Malamnya, Alizha benar-benar tidak bisa kabur. Bibinya terus mengungkit soal biaya hidupnya, biaya sekolah, dan biaya rumah sakit almarhum ayahnya. Alhasil, dia menurut dengan ribuan ide untuk kabur.
Mobil tua milik tetangga Pakde—berhenti di depan hotel bintang dua yang lampunya berkilauan. Dari balik kaca, Alizha memandang dengan mata membelalak, tubuhnya bergetar menahan amarah. Malam ini, dia akan melayani pria tua yang memiliki istri tiga.
"Kenalan katanya, padahal mah udah kenal. Ngapain coba, harus berduaan di kamar hotel?" batinnya.
"Turun! Jangan bikin malu! Juragan Agus sudah menunggu di dalam," bentak Bibi Ramlah sambil menarik lengannya.
Alizha menepis kasar. "Saya ini berhijab, Bi! Kepala ketutup kerudung. Ya kali jual diri sama calon kakek-kakek begitu!" suaranya pun menggelegar, membuat beberapa tamu hotel menoleh penasaran.
Bibi Ramlah langsung menekan bahunya dengan tatapan galak. "Jaga mulutmu! Kau pikir berhijab itu bisa bayar utang? Berhenti sok suci, Lizha! Kalau tidak mau, biar saya yang seret kau masuk!"
Pakdenya menunduk, tidak berani ikut campur. Ia hanya berdeham pelan. "Sudahlah, Lizha. Ikut saja, jangan bikin keributan di sini."
Alizha memutar tubuhnya dengan wajah memerah. "Keributan? Memang seharusnya ribut, Pakde! Saya dijual seperti barang murahan! Apa kalian tidak malu?!"
Bibi Ramlah semakin keras menarik tangannya. "Diam! Kau itu cuma numpang hidup di rumah ini! Kalau tidak mau balas budi, jangan salahkan kami kalau nanti kau dibuang ke jalan!"
Alizha terhuyung, tangannya masih ditarik. Tapi dia melawan dengan sekuat tenaga. "Lebih baik saya tidur di jalan daripada tidur sama juragan tua itu! Saya bukan barang dagangan, Bi!"
Suasana jadi ricuh. Beberapa orang mulai melirik, resepsionis menatap dengan bingung dari balik meja.
Bibi Ramlah mendekatkan wajahnya ke telinga Alizha, suaranya berdesis. "Kalau kau berani lari, Lizha, jangan pernah kembali ke rumah itu. Ingat, utang ini bisa menghancurkan semua orang. Termasuk hidupmu sendiri."
Alizha menegakkan kepalanya. Sorot mata perlawanan, tapi berkaca-kaca. "Kalau begitu, biarkan saya hancur sekalian. Saya tidak akan menjual diri hanya untuk memenuhi keserakahan kalian!"
Dengan tiba-tiba, dia menghentak lengannya sekuat tenaga—membuat Bibi kehilangan pegangan. Tanpa pikir panjang, Alizha berlari ke arah lorong hotel.
Di sisi lain, seorang pria tengah duduk di sofa hotel. Kemejanya terbuka, dasi acak-acakan, dan aroma vodka masih terasa di tubuhnya. Matanya merah, penuh amarah bercampur frustasi.
"Sialan! Bisa-bisanya dia lebih memilih pria seperti itu daripada saya!" gumamnya dalam bahasa Inggris tercampur Rusia.
Asistennya, buru-buru membantunya duduk lebih tenang di ranjang. "Mungkin dia mencari yang tidak ada pada Anda, Tuan," katanya dengan hati-hati.
Pria itu menoleh dengan tatapan tajam, wajahnya memerah. "Ahk! Vsyo odinakovoye! Semua wanita sama saja! Mau mencari apa? Semua bentuknya sama saja!"
Asistennya menelan ludah, sadar ucapannya barusan salah tangkap. "Maksud saya ... ah, bukan begitu, Tuan."
Pria itu mendengus keras, menyambar botol vodka yang tinggal separuh. "Mentang-mentang saya tidak ingin pamer selangkangan, dia malah mencari yang mau pamer! Dasar murahan!"
Asistennya ikut mengangguk cepat-cepat dengan wajahnya yang kaku. "Benar, sangat murahan sekali. Tapi sebaiknya Anda istirahat saja, Tuan. Your health is more important."
Pria itu menepuk dahinya sambil tertawa miris. "Health? Ha! Carikan saya gadis muda saja. Saya butuh seorang gadis, untuk bersenang-senang."
Asistennya langsung terperangah. "Tapi, Anda tidak pernah tidur dengan gadis mana pun, Tuan."
"Carikan satu gadis!" bentaknya sambil mendorong bahu asistennya. "Kalau tidak, ya uvolen! Saya pecat kau!"
Asisten itu menghela napas, menunduk pasrah. "Baik, Tuan."
Asistennya pun keluar dari kamar dengan wajah kusut, menggaruk kepala keras-keras. "Gadis? Gadis apa maksudnya? LC gitu? Gila aja, masa iya Tuan mau melepas keperjakaannya sama gadis bayaran? Yang benar saja!"
Dia menghela napas panjang. Pikiran bercampur aduk, antara takut dipecat dan bingung harus mencari di mana. "Kalau salah pilih, bisa-bisa kepala saya yang melayang."
Dengan berat hati, ia melangkah menyusuri koridor hotel. Pandangannya menyapu kanan-kiri, berusaha mencari sosok yang 'layak' tanpa membuat bosnya semakin marah.
"Cari gadis? Saya ini asisten, bukan calo, Tuan." Ia mengibaskan tangan, memilih mengabaikan keributan yang terdengar dari ujung lorong.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berlari—Alizha. Kerudungnya sampai bergeser, wajahnya pucat, matanya begitu liar mencari jalan untuk kabur. Di belakangnya, suara berat Juragan Agus menggema, "Alizha! Jangan lari! Kau tidak akan bisa sembunyi!"
Asisten itu hanya mendengus. "Bukan urusan saya." Ia segera berbelok ke sisi lain lorong, meninggalkan mereka.
Alizha hampir tersandung tumit sepatunya, jantungnya berdegup kencang. Tangannya meraih gagang pintu kamar satu per satu. Terkunci. Terkunci lagi.
"Ya Allah ... masa tidak ada yang terbuka, sih?!" bisiknya panik.
Sampai akhirnya, satu pintu tidak terkunci. Tanpa pikir panjang, ia mendorongnya masuk, dan menutup pintu dengan cepat.
Kamarnya gelap, remang-remang. Aroma alkohol menusuk hidungnya. Tapi dia tidak tahu itu aroma apa. Melainkan lebih fokus dengan Juragan Agus.
Alizha menempelkan punggungnya ke pintu, menarik napas panjang. "Alhamdulillah, akhirnya lolos dari juragan tua itu."
Ia tak sadar, di balik kegelapan kamar itu, ada sepasang mata yang sejak tadi menatapnya dengan tajam.
Alizha menempelkan telinganya ke pintu, napasnya memburu. Dari luar terdengar ketukan keras, disertai suara berat Juragan Agus.
"Alizha! Saya tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!"
Panik, Alizha berusaha menahan pintu dengan kedua tangannya. "Ya Allah, tolonglah! Jangan sampai kebuka," gumamnya, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya.
Saat bersamaan pula, dari belakangnya terdengar suara gesekan kain. Alizha terdiam kaku. Ada langkah berat menghantam lantai kamar yang remang-remang itu.
"Alamak, jangan bilang ini kamar orang?!" batinnya.
Belum sempat berbalik, ia merasakan sesuatu. Tubuh tinggi besar berdiri tepat di belakangnya, panas napasnya begitu dekat. Tangan kokoh itu tiba-tiba bergerak melewati pinggangnya, lalu—
Klik.
Ternyata dia mengunci pintu. Refleksi Alizha membelalak, membeku di tempat. Dari luar, ketukan pun berhenti.
Pria itu bergumam santai dengan suara berat, sedikit serak karena alkohol. "Anton memang bodoh. He brought me to this cheap hotel. Even the lock is manual." (Dia membawaku ke hotel murahan begini. Bahkan kuncinya masih manual.)
Alizha menahan napas. "Bahasa Inggris? Orang asing?" batinnya panik.
Perlahan ia menoleh, lalu berbalik sepenuhnya. Saat pandangannya jatuh pada wajah pria itu, mulutnya nyaris ternganga. Tubuh tegap, rahang tegas, sorot mata tajam meski terlihat lelah.
Jantung Alizha berdegup kencang. "Ya Allah, makhluk apa ini kok ganteng sangat?!" batinnya.
Ia sampai berkedip cepat, seolah ingin memastikan yang ia lihat bukan halusinasi. Alizha masih terpaku menatap wajah pria itu. "Astaga, kok bisa ya ada wajah sesempurna ini di dunia nyata?"
Jantungnya seakan mau copot, tapi kakinya kaku, tak bisa bergerak.
Tanpa banyak kata, pria itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya pelan. Suaranya yang berat, terdengar asing di telinga. "Пойдём со мной." (Ikut saya.)
Alizha membelalak. "Wow, wow, wow! No, no, no, mister. Ampun, mister. Saya nyasar ke sini, sumpah nyasar!" katanya reflek, panik setengah mati.
Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dengan dahi berkerut. Seakan tak mengerti ocehan Alizha yang campur aduk, ia bergumam lagi, kali ini dalam bahasa Inggris. "Relax. You’re too noisy."
Alizha makin panik. "Noisy? Ya jelas saya ribut! Saya bukan ... bukan cewek panggilan! Saya cuma—"
Namun pria itu tampak tidak peduli, malah bicara lagi dengan campuran Rusia yang terdengar dingin. "Vsyo prosto. Stay. Don’t move." (Sederhana saja. Tetap di sini. Jangan bergerak.)
Alizha mundur selangkah, niatnya hendak lari. Tangannya meraih gagang pintu, tapi ... Ia menoleh, wajahnya langsung memucat.
Pria itu dengan tenang mengeluarkan kunci dari sakunya, memainkannya di antara jari-jarinya. Sebuah senyum miring muncul di bibir.
Alizha hampir menjerit. "Ya Allah! Dia kantongi kuncinya! Mati aku!"
Pria itu hanya menatapnya dalam diam, seolah sedang menimbang sesuatu.
Alizha menelan ludah, pandangannya bergantian ke wajah pria tinggi itu dan kunci yang berputar di jarinya. "Astaga, Lizha, mati gaya banget kau! Pantang lihat yang handsome, handsome," batinnya.
"Aku harus jelasin! Harus jelasin!" batinnya lagi.
Ia mengangkat tangan dengan gelagapan. "Listen, mister! I am not, not ... lady service, oke? Saya bukan ... uh, open business girl!"
Pria itu mengerutkan dahi. "Что?" (Apa?)
Alizha makin panik. "No, no! I am pure girl! Very, very pure! Hijab, you see? This is hijab!" Ia menepuk kerudungnya sendiri dengan heboh.
Pria itu diam menatapnya, ekspresi antara bingung dan menahan tawa.
"Please understand, mister! I am not sell-sell! I am ... lost girl. Nyasar. Totally nyasar!" kata Alizha makin ngawur.
Pria itu memiringkan kepala, lalu mengulang pelan dengan aksen tebal, "Lost ... girl?"
"Yes! Yes! Lost! Like ... wrong door, salah kamar, gitu! Accident! Totally accident!" Alizha sampai mengibas-ngibaskan tangan, seolah menepis tuduhan yang tidak pernah ada.
Pria itu malah menatapnya makin tajam. "Hem. Interesting."
Alizha menutup wajah dengan kedua telapak tangan, wajahnya panas bukan main. "Ya Allah, bahasa Inggris aku kayak google translate rusak! Ini orang makin bingung pula!"
—tbc—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Afriyeni Official
nggak kebayang si alizha ini paniknya minta ampun.
2025-09-12
0