliah, tapi ia bekerja hanya sebagai karyawan biasa, jadi ia jelas tidak tau cara kerja sekretaris. Terlebih perusahaan tempat bekerjanya dulu berbeda jauh dengan perusahaan Nerios, ia takut akan membuat kesalahan yang besar.

"Aku akan mengajarimu, tenang saja!" Lagi pula memangnya siapa lagi yang akan mengajari Camelia selain dirinya? Tentu saja tidak ada dan tidak boleh ada!

"Tidak segampang it—"

"Kau tinggal menurut saja, Camelia!" tekan Nerios, ia menatap tajam wanitanya karena terlalu membantah.

Camelia menunduk, ia tidak bisa melakukan perlawanan apa pun. Nerios terlalu dominan, auranya sangat kuat.

"Baik!" katanya dengan patuh.

"Segera habiskan makananmu!" perintah Nerios dengan tegas.

Kemudian hening, hanya ada suara dentingan dari alat makan yang beradu. Mereka fokus pada makanan masing-masing dan juga pikiran mereka sendiri.

Camelia yang merasa tertekan, memikirkan berbagai cara agar lepas dari Nerios. Sedangkan Nerios merasa begitu bahagia karena kini Camelia berada di sisinya.

Nerios sesekali melirik ke arah Camelia, seakan memastikan bahwa di hadapannya benar-benar ada wanita yang selama ini dirinya cintai—oh atau wanita yang membuatnya merasakan sebuat obsesi gila?

Dirinya tak peduli itu! Yang ia peduli hanyalah Camelia, Camelia dan Camelia!

Berikan dukungan kalian teman-teman!

Jangan lupa vote dan komen

Salam cinta, biebell

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!