Kereta kuda yang Calista dan Julianne kendarai akhirnya tiba di ibu kota setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 5 hari. Julianne turun terlebih dulu diikuti Calista. Gadis kecil itu menatap kagum bangunan besar yang sebagian besar bermaterial kayu didepannya.
Julianne mengajak Calista masuk ke dalam. Gadis itu menatap polos ruangan yang di penuhi meja dan kursi, seperti restoran. Namun terlihat sepi, tak ada seorangpun pengunjung. Julianne menjelaskan, kalau ruangan itu adalah bar dan mulai di buka sore sampai malam hari, karena saat mereka berdua sampai ibu kota masih pagi, bar yang Julianne kelola masih belum buka.
Calista kemudian menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu, mengikuti Julianne dari belakang, matanya tak berhenti menatap setiap sudut ruangan yang asing baginya. Mereka berdua berjalan menapaki lorong di depan pintu-pintu kayu, dan naik lagi di lantai tiga. Julianne berhenti di depan sebuah pintu kemudian membukanya dengan kunci.
“Nah, Calista. Ini akan menjadi kamar mu. Walaupun tidak sebesar kamar mu sebelumnya, aku harap kau nyaman disini,” ujar Julianne.
Calista berjalan masuk ke kamar yang akan ditempatinya. Ruangan yang dindingnya terbuat dari kayu pinus ini terlihat nyaman dan hangat, walaupun memang tidak sebesar kamarnya sebelumnya. Gadis itu berjalan kearah jendela yang terletak di samping kasur, kemudian menatap kearah luar jendela, dibawah sana terlihat suasana pasar yang cukup ramai. Para pedagang yang menawarkan dagangannya pada pembeli yang lewat didepannya, juga para wanita-wanita yang sibuk memilih buah dan sayur untuk kebutuhan rumah tangga. Calista sedikit membuka mulutnya, kagum. Baru pertama kali ia melihat pemandangan seperti ini.
Setelah puas melihat keluar jendela, Gadis itu berbalik dan mendekat ke Julianne, “Madam Julianne, terima kasih kau sudah mau menampungku di sini. Sebagai rasa terima kasih, kau bisa mempekerjakan ku di sini tanpa perlu menggajiku,”
Julianne yang tengah bersandar di tepi pintu terkekeh kecil, “Aku membawamu ke sini bukan untuk mempekerjakanmu. Sudahlah, beristirahatlah dulu. Aku akan mengajak mu berkeliling tempat ini setelah makan siang nanti,” ujar Julianne, wanita itu melangkah pergi dari kamar Calista untuk membiarkan gadis kecil itu beristirahat.
Sesuai janjinya, setelah makan siang, Julianne mengajak Calista untuk berkeliling. Ia membawanya ke bagian depan bangunan yang difungsikan sebagai bar, kemudian di lantai dua adalah penginapan dan lantai tiga sebagai tempat tinggal Julianne dan ruang kerjanya.
“Selama ini aku kira hanya laki-laki yang bisa menjalankan bisnis, aku tidak menyangka seorang perempuan bisa mengelola tempat sebesar ini,” puji Calista pada Julianne.
Julianne tersenyum tipis, “Bisnis ini adalah bisnis keluarga, orang yang membangun pertama kali adalah kakek ku, karena ayah ku tidak punya anak laki-laki, akhirnya dia terpaksa mewariskan semua ini pada ku,” timpal wanita itu.
Tak hanya itu, tempat ini ternyata mempunyai tempat rahasia lain, yang letaknya berada di bagian paling belakang bangunan. Calista masih mengekor di belakang punggung Julianne, terlihat lorong yang ia lewati saat ini semakin gelap. Julianne berhenti di depan sebuah pintu kayu tua, ia kemudian membukanya.
Di sudut ruangan itu, terpasang berapa obor untuk penerangan, karena memang rungan yang akan Calista masuki cukup gelap. Gadis kecil itu menuruni tangga seraya menatap heran ruangan bawah tanah itu.
Walaupun berada di bawah tanah, ruangan ini cukup luas, jika di bandingkan dengan bangunan atas, tempat ini dua atau tiga kali lebih luas. Semakin berjalan masuk, Calista dapat mendengar suara dentingan pedang sedang beradu. Mata gadis itu melebar, melihat ruangan yang penuh dengan laki-laki tengah berlatih bela diri. Terlihat beberapa orang sedang berlatih separing, ada juga yang berlatih memanah, Sebagian yang lain berlatih pedang sendiri menggunakan balok kayu.
“Tempat apa ini?” tanya Calista heran seraya menatap Julianne.
“Ini adalah tempat berlatih pasukan, mereka akan bekerja sesuai perintah dari klien” timpal Julianne santai seraya menatap lurus.
Dahi Calista mengernyit, “M-maksud mu mereka pembunuh bayaran?” tanyanya seraya menatap Julianne.
“Benar, selain membunuh mereka juga terlatih untuk melindungi” timpal Julianne.
Julianne mengambil sebuah panah kecil didekatnya dan memberikannya pada Calista, “Apa, kau mau mencobanya?” tawarnya, ia sengaja memilih panah ringan yang terbuat dari kayu untuk Calista yang masih kecil.
Calista tak segera mengambil, mata ungunya mengerjab menatap Julianne. Beberapa saat kemudian ia berujar, “Tidak, aku tidak bisa memanah,” tolaknya.
“Baiklah, kalau kau tetarik kau bisa ke sini untuk mencobanya. Tidak ada salahnya berlatih bela diri, kau bisa melindungi diri tanpa bergantung pada orang lain, bukan?” ujar Julianne. Wanita itu mengambil anak panah dan membidik sebuah boneka kayu yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berada. Tanpa menunggu lama, anak panah itu melesat, mengenai tepat salah satu kepala boneka kayu, membuat seorang pemuda bersurai coklat yang tengah berlatih dengan boneka kayu itu terlonjak kaget.
Calista berdecak kagum dengan kemampuan memanah Julianne. Walaupun jarak sasaran jauh, wanita itu bisa mengenai titik vital sasarannya. Rupanya selain menjadi pemilik sebuah guild pembunuh bayaran, wanita itu tak kalah hebat dengan mereka yang berlatih disini.
Keesokan harinya, Calista kembali lagi ke tempat latihan. Ia hanya menonton para pria berlatih bela diri di sudut ruangan. Menurutnya cukup menyenangkan melihat orang lain berlatih bela diri.
“Apa yang membuat gadis kecil seperti mu ke tempat ini?” tanya Finnick, seorang pria yang usianya sekitar 40 tahunan, walaupun sudah paruh baya ia memiliki tubuh yang kuat dan kekar.
“Aku hanya melihat lihat saja, paman” jawab Calista santai.
“Tempat ini bukan untuk gadis kecil sepertimu, lebih baik kau segera pergi dari sini,” usir pria bersurai coklat itu galak.
Calista melipat kedua tangannya, “Madame Julianne sudah memberiku izin ke sini, kau tidak bisa mengusirku!”
Pria itu mendengus kesal, “Dasar gadis kecil keras kepala,” ujarnya kemudian beranjak pergi, membiarkan gadis itu tetap berada di tempatnya.
Selama satu bulan, rutinitas yang dijalani Calista sama. Pagi harinya, ia menyapu dan mengepel lorong di lantai dua tempat penginapan. Setelah itu ia pergi ke tempat latihan, tidak hanya menonton, Calista mulai berlatih menggunakan panah, walaupun beberapa orang disana terlihat tak menyukai kehadirannya, ia tidak peduli. Lagi pula mereka tidak bisa mengganggu Calista, karena gadis itu dibawa langsung oleh Julianne.
Sore ini, Calista mulai bekerja di bar. Julianne tidak memaksa gadis itu bekerja, namun Calista berinisiatif untuk bekerja disana. Ia tidak mau hanya menumpang tanpa melakukan apapun. Disana, Calista membawakan pesanan pelanggan dan membersihkan meja, membantu karyawan lain.
Malam ini, suasa bar cukup ramai. Calista dan beberapa karyawan lain sedikit kewalahan melayani pelanggan yang kian bertambah. Saat Calista sedang membawa nampan berisi minuman dan daging panggang untuk diantar ke meja pelanggan, seorang pria bertubuh
gemuk tak sengaja menabrak Calista, membuat minuman yang Calista bawa tumpah mengenai pria yang menabraknya, daging panggang yang ia bawa tercecer di lantai.
“Apa yang kau lakukan? Lihat, gara-gara kau, pakaian ku jadi basah begini,” dengus pria gempal setengah mabuk itu.
“Tapi kan, anda yang menabrak saya lebih dulu” ujar Calista tidak terima disalahkan.
“Apa? Dasar anak kurang ajar, bisa-bisanya kau menuduh ku seenaknya!” pria bertubuh gempal itu mendorong tubuh kecil Calista hingga terjatuh ke lantai, gadis itu meringis kesakitan saat tangannya mengenai pecahan kaca gelas yang jatuh.
Keributan itu memancing atensi pelanggan lain, mereka meninggalkan mejanya masing-masing untuk melihat keributan yang terjadi, namun tidak ada yang berinisiatif untuk menghentikan pria gemuk itu.
“Tuan, tenang dulu. Kami akan mengganti kerugiannya,” salah seorang karyawan perempuan berusaha menenangkan pelanggannya itu.
“Kenapa kalian tidak pecat saja, anak kecil yang tidak becus bekerja ini?” tunjuk pria gempal pada Calista. “Cepat, kau minta maaf pada ku!” perintahnya pada Calista.
“Yang seharusnya minta maaf itu anda, dengan badan sebesar itu, siapa yang tidak jatuh jika anda menyenggol orang lain sedikit saja,” ejek Calista.
“APA? Apa kau tidak pernah diajari sopan santun pada orang yang lebih tua?” pria itu menarik paksa Calista untuk berdiri. Salah satu tangannya terangkat ke udara, hendak menampar gadis kecil itu.
“Berhenti! Ada keributan apa ini?” suara itu sontak menghentikan tamparan pria bertubuh gempal. Ia kemudian menoleh ke sumber suara. Julianne dengan langkah tenang berjalan menuruni tangga.
“Siapa kau?” tanya pria bertubuh gempal, galak.
“Saya pemilik tempat ini, apa yang akan anda lakukan pada karyawan saya?” tanya Julianne seraya melipat kedua tangannya.
“Bocah ini, dia menabrakku sampai membuat bajuku basah kuyup seperti ini. Tapi dia malah menuduh aku yang menabraknya,” ujarnya masih memegang lengan Calista dengan erat, membuat Calista kesakitan.
“Saya minta maaf atas kecerobohan karyawan saya, tuan. Setelah ini saya akan memberinya hukuman. Sebagai ganti rugi, kami akan membayar 3 gold pada anda,” ucap Julianne.
Mendengar Julianne akan memberinya 3 gold, pria bertubuh gempal itu langsung melepaskan genggaman tangannya pada Calista. “Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memperpanjang urusan ini,”
Akhirnya masalah terselesaikan. Setelah menerima uangnya, pria bertubuh gempal itu keluar dari bar dengan perasaan senang. Sementara pembeli yang lain mulai kembali ke mejanya masing-masing.
“Calista, ikut dengan ku!” perintah Julianne, wanita itu kemudian berjalan meninggalkan tempat kejadian.
Dengan wajah lesu, Calista berjalan menapaki tangga mengikuti Julianne dari belakang. Alih-alih memarahinya, wanita itu membawa Calista ke ruang kerjanya untuk mengobati luka di tangan gadis kecil itu.
“Kenapa kau diam saja? Apa kau takut aku akan menghukum mu?” tanya Julianne seraya mengoleskan obat pada luka Calista.
“Maafkan aku,” ucap Calista menundukkan pandangan.
“Kenapa kau minta maaf? Kau tenang saja, aku tidak akan menghukum mu. Aku tau kau tidak bersalah, tapi dalam dunia bisnis, pelanggan selalu benar,” timpal Julianne sembari tersenyum tipis.
“Kau bisa kembali beristirahat di kamar mu,” ucap Julianne setelah mengobati luka pada lengan Calista. Wanita itu kembali menutup kotak obatnya.
“Madam, sebenarnya ada yang ingin ku bicarakan,” ujar Calista kemudian. Julianne menatap Calista dan memintanya bicara.
“Aku ingin bergabung dengan mereka, menjadi bagian dari guild Mortalis,” ucap Calista sembari menatap Julianne dengan tekat.
Julianne mengerjabkan matanya, ia menatap Calista dengan raut terkejut. “Apa kau yakin? Bergabung dengan mereka tidaklah mudah. Kau harus berlatih sangat keras untuk benar-benar layak menjadi bagian dari guild ini.”
“Iya, aku yakin. Aku akan berlatih dengan keras. Aku terlalu lemah sekarang, dengan kemampuan ku yang seperti ini, aku tidak akan pernah bisa membalaskan dendam ku pada Alister, aku mohon, biarkan aku bergabung dengan mereka,” pinta Calista seraya menangkupkan kedua tangannya.
Julianne menghembuskan nafas pendek, “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan,” ujar Julianne membuat senyum mengembang di bibir kecil Calista.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments