NovelToon NovelToon

Cinta Monyet Belum Usai

1. Datang dan Pergi

Di sebuah rumah sakit ibu dan anak, suasana ruang bersalin dipenuhi ketegangan. Seorang wanita muda tengah berjuang melahirkan penerusnya.

“Berjuanglah, Nak. Kamu pasti kuat,” bisik Mama Rini, menggenggam tangan putrinya erat.

“Ma… sakit…” air mata menetes dari pelupuk mata Wulan, wajahnya pucat menahan sakit yang luar biasa.

“Kamu kuat, Sayang. Anak Mama pasti kuat. Sedikit lagi…” suara sang ibu bergetar, mencoba tegar meski hatinya ikut perih.

Wulan berusaha mengatur napas, menarik dalam-dalam lalu mendorong dengan sekuat tenaga. Dalam hatinya ia hanya berdoa agar bayi kecil itu lahir dengan selamat—buah cinta terakhir dari suaminya yang telah pergi, warisan berharga untuk menemaninya kelak.

“Sedikit lagi, Bu. Dorong lagi!” seru dokter yang mendampinginya.

“Ahhh…” teriak Wulan sekuat tenaga, hingga tak lama kemudian, suara tangis bayi menggema memenuhi ruangan.

Semua rasa sakit seketika luruh. Air mata haru mengalir di pipi Wulan, berganti dengan senyum lega.

“Selamat, Nak. Kamu sudah menjadi seorang ibu. Kamu hebat sekali. Anak Mama memang hebat…” Mama Rini langsung memeluk putrinya, mencium kening Wulan, lalu mengusap peluh yang membanjiri wajahnya.

“Selamat, Ibu. Putra Ibu lahir dengan selamat, bahkan sangat tampan,” ucap sang dokter sambil tersenyum, membuat suasana kian hangat.

“Anakku… aku sudah jadi ibu, Ma,” suara Wulan bergetar, isaknya pecah di antara rasa syukur.

Dalam hati, Wulan berbicara pada almarhum suaminya. “Anak kita sudah lahir, Mas. Andai kamu ada di sini, pasti kita bisa bahagia bersama. Tapi aku ikhlas… kamu harus bahagia di surga.”

Tak lama, seorang perawat datang membawa bayi mungil itu, lalu meletakkannya di dada Wulan. Begitu merasakan hangat tubuh bayinya, Wulan tak kuasa menahan tangis bahagia. Ia tahu, meski kehilangan sosok suami, kini ia punya alasan baru untuk bertahan dan terus melangkah.

Keluar dari ruang bersalin, Mama Rini berjalan dengan senyum sumringah yang sulit disembunyikan.

“Bagaimana kondisi Wulan, Sayang?” tanya Dean begitu melihat istrinya keluar, suaranya penuh cemas. Damar dan Adam ikut mendekat, wajah mereka sama-sama tegang menunggu kabar.

“Bayi Wulan lahir dengan selamat,” jawab Rini, matanya berbinar.

Sekejap, suasana berubah. Wajah-wajah tegang itu kini terasa lebih lega, senyum terbit di bibir mereka.

Dean memeluk istrinya dengan rasa haru dan penuh syukur, "Kita sudah jadi Kakek dan Nenek, sayang. Rasanya baru kemaren kita gendong mereka seperti bayi, sekarang mereka sudah bisa memberi kita cucu."

“Kapan kita boleh lihat keponakan, Ma?” tanya Adam dengan antusias, hampir tak bisa diam.

“Tunggu sebentar. Nanti suster pasti mengizinkan,” jelas Rini sambil menepuk lengan putranya.

“Duh, rasanya nggak sabar. Pasti ponakanku itu setampan aku,” ucap Adam dengan bangga.

“Ck… apaan. Kalau mau punya fotokopi wajahmu, mending nikah dulu!” sindir Damar cepat.

Adam melotot pura-pura tersinggung. “Halah, sesama jomblo jangan sok memerintah!”

“Siapa yang jomblo?” Damar spontan membalas dengan wajah kesal.

Adam menyeringai, “Ya iya sih, nggak jomblo. Tapi ceweknya masih kabur kan?” cibirnya sambil melipat tangan.

“Hey! Kalian ini, jangan ribut di rumah sakit, usia sudah hampir kepala tiga masih aja suka ribut.” potong Rini, menatap kedua anaknya tajam.

Adam malah terkekeh, lalu merangkul lengan Rini manja. “Iya deh, maaf, Mama cantikku… Gak pakai diingatkan soal usia, Adam kan baru 29 tahun, masih muda.” katanya sambil bergelayut di pundaknya.

Dean langsung mengernyit. “Eh, jangan manja-manja sama Mama. Mama itu punya Papa. Sana cari cewek sendiri kalau mau manja!”

Rini menghela napas panjang, menatap suami dan anak lelakinya bergantian. “Ya Tuhan… nggak anak, nggak bapak, kelakuannya sama aja!” ucapnya sambil menggeleng heran, meski senyum kecil tetap merekah di bibirnya.

***

Sementara itu, di dalam sebuah pesawat yang terbang dari Paris menuju Singapura, seorang gadis muda tampak duduk di kursinya. Di sampingnya, seorang bocah kecil berusia lima tahun menatap keluar jendela, matanya berbinar-binar melihat gumpalan awan putih yang seolah berlari di luar sana.

“Ma, nanti kita bakal balik lagi ke Paris, nggak?” tanya bocah itu dengan suara polos.

Wanita muda itu menoleh, tersenyum lembut. “Mama belum tahu, Sayang. Semua tergantung keputusan atasan Mama. Kamu keberatan kalau harus tinggal di Indonesia?”

Bocah itu cepat menggeleng, lalu meraih tangan sang mama dengan erat. “Tidak, Ma. Ares mau tinggal di mana saja… asal sama Mama.”

Hati Stasia Miller bergetar mendengar jawaban polos itu. Ia menatap keponakan kecilnya, Ares Mahardika Miller, bocah yang sudah ia rawat seperti anak sendiri sejak kakak dan kakak iparnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Senyum tipis terbit di wajahnya, meski matanya menyimpan lelah dan segaris keraguan.

“Anak pintar,” bisiknya, mengusap lembut rambut hitam Ares. “Sekarang istirahat, ya. Perjalanan kita masih panjang.”

Ares mengangguk patuh, lalu merebahkan kepala mungilnya di bahu Stasia. Tak butuh waktu lama, bocah itu terlelap dalam damai. Stasia pun akhirnya menyandarkan kepala, matanya perlahan terpejam, membiarkan dirinya ikut tertidur di samping Ares, sementara pesawat terus melaju menembus langit malam.

Belasan jam berlalu. Setelah sempat transit di Singapura, akhirnya pesawat yang ditumpangi Stasia dan Ares kembali mengudara menuju Jakarta. Tubuhnya terasa lelah, tapi ada sedikit lega saat roda pesawat mendarat di tanah air.

Stasia menggandeng tangan Ares melewati kerumunan penumpang, matanya sibuk mencari-cari sosok yang menjemput mereka.

“Ares, Sisi!” sebuah suara lantang memanggil.

Ares menoleh cepat, wajahnya langsung berbinar. “Dady Andre!” serunya gembira, lalu berlari ke arah pria yang melambaikan tangan.

Andreas Whitmore jongkok sambil merentangkan tangan, menerima pelukan hangat dari bocah kecil itu. “Hai, jagoan Dady…” ucapnya penuh sayang sambil mengangkat tubuh mungil Ares.

Stasia tersenyum melihat kedekatan keduanya, lalu melangkah santai menghampiri.

“Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Andreas, menoleh ke arah Stasia.

“Lumayan melelahkan,” jawab Stasia singkat, menghela napas sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Kalau begitu, kita langsung ke apartemen, ya.” Andreas memberi isyarat pada dua porter yang sudah disiapkan, membantu membawa koper-koper besar milik Stasia.

“Kak Andre menyiapkan apartemen untuk kita?” Stasia menatapnya sambil berjalan menuju mobil.

“Tentu saja,” jawab Andreas mantap. “Aku tidak mau keponakan satu-satunya tinggal di tempat yang tidak nyaman.”

“Kak, kamu berlebihan.” Stasia menggeleng sambil tersenyum.

“Tidak ada yang berlebihan untuk keluarga,” balas Andreas, menatap serius.

Stasia menunduk, hatinya hangat. “Terima kasih…”

“Tidak perlu berterima kasih. Ayo, masuklah.” Andreas membuka pintu mobil setelah memastikan barang-barang sudah masuk ke bagasi.

Mereka pun berangkat, mobil melaju tenang menembus keramaian Jakarta. Ares duduk di pangkuan Stasia, asyik menceritakan hal-hal kecil selama tinggal di Paris.

Hening sejenak, lalu Stasia bersuara pelan, “Kak, aku turut berduka cita atas meninggalnya Kak Indri.”

Andreas terdiam sejenak. Senyum tipis namun getir muncul di wajahnya. “Terima kasih, Si…”

“Bagaimana dengan bayi kalian sekarang?” tanya Stasia hati-hati.

Andreas menghela napas berat. “Saat ini masih di rumah sakit. Bayinya perlu perawatan khusus… karena alergi susu formula.”

Mata Stasia membesar, tangannya refleks menutup bibir. “Ya Tuhan… terus bagaimana sekarang?”

“Kami sedang berusaha mencari donor ASI,” jelas Andreas. “Sayangnya, donor sebelumnya keberatan untuk melanjutkan. Aku tak bisa memaksa… dia juga punya bayi sendiri yang harus dipenuhi kebutuhannya.”

Stasia terdiam, hatinya ikut pilu. Ia menatap adik dari almarhumah kakak iparnya dengan penuh simpati. “Semoga segera ditemukan jalan keluar, Kak.”

Andreas mengangguk pelan. “Amin. Terima kasih, Si.”

Suasana di dalam mobil hening sejenak. Hanya suara tawa kecil Ares yang terdengar, seolah menjadi cahaya kecil yang berusaha mengusir kesedihan di antara mereka.

2. Aku Akan Menemukanmu

Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai apartemen. Setelah tidur panjang, tubuh Stasia terasa segar kembali. Pagi itu ia menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Ares. Aroma roti panggang dan telur hangat memenuhi ruangan kecil itu.

Begitu semua makanan tersaji rapi di meja, Stasia melangkah ke kamar Ares. Ia membuka pintu perlahan, mendapati bocah itu sudah duduk di kasurnya dengan mata yang masih sayu.

“Pagi, sayangnya Mama,” sapa Stasia lembut.

“Pagi, Mama…” jawab Ares dengan suara serak khas anak baru bangun tidur.

“Tidurnya nyaman? Betah nggak di apartemen baru kita?” tanya Stasia sambil tersenyum.

“Nyaman, Ma. Tapi Ares masih ngantuk,” gumamnya sambil menguap lebar.

Stasia terkekeh kecil. “Sudah waktunya bangun, Sayang. Hari ini Mama mau jenguk adik bayi di rumah sakit. Ares mau Mama tinggal di rumah?”

Mata Ares langsung terbuka lebar. “Adik bayi?”

“Iya.” Stasia mendekat, mengusap pipi chubby anak itu. “Baby-nya Dady Andre masih dirawat di rumah sakit. Jadi Mama mau menjenguk ke sana.”

“Oh… baby itu adiknya Ares?”

“Betul. Adik Ares. Nanti kalau sudah besar, bisa jadi teman main bola buat Ares.”

Mata Ares berbinar penuh semangat. “Ares mau ikut, Ma!” serunya.

“Boleh ikut,” jawab Stasia, tersenyum geli. “Tapi harus mandi dulu. Masak mau ketemu adik bayi tapi badan Kakak Ares bau asem?”

Ares terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kakak Ares? Mama panggil Ares kakak?”

“Nanti kalau adik sudah bisa bicara, adik pasti panggil kamu Kakak Ares,” ujar Stasia, mencubit pelan pipinya.

“Wah… Ares jadi kakak!” teriaknya riang.

“Ares senang?”

“Iya, senang sekali, Ma!”

“Kalau begitu, Kakak Ares harus cepat mandi.”

“Siap, Mama!” Ares berdiri tegap, memberi hormat dengan wajah lucu. Lalu berlari kecil ke kamar mandi, meninggalkan Stasia yang terkekeh sambil menggeleng.

Sambil menunggu, Stasia merapikan tempat tidur dan menyiapkan pakaian yang akan dipakai Ares. Setelah semua siap, ia berganti pakaian, lalu mengajak Ares sarapan bersama.

“Terima kasih sarapannya, Ma,” ucap Ares manis.

“Sama-sama, Sayang,” jawab Stasia sambil mengusap kepalanya.

Usai membereskan meja makan, mereka turun ke lobi apartemen, menghampiri taksi yang sudah dipesan. Perjalanan menuju rumah sakit terasa riang, dipenuhi celotehan Ares yang tak ada habisnya.

“Mama, nanti Ares sekolah juga di sini?” tanyanya penasaran.

“Tentu, Sayang. Dady sedang membantu Mama mencarikan sekolah yang bagus. Besok, katanya, Dady mau antar Ares lihat sekolah baru.”

Ares berpikir sejenak, lalu bertanya lagi, “Kalau di sini, teman-teman Ares bakal baik kayak teman-teman di Paris, nggak?”

Stasia tersenyum, menatap wajah kecil yang begitu polos itu. Ia lalu mengusap lembut pipi Ares. “Ingat apa yang pernah Mama bilang? Di mana pun, ada orang baik dan ada juga yang tidak baik. Paris atau Indonesia sama saja, Nak. Tugas Ares adalah pintar menjaga diri. Kalau ada yang bersikap baik, balaslah dengan kebaikan. Kalau ada yang tidak suka sama Ares, jangan pedulikan, jangan sampai terpengaruh. Mengerti, Sayang?”

Ares mengangguk mantap. “Mengerti, Mama.”

“Anak pintar.” Stasia tersenyum, lalu mengusap puncak kepala bocah itu dengan sayang.

***

“Dam, nggak ke kantor?” tanya Wulan pada saudara kembarnya sambil menimang bayinya yang baru selesai menyusu.

“Iya, hari ini masuk agak siangan. Aku mau bereskan beberapa dokumen dulu. Ada staf dari Paris dan London yang dipindah ke sini,” jawab Damar sambil merapikan jasnya.

“Kenapa mereka dipindah ke Jakarta?” tanya Wulan, masih menggendong bayinya penuh kasih.

“Kita butuh menyatukan ide dan menyesuaikan program dari semua cabang. Termasuk cabang Paris dan London—mereka makin besar, jadi perlu sinkronisasi langsung.”

“Oh begitu… trus, kapan staf barunya datang?”

“Tiga hari lagi. Katanya ada yang sudah sampai Indonesia, tapi masih ngurus kepindahan anaknya sekolah.”

“Wah, berarti udah nggak single,” celetuk Wulan sambil tersenyum nakal.

Damar langsung mengernyit. “Memang kenapa?”

“Ya siapa tahu kalau masih single bisa jadi jodohmu,” sahut Wulan enteng.

“Gak usah ngaco.”

“Ngaco apanya, Dam.” Wulan mendengus. “Sudah waktunya kamu move on. Masa hampir sebelas tahun nggak bisa juga?”

“Apa sih, Lan…” Damar menghela napas berat.

“Kamu tahu siapa yang aku maksud. Masih susah banget, ya, melupakan dia?” suara Wulan melembut, tapi tajam menusuk.

Damar terdiam. Tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang menandakan kenyataannya—ia memang belum bisa melupakan seseorang. Seseorang yang sudah lama pergi, entah di mana, entah bagaimana kabarnya sekarang.

Tok! Tok! Tok!

Pintu terbuka, seorang suster masuk dengan senyum ramah. “Permisi, Bu Wulan. Adik bayi mau saya ambil untuk dimandikan.”

“Baik, Suster.” Wulan menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Setelah menerima si kecil, suster pun keluar ruangan.

Damar bangkit berdiri, meraih tas kerjanya. “Aku ke kantor sekarang.”

“Lho, bukannya kamu bilang masuk siangan?” tanya Wulan heran.

“Aku pikir lebih baik segera selesaikan semua pekerjaan.”

Wulan menatapnya tajam. “Bukan karena mau menghindari pembahasan soal Stacy, kan?”

Damar menghela napas kasar. “Bukan. Aku memang harus pergi.”

“Ya sudah, pergilah. Sebentar lagi Mama juga pasti datang,” ucap Wulan akhirnya, sambil menggeleng pelan melihat sikap saudara kembarnya itu.

***

Di lobi rumah sakit, Damar berdiri santai, menunggu asistennya yang akan menjemput. Matanya menyapu sekeliling, sekadar mengisi waktu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti.

Pandangan itu menangkap sosok yang begitu dikenalnya—sosok yang selama ini ia tunggu, yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Wanita itu.

Dengan penampilan lebih dewasa, ia berjalan anggun, segelas kopi di tangan kanannya. Rambutnya tergerai indah, tatapannya tenang, seolah dunia di sekitarnya tak sanggup menggoyahkan langkahnya.

Damar terpaku. Dadanya bergetar hebat. Tidak mungkin…

Saat wanita itu masuk ke dalam lift, barulah kesadarannya kembali. Spontan ia bergegas, berusaha menyusul. Namun pintu lift lebih cepat menutup sebelum ia berhasil sampai.

“Sial!” desisnya, meninju pelan sisi dinding. Ia mengumpat dirinya yang terlalu lambat bereaksi.

Tepat saat itu, ponselnya berdering. Dengan kesal ia mengangkatnya.

“Pak, Anda di mana? Saya sudah di depan lobi. Saya tidak bisa berhenti lama di sini,” suara asistennya terdengar tergesa.

Damar menghela napas keras, mencoba menahan kekesalan yang menyesakkan. “Aku segera ke sana,” jawabnya singkat, lalu menutup panggilan.

Ia melangkah keluar lobi, tapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok yang baru saja dilihatnya.

Aku tidak mungkin salah lihat. Itu pasti kamu…

Langkahnya melambat. Sorot matanya penuh tekad bercampur gejolak emosi.

Jadi kamu sudah kembali ke Indonesia? Tapi kenapa tidak menemuiku?

Genggaman tangannya mengepal erat.

Baiklah. Tunggu saja. Aku akan menemukanmu… dan membuat perhitungan. Jangan kamu pikir bisa pergi begitu saja dariku.

3. Membantu Baby Rey

Tiba di rumah sakit, Stasia menggandeng tangan kecil Ares yang sejak tadi tak berhenti bercerita tentang betapa penasarannya ingin melihat bayi Andreas.

“Dady!” seru Ares tiba-tiba, lalu melepaskan tangannya dari Stasia dan berlari ke arah Andreas yang baru keluar dari lorong.

“Jagoan? Kamu di sini?” Andreas terperanjat, lalu langsung menunduk dan memeluk erat bocah kecil itu. Senyumnya merekah, ada kebahagiaan yang begitu sederhana namun terasa dalam.

“Kata mama, dady mau kasih Ares adik. Jadi Ares ikut mama jenguk adik yang sakit,” celoteh Ares polos, membuat Andreas terharu sekaligus tersenyum getir.

“Pagi, kak,” sapa Stasia begitu tiba di dekat mereka.

“Pagi, Si. Aku kira kamu masih istirahat di apartemen. Baru kemarin sampai dari perjalanan panjang.”

“Kami sudah cukup istirahat, kak. Lagi pula… aku mau lihat jagoan kecil kakak,” ucap Stasia lembut sambil mengusap rambut Ares.

“Iya, Ares mau lihat adik Ares!” sahut bocah itu dengan semangat.

Andreas terkekeh tipis, lalu menjawab, “Kakak mau ke kantin, beli kopi sebentar.”

“Biar aku saja yang beli. Kakak bawa Ares dulu ke ruangan bayi. Dia pasti tidak sabar,” ujar Stasia cepat.

Andreas sempat ingin menolak, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, kami tunggu di lantai 4. Sampai sana langsung saja ke ruang NICU.”

Tak lama, setelah membeli kopi, Stasia melangkah menuju lift. Dengan hati-hati ia membawa satu cup kopi hangat di tangannya. Saat berdiri di dalam lift, sebelum pintu tertutup rapat, entah kenapa ia merasa ada tatapan asing yang mengawasinya sejak tadi di lobi. Perasaan itu membuat bulu kuduknya sempat meremang. Namun ia buru-buru menggelengkan kepala. Hanya perasaan saja…

Begitu pintu lift terbuka di lantai 4, ia menghela napas lega, lalu segera keluar.

“Kak,” panggilnya sambil menyerahkan kopi kepada Andreas.

“Mama, Ares sudah lihat adik bayi. Dia kecil banget, Ma!” seru Ares dengan mata berbinar.

Stasia terkekeh, lalu menunduk meraih pipi Ares. “Ares juga dulu kecil waktu bayi. Semua bayi memang begitu. Tapi nanti kalau adik tumbuh sehat, dia akan besar juga seperti Ares.”

“Kalau adik sudah besar, dia bisa main bola sama Ares, kan?” tanya bocah itu penuh harap.

“Pasti. Adik bayi akan senang sekali punya kakak seperti Ares,” jawab Andreas sambil mengusap kepala Ares lembut.

Mereka lalu berdiri di depan kaca ruang NICU. Bayi-bayi mungil berjajar di dalam inkubator.

“Yang nomor tiga,” Andreas menunjuk ke salah satu bayi.

Stasia mendekat, matanya melembut. Bayi itu mungil, kulitnya pucat kemerahan, begitu rapuh. Hatinya terenyuh, apalagi mengingat bayi itu harus tumbuh tanpa belaian seorang ibu.

“Sekecil itu… sudah harus kehilangan ibunya,” lirih Stasia, nyaris tak terdengar.

Andreas terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Tuhan mengambil Indri begitu cepat. Dengan begitu, dia tidak perlu merasakan rasa sakit lagi. Kanker yang dideritanya saja sudah berat, apalagi dokter melarangnya hamil. Tapi Indri bersikeras… sampai akhirnya diluar kuasa kami, ternyata Tuhan menitipkan hidup baru di rahimnya, dan dia bersikeras ingin menjaganya sampai akhir. Dan begitulah… dia mempertahankan bayi kami, meski taruhannya adalah nyawanya sendiri.”

Stasia menoleh, menatap wajah Andreas yang menahan getir. “Meski aku hanya sempat mengenalnya lewat video call… aku bisa merasakan, Kak Indri memang wanita hebat.”

Andreas menahan senyum. Matanya tetap menatap bayinya, namun suara hatinya terdengar jelas. “Itulah alasan aku menikahinya. Aku tahu kondisinya, aku tahu penyakitnya… tapi dia begitu kuat, begitu tulus. Aku tidak pernah menyesal pernah bersamanya.”

Stasia tersenyum tipis, meski matanya basah. “Kakak juga hebat, mau menemani dan memilih tetap di sisinya. Aku yakin, bayi kalian ini akan tumbuh menjadi anak hebat, sama seperti orang tuanya.”

Andreas menoleh, matanya sedikit berair, lalu berusaha tersenyum. “Terima kasih, Si.”

“Sudah ada nama?” tanya Stasia pelan.

Andreas menghela napas, lalu menatap kembali bayinya dengan lembut. “Sudah. Selama di kandungan, Indri selalu memanggilnya Rey. Reyfaldo Whitmore.”

Stasia terdiam sejenak, lalu tersenyum haru. “Nama yang indah… hadiah terakhir dari Kak Indri.”

***

Setelah satu jam berlalu, Stasia pamit pulang. Ia sadar tidak mungkin membiarkan Ares terlalu lama di rumah sakit.

“Kak, aku pamit dulu, ya,” ucap Stasia sambil meraih tangan Ares.

“Kalian mau ke mana setelah ini?” tanya Andreas.

“Mau jenguk Bunda kak Andreas. Pasti Bunda sudah kangen dengan cucunya.”

Andreas tersenyum tipis. “Kamu benar. Dari kemarin beliau terus telepon, tanyain Ares. Begitu lihat langsung, pasti Bunda senang sekali.”

Stasia terkekeh. “Bunda kak Andreas memang selalu begitu. Waktu kita di Paris saja, tidak pernah absen videocall dengan Ares.”

Andreas mengangguk, lalu bertanya, “Kalian naik taksi lagi?”

“Iya, lebih nyaman begitu.”

“Biar ku minta supir jemput kalian.”

“Tidak perlu, kak. Supirmu lebih baik tetap di sini, kalau kakak perlu sesuatu dia bisa langsung bantu.”

Andreas menghela napas kecil. “Baiklah. Hati-hati di jalan, ya.”

“Baik, kak.”

Ares pun mencium tangan Andreas sebelum mereka berdua pergi meninggalkan ruang tunggu NICU.

Beberapa menit setelahnya, seorang suster datang mendekati Andreas.

“Pak Andreas, maaf, apa donor ASI sudah didapatkan lagi? Sudah waktunya bayi Anda mendapat asupan, tapi stok kami habis.”

Andreas spontan memijat pelipisnya. Asistennya belum juga memberi kabar soal donor ASI baru.

Tak lama, suster lain datang terburu-buru.

“Pak, bayi Anda terus menangis, stok ASI sudah benar-benar tidak ada.”

“Tunggu sebentar, saya coba hubungi asisten saya,” jawab Andreas cepat sambil berjalan sedikit menjauh.

Di saat bersamaan, Wulan tiba di lantai itu, didampingi Mama Rini yang mendorong kursi rodanya. Meski sempat menolah menggunakan kursi roda, Wulan akhirnya mengalah agar tida berdebat dengan Mama Rini untuk menggunakan kursi roda agar tidak terlalu lelah.

Begitu sampai di lorong depan NICU, Wulan melihat beberapa suster panik keluar-masuk. Raut wajahnya heran.

“Ada apa, Suster?” tanyanya pelan.

Seorang suster berhenti sejenak. “Ada bayi yang kehabisan stok ASI, Bu. Ayahnya sedang mengusahakan mencari donor baru.”

Wulan mengerutkan kening. “Apa ibunya tidak bisa menyusui?”

Suster itu menunduk singkat. “Ibunya meninggal sehari setelah melahirkan.”

“Ya Tuhan…” Wulan tertegun, matanya langsung dapat melihat ketegangan di dalam ruang NICU. Ia melihat seorang suster berusaha menenangkan bayi mungil yang menangis keras di inkubator.

“Itu bayinya?” tanyanya lirih.

“Benar, Bu. Kami khawatir tangisannya mengganggu bayi yang lain.”

“Kalau begitu… bolehkah saya masuk? Saya ingin menenangkannya.”

Suster tampak ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk.

Sebelum masuk, Wulan menoleh ke Mama Rini. “Ma, tolong lihat bayiku di ruang perawatan, apakah sudah dimandikan.”

“Iya, Nak. Biar Mama yang urus,” jawab Mama Rini lembut, lalu beranjak pergi ke ruang perawatan bayi.

Dengan bantuan suster, Wulan masuk ke ruang NICU masih duduk di kursi roda. Begitu sampai di dekat bayi itu, hatinya seakan diremas. Ia pun segera meraih si mungil dari inkubator, menggendongnya dengan penuh kelembutan.

“Kasihan sekali… dia pasti lapar. Lihat gerakan bibirnya,” gumam Wulan.

Suster di sebelahnya menghela napas. “ASI donor habis, Bu. Dan bayi ini tidak bisa menerima susu formula. Bahkan beberapa donor sebelumnya pun tidak cocok. Sekali dapat yang cocok, ibunya ternyata tak bisa melanjutkan karena harus menyusui anaknya sendiri.”

Wulan menunduk menatap bayi itu, hatinya perih. Kalau ini putraku sendiri… bagaimana rasanya kehilangan ibunya sejak lahir?

“Apakah ayahnya masih di luar?” tanyanya.

“Iya, Bu. Sedang menelpon asistennya.”

Wulan menarik napas dalam, lalu menatap suster dengan tegas namun lembut.

“Kalau begitu, tawarkan pada ayah bayi ini. Jika berkenan, saya bersedia memberikan ASI saya. Kebetulan stok ASI saya melimpah, sudah saya simpan di ruang VIP 3. Silakan ambil, bila beliau setuju.”

Suster itu menatapnya dengan mata berbinar, seolah mendapat secercah harapan. “Baik, Bu. Saya akan segera menyampaikan.”

Tak lama, seorang suster kembali dengan membawa botol berisi ASI. “Ayah bayi sudah setuju, Bu. Ini sudah kami hangatkan dari stok di kamar Anda.”

“Syukurlah,” Wulan mengusap lembut kepala bayi itu. “Semoga ini bisa menolongnya.”

Namun Wulan tidak langsung keluar. Ia memilih tetap tinggal, memastikan bayi mungil itu mau menerima ASI dengan tenang. Tangis yang tadinya pecah perlahan mereda.

Air mata Wulan jatuh tanpa sadar. Betapa perihnya hidup bayi sekecil ini…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!