Calista mengernyitkan keningnya. Kelopak mata gadis itu bergerak pelan, ia mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun beberapa saat kemudian pandangannya mulai membaik. Gadis itu menatap langit-langit sebuah bangunan, rupanya ia sekarang berada di sebuah ruangan asing.
Calista menoleh ke samping, terlihat seorang perempuan dewasa tengah berjongkok di depan perapian, sedang memasukkan beberapa kayu bakar untuk menghangatkan suhu ruangan. Selesai memasukkan kayu bakar itu, wanita dengan surai coklat kemerahan itu berbalik, menatap kearah ranjang yang Calista tempati.
“Nak, kau sudah sadar?” tanyanya ramah seraya berjalan kearah Calista.
Calista berusaha mendudukkan tubuhnya yang terasa lemah. “Dimana aku? Dan siapa kau?” tanya Calista pada wanita yang usianya sekitar 35 tahunan itu.
Wanita itu menuangkan secangkir teh hangat di atas nakas, “Minumlah dulu, ini akan menghangatkan tubuhmu,” ujar wanita itu memberikan minuman itu pada Calista. Gadis itu menerima cangkirnya dan meminumnya hingga habis tak tersisa.
“Namaku Julianne. Tiga hari yang lalu, aku menemukan mu tidak sadarkan diri di muara dekat dengan villa yang ku tempati, lalu aku membawamu kesini. Apa kau ingat bagaimana kau bisa terjatuh ke sungai?” tanya Julianne penasaran.
Calista mengernyitkan keningnya, ia teringat kejadian sebelum ia jatuh ke sungai, “Ibu, ayah. Ada pasukan, mereka membunuh,” ujar Calista tidak jelas, nafasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak mengingat kejadian di hari ulang tahunnya.
“Nak, tenangkan dulu dirimu. Ceritakan dengan jelas,” ujar Julianne mengusap punggun gadis dengan bola mata ungu itu.
Calista berusaha menenangkan dirinya, ia mulai bercerita sekaligus mengingat kejadian malam itu, “Malam itu, ibu membangunkan ku. Ada pasukan pembunuh datang ke kediaman ku. Mereka membakar mansion. Ayah, ibu, kakak, mereka… mereka,” kata-kata Calista tertahan, “Aku harus menyelamatkan mereka,” gadis itu menyibak selimutnya untuk turun dari kasurnya, namun sebelum itu terjadi, Julianne lebih dulu menahannya.
“Tunggu dulu, kondisi mu masih belum stabil. Kediaman mana yang kau maksud?” tanya Julianne penasaran.
“Kediaman Count Blair” ujar Calista sembari menatap Julianne.
Julianne mengerutkan keningnya, “Count Blair? Tiga hari yang lalu, aku mendapat kabar kalau kediaman itu sudah hangus terbakar, begitu juga dengan seluruh keluarganya, mereka terjebak di dalam dan tidak ada yang selamat. Tidak ku sangka kalau kau adalah putri dari keluarga itu,” ujar Julianne terlihat sedih.
Calista terhenyak, berita yang di sampaikan Julianne membuatnya lemas seketika, “Ti-tidak mungkin, aku harus ke sana untuk memeriksanya sendiri,” ucapnya tak percaya.
Julianne Manahan bahu Calista, “Tenangkan dulu dirimu. Aku akan menemanimu ke sana tapi setelah kondisimu pulih,” ucap Julianne menenangkan. Awalnya Calista tidak ingin menunggu kondisinya pulih untuk melihat kediamannya, namun karena paksaan dari Julianne, ia akhirnya menuruti perkataan wanita yang menyelamatkannya itu dan beristirahat selama satu hari.
Julianne menarik laci di nakas dan mengambil sesuatu disana, ia kemudian memberikan sebuah kalung perak dan pin rambut pada Calista, mengembalikan barang itu kepada pemiliknya.
Calista menerima kedua benda itu dengan raut sendu, kalung perak yang terukir burung phoenix itu ia genggam dengan erat, kalung itu adalah satu satunya bukti, kalau ia adalah bagian dari keluarga Blair.
Sedankan pin rambut pemberian kakaknya itu, ternyata ia masih memakainya saat kejadian. Ia sedikit senang, masih memiliki barang-barang berharga ini. Atensi matanya kemudian beralih ke Julianne.
“Terima kasih, sudah menolong ku. Aku berhutang nyawa padamu,” ucap Calista dengan suara lirih.
“Tidak perlu dipikirkan. Kalau boleh tau. Waktu itu, apa kau tau siapa orang dibalik penyerangan keluarga mu?” tanya Julianne penasaran.
“Alister Valdemar,” timpal Calista dengan penuh keyakinan seraya menatap lurus kedepan.
Julianne menautkan alisnya, “Duke Alister Valdemar?” tanyanya memastikan. Julianne sedikit terkejut, pemuda yang sudah menjadi Duke sejak usia 13 tahun setelah orang tuanya meninggal itu melakukan pembantaian kejam terhadap satu keluarga.
“Apa kau yakin kalau dia yang membunuh keluarga mu?” tanya Julianne ingin memastikan.
“Aku sangat yakin, saat kejadian aku melihat dia berada diantara pembunuh itu. Pasti dia juga yang membakar kediaman ku dengan kekuatannya,” ujar Calista seraya mengepalkan telapak tangannya.
Siapa di kekaisaran ini yang tidak tahu Alister Valdemar. Menjadi Duke diusia yang sangat muda dan satu satunya orang yang mewarisi kekuatan api naga di keluarganya, menjadikannya kebanggaan bagi kekaisaran ini. Namun siapa sangka, pria yang baru saja menginjak usia dewasa itu membantai satu keluarga dengan sangat kejam.
Calista pernah bertemu dengan Alister beberapa kali di kediamannya. Sejak kecil pria itu selalu datang bersama ayahnya setahun dua kali, namun sejak orang tuanya meninggal ia selalu datang sendiri. Calista sendiri tidak tau, mengapa pria itu dengan rutin mengunjungi kediamannya setiap tahun, awalnya Calista mengira itu karena alasan bisnis, namun entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak ia ketahui selama ini.
***
Sehari setelah kesadarannya kembali, Calista pergi menuju tempat tinggalnya bersama dengan Julianne. Mengendarai kereta kuda yang di tempuh selama kurang dari tiga puluh menit.
Setelah turun dari kereta kuda, Calista berlari kearah kediaman tempatnya dibesarkan selama ini. Kediaman yang sebelumnya berdiri kokoh dan terawat dengan baik, kini sudah tak lagi berbentuk, bangunan itu sekarang hangus terbakar. Hanya menyisakan reruntuhan dan puing-puing. Calista masuk ke dalam dan mulai memanggil-manggil ibu, ayah dan kakaknya dengan putus asa.
“Ibu, ayah, kakak kalian dimana?” pangilnya seraya melangkah masuk ke dalam. Setelah satu jam mencari, ia tak berhasil menemukan mayat keluarganya. Gadis itu terduduk di atas puing-puing, suara tangisnya pecah, memenuhi ruangan yang sunyi.
Ditengah tangisnya, Calista mengepalkan tangannya kuat-kuat, Alister, kenapa dia melakukan semua ini? Aku pasti akan membunuh mu. Membalaskan dendam keluarga ku, tekatnya dalam hati.
Julianne yang sedari tadi menunggu di belakang, berjalan menghampiri Calista untuk mengajaknya kembali karena matahari sudah akan turun. Setelah puas menangis, Calista kemudian kembali ke kereta kuda bersama Julianne.
“Apa, kau mau ikut bersama ku ke ibu kota?” tanya Julianne di tengah perjalanan menuju villa tempatnya menetap selama ini. Ia hanya menetap beberapa hari di wilayah ini untuk keperluan bisnis, setelah urusannya selesai, ia akan kembali ke ibu kota.
“Ibu kota?” mata sembab Calista mengerjab, menatap wajah Julianne.
“Iya, kurasa disana kau akan lebih aman, kau bisa tinggal bersama ku,” tawar Julianne tersenyum tipis.
Calista berfikir sejenak, ibu kota adalah tempat tinggal Alister, ini menjadi kesempatan yang bagus untuknya membalaskan dendam pada pria itu, terlebih ia tidak lagi punya siapapun di tempat ini.
Calista menatap wajah Julianne dengan mantap, “Terima kasih atas tawarannya, aku akan ikut,”
“Oh iya, aku dengar keluarga Blair memiliki kekuatan penyembuh secara turun temurun, apa itu benar?” tanya Julianne kemudian. Anggota keluarga Blair, memiliki kemampuan spesial yang tidak dimiliki manusia biasa pada umumnya yaitu kekuatan penyembuhan, mereka bisa memiliki kekuatan tersebut karena salah satu leluhur di keluarga ini adalah seorang elf.
Calista sedikit menundukkan kepalanya, “Itu memang benar, tapi di keluarga ku hanya aku yang tidak memiliki kekuatan itu,” ucap Calista jujur. “Selama ini, aku berusaha mendapatkan kekuatan seperti ayah dan kakak ku, tapi sepertinya aku tidak akan pernah memiliki kekuatan itu,” lanjut Calista lesu.
“Tidak perlu memusingkan itu, memangnya apa salahnya hidup menjadi manusia biasa? Mungkin saja suatu saat nanti kekuatan itu akan muncul,” timpal Julianne dengan senyum tipis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments