BAB 5 | SEORANG PENYEMBUH

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Terlalu terlena dengan pengamatanku, aku sampai tak sadar kalau kepalaku ini sudah mendongak dengan sendirinya, serentak mata yang tertuju lurus pada wajah seseorang yang berjalan ke arahku, sampai langkahnya berhenti di seberang mejaku.

"Hai. Kau sudah membaik?"

Ya Tuhan, suara halus yang menggetarkan jiwa itu.

"Halo?"

Kedua alisku sontak terangkat, lalu tenggorokanku refleks berdeham, mereset detak jantungku.

"Ya, sepertinya."

Kenapa suaraku terdengar aneh, ya? Apa responku sudah benar? Aku tidak terlihat kaku, kan?

"Jadi, yang tadi kau celakai itu, Nata?"

Mataku berpaling pada sosok yang membuntuti Sora sedari tadi, jempolnya mengarah padaku saat ia bertanya. Sora mengangguk dengan senyum tak enak, "aku tak sengaja, Zo."

"Ck, ck. Malang sekali nasibmu, Sor."

Dia bilang apa, barusan? Malang?

Siapa yang malang, katanya? Bukan kah seharusnya ucapan itu ditujukan padaku? Atau aku yang salah dengar? Iya, pasti aku salah dengar. Di sini yang malang itu kan aku!

Jelas-jelas Zofan dengar sendiri kalau Sora mencelakaiku. Halo? Aku ini korbannya.

"Lihat lah, pelototannya sudah seperti ingin memakanmu, Sor. Dia sudah banyak menerkam orang, dan kau malah mencari masalah dengannya. Semoga kau dalam lindungan Tuhan, Sora."

Hei, hei, apa maksudnya itu? Yang kupelototi itu kau, bukan Sora!

Bicara apa, laki-laki narsis aneh ini? Siapa pula yang pernah kuterkam? Oh, apa dia sedang berserah diri untuk jadi yang pertama aku terkam? Dan ... Kenapa bicara seolah aku ini setan?!

Kalau saja mataku laser—

"Lihat lah matanya itu mengeluarkan petir! Bisa-bisa kita tersambar dan mati dibuatnya!"

Tutur kata Zofan bagai melengkapi kalimat dalam kepalaku, membuatku berdecih. Baru kali ini dia komunikasi denganku lagi, dan berani-beraninya dia mengolok-olok aku di hadapan Sora? Dia kira dia siapa, bisa memperlakukan aku seperti itu?

"Iya, jadi bersyukur lah, kau tidak benar-benar mati!" tukasku menantang, memutar bola mataku tak santai.

Tadi dia yang lebih dulu mengolok-ngolokku, kenapa sekarang malah mendelik ragu seperti itu saat mendengar balasan dariku?

Aku meniliknya dari ujung kepala hingga ujung kaki bagai memindai dengan sorot mataku, sebelum arah mataku kembali naik untuk bertemu pandang dengannya, apa dia menciut? Dia bertingkah seolah aku akan menelannya hidup-hidup.

Jangan bilang, dia benar-benar takut dengan kalimatku barusan? Serius? Tepat setelah mempermalukanku di depan Sora? Kepalaku menggeleng heran, sungguh tak bisa dipercaya.

Walau tatapanku masih terpaku pada figur Zofan, aku tahu Sora bergantian melempar pandangannya ke arahku dan Zofan. Aku juga tahu kalau sekarang Sora mengusak bagian belakang rambutnya sebagai reaksi tanda bingung dan tak nyaman dengan suasana yang menyelimuti kami bertiga.

"Sudah cukup, Zofan. Sekarang malah kelihatan seperti kau yang ingin buat masalah. Aku membawamu kemari hanya untuk menemaniku bertemu Nata."

Setelah bicara demikian, tangan Sora terulur menepuk ringan punggung tanganku yang sedari tadi diam di atas meja, berniat mengalihkan perhatianku padanya. Dengan enggan aku melepas laser mataku, berpaling dari sosok Zofan, menuju Sora.

"Ada apa?" tanggapku, tak sengaja menekan suaraku. Masih termakan rasa dongkol.

"Aku minta maaf soal keteledoranku tadi – siapa? Natarin, ya?" Begitu mendapat anggukan dariku, *dia *melanjutkan kalimatnya, "seperti yang aku bilang sebelumnya, aku akan bertanggung jawab untuk perbuatanku."

Awalnya aku masih tak paham apa yang akan dia lakukan sebagai bentuk tanggung jawabnya padaku, bahkan ketika ia menengadahkan tangannya padaku, aku hanya bisa melempar pandangan bingung.

"Berikan tanganmu," perjelas Sora, menerangkan maksud dari gesturnya.

Sampai saat aku menyambut tangannya yang dibalas dengan genggaman, sampai saat aku terpana pesonanya yang terlihat semakin bersinar memukau, dan sampai saat tubuhku tiba-tiba seperti melayang, aku tidak sedang membual, itu benar-benar yang sedang aku rasakan saat menyentuh tangannya, baru lah aku menangkap maksud Sora.

Dia memulihkan sakitku, dia menyembuhkannya.

"Wah," aku spontan berujar takjub. Tubuhku kini bisa kugerakkan tanpa terhalang nyeri.

Bagian belakang bahuku yang sebelumnya bermasalah, segera kutekan dengan ujung jemariku– mencari titik sakit akibat kecelakaan beberapa jam lalu. Bahkan kalau bisa, setiap sendi akan kuputar untuk memastikan tubuhku benar-benar pulih.

Dia seorang penyembuh.

"Berarti, tadi rasa sakitku memang mulai berkurang karena kau yang membawaku ke ruang UKS?"

"... bisa jadi."

Entah hanya perasaanku saja, atau memang suara Sora berubah lebih lembut dari biasanya.

"Sepertinya, sakitmu tadi, bukan hanya dari kecelakaan, ya?" yang ini suara Zofan. Dia menyela percakapanku dan Sora. Si bintang sekolah itu juga menambahkan, "apa sebelum kecelakaan, kau sudah lebih dulu mengalami sakit atau luka yang lain?"

Sakit yang lain? Selain sakit dari kecelakaan? Sepertinya tidak ada. Aku tidak mengalami kecelakaan lain selain yang menimpaku tadi pagi. Tak begitu yakin, aku menggelengkan kepalaku.

Raut wajah Zofan sangat jelas menggambarkan keraguan, ia menatapku tak percaya, seolah aku baru saja mengada-ngada. "Kau yakin? Karena sepertinya energi Sora terkuras lebih dari yang seharusnya. Padahal, dia bilang sudah memperkirakan dengan baik."

Kenapa dia begitu memaksa? Apa aku terlihat sedang berbohong—

Oh.

Apa mungkin yang dimaksud, itu?

Sedikit berdesis, aku berbicara lambat, "apa ... menstruasi termasuk hitungan?"

Mungkin saja, kan? Aku baru ingat kalau tadi pagi aku mengeluh soal nyeri di perutku, dan pegal di punggungku, lalu ditambah dengan siksaan dari sakit yang kudapat setelah jatuh ke selokan kering itu. Jika bukan itu, aku tak tahu lagi ada sakit apa di dalam tubuhku.

"Apa?" Sora mencicit, matanya sedikit membelalak, "pantas saja."

Pantas saja, apanya?

Seperti mendengarnya, Sora menjawab pertanyaan yang ada dalam benakku, "menyembuhkan sakit menstruasi saja sudah membutuhkan sangat banyak energi. Kalau aku tahu kau sedang menstruasi, aku tidak akan memulihkan sakitmu hari ini."

"Maksudmu?!" seruku tak terima, enak saja DIA bilang begitu?

Jadi, maksudnya mau dibiarkan saja aku kesakitan karena ulahnya? Begitu?!

"Bukan begitu." Sora segera meluruskan suara dalam kepalaku, pasti dia tau seberapa sensitifnya masalah menstruasi ini bagi perempuan, seperti aku.

"Aku pernah coba memulihkan sakit ibuku akibat menstruasi, sekali, dan aku tidak menduga kalau akan berdampak cukup berat untukku. Setelah kejadian itu, aku jadi sedikit trauma." Sora memberi penjelasan yang bisa langsung kupahami.

Ternyata menstruasi itu memang menyakitkan, bahkan untuk yang memulihkannya.

Setelah aku perhatikan lagi, wajahnya memang terlihat lebih pucat, dan ... matanya agak sayu, membuat rasa bersalah menghampiriku. Sebentar saja, sih, karena memang itu akibat dari perbuatannya sendiri. Itu tanggung jawabnya.

Biar dia tahu seberapa parah sakit yang aku rasakan tadi pagi.

"Bisa aku terima alasannya. Tapi, kan, tetap saja!" Jelas saja aku tak terima dan membela diri, "tetap saja, berarti kau ada rencana membiarkanku kesakitan berhari-hari karena ulahmu yang ... hampir tak bertanggung jawab. Lagipula, itu salahmu."

"Aku tahu ini salahku, aku tak menyalahkanmu. Dan, siapa bilang aku tak bertanggung jawab?"

"Aku bilang, hampir."

"Aku sama sekali tak ada niat kabur."

"Ya, ya, ya. Aku tahu," bibirku bergerak mencibir, seraya melipat kedua tanganku di dada.

"Lihat? Sudah kubilang, kan, jangan berurusan dengan Nata yang ini, tidak akan ada ujungnya."

Ternyata si Zofan ini masih punya nyali beradu mulut denganku, ya?

"Kenapa, sih—"

Kriing. Kriing.

Cih, lagi-lagi bel sekolah ini mengusik. Oke, berterima kasih lah kalian pada bel yang menyelamatkan. Aku pun sudah lelah meladeni dua laki-laki tak jelas ini. Malas menguras lebih banyak energi, aku hanya mengibaskan tanganku, mengusir mereka dari hadapan, "pergi sana, pergi. Hush."

Salah satu alasanku tak mau berurusan dengan Zofan dan kedua teman sepermainannya itu, ya, karena ini, mereka bertiga usil.

Aku memang pernah bilang mereka bukan tukang buat onar di sekolah, tapi tiga manusia ini senang sekali menjahili orang lain. Dan seakan tidak cukup bertiga, sekarang Sora juga mau diseret masuk ke dalam rangkulannya?

Aku ingin meyakinkan diri kalau ini hari pertama Zofan mengajak Sora berteman, entah mungkin saat perkenalan diri Sora sebagai murid baru di kelas mereka? Tapi, berdasarkan pengamatanku tadi, mereka sudah akrab sebelum hari ini.

Rasa-rasanya aku harus berpikir ulang soal dia.

Setelah yakin mereka sudah pergi, karena sedari tadi aku sengaja mengalihkan pandangan menghadap tembok, perlahan dua netraku bergerak melirik ke jendela kecil yang ada di samping pintu kelas.

Aku hampir tersedak ludahku sendiri melihat sosok Klara berdiri di sana dengan picingan mata mengerikan seperti om-om mesum yang mencari mangsa. Sial! Sudah berapa lama dia berdiri di sana?!

...

Bersambung

Terpopuler

Comments

Aishi OwO

Aishi OwO

Mantap, gak bisa berhenti baca

2025-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!