Pelarian Di tengah Api

Api masih berkobar di Desa Qinghe, menerangi malam dengan cahaya merah menyala. Liang Shen berdiri dengan tubuh berlumuran debu dan darah, pedang naga berkilau di tangannya. Nafasnya terengah, tapi aura perak yang menyelubunginya membuat para pengikut Sekta Bayangan enggan mendekat.

Namun, pria bertopeng perak hanya menatapnya dengan dingin. Kabut hitam pekat mulai berputar di sekitarnya, membentuk bayangan naga hitam yang mengaum tanpa suara.

“Kau sudah menjadi tuan pedang naga, anak manusia. Tapi itu tidak berarti kau bisa menandingi kami.”

Liang Shen menggertakkan gigi. Tubuhnya masih terasa terbakar oleh ujian roh naga barusan, setiap langkah seolah membuat tulangnya retak. Meski begitu, ia tetap mengangkat pedang dengan kedua tangannya. “Aku tidak akan menyerahkan pedang ini. Kau harus melewati tubuhku dulu.”

Pria bertopeng itu mengangkat tangannya, kabut hitam melesat menyerbu. Liang Shen bersiap, tapi suara bergema terdengar di dalam kepalanya—suara roh naga.

“Anak manusia, kekuatanmu belum cukup untuk menghadapinya. Dengarkan aku. Kau harus bertahan hidup. Pedang ini bukan hanya untukmu, tapi untuk masa depan dunia.”

Liang Shen menggertakkan gigi. “Kalau begitu… apa yang harus kulakukan?”

“Lari. Pergilah ke utara, ke Pegunungan Gunung Awan. Di sana, kau akan menemukan jawaban pertama dari jalanmu.”

Liang Shen terkejut. “Lari? Tapi… ibuku… desaku…”

Roh naga diam sesaat, lalu menjawab tegas. “Mereka sudah jatuh, Shen. Jika kau mati di sini, semuanya akan berakhir sia-sia. Hanya dengan bertahan, kau bisa menepati sumpahmu.”

Air mata kembali mengalir di pipinya, tapi Liang Shen tahu itu benar. Ia menunduk sebentar pada tubuh ibunya yang terbaring, lalu menegakkan pedang.

“Ibu… adik… aku bersumpah, suatu hari aku akan kembali dengan kekuatan yang cukup. Aku tidak akan berhenti sampai Sekta Bayangan hancur.”

Dengan teriakan, ia mengayunkan pedang naga ke tanah. Cahaya perak menyambar, menciptakan gelombang energi yang mendorong para pengikut Sekta Bayangan mundur seketika. Asap dan debu membubung tinggi, menutupi pandangan.

Menggunakan kesempatan itu, Liang Shen berlari ke arah hutan di utara. Setiap langkah terasa berat, tapi aura roh naga membantunya menahan rasa sakit. Di belakangnya, teriakan para penyerang terdengar:

“Kejar dia! Jangan biarkan bocah itu kabur dengan pedangnya!”

Pria bertopeng perak mengangkat tangannya, menghentikan mereka. Suaranya rendah dan dingin.

“Biarkan dia. Pedang naga sudah memilih tuannya. Membunuhnya sekarang hanya akan merusak keseimbangan segel. Biarkan ia hidup… dan kita akan memburunya nanti. Dia akan datang pada kita sendiri.”

Para pengikut Sekta Bayangan terdiam, lalu membungkuk patuh.

Sementara itu, Liang Shen berlari tanpa henti melewati hutan gelap. Udara malam menusuk, suara serangga bercampur dengan gemuruh api di kejauhan. Dalam hatinya, hanya ada satu suara yang berulang: sumpahnya, dan bisikan roh naga yang menuntunnya.

Saat ia akhirnya terjatuh di tepi sungai, tubuhnya gemetar tak berdaya. Tapi di genggamannya, pedang naga tetap bersinar lembut, seakan melindunginya. Liang Shen menatap langit penuh asap, lalu berbisik dengan suara lemah: