BAB 4 | NAMANYA SORA

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Kalau saja ini bukan di kelasku, dan isinya orang asing yang tak mengenal kami, pasti mereka sudah berpikir aku dan manusia bermulut TOA ini sedang bertengkar menjerumus jambak-menjambak.

Aku berdecak sambil mengusap-usap dadaku, untung tidak serangan jantung. Dipikir-pikir, entah sudah berapa kali aku mendengar namaku dipanggil hari ini.

"Apa, sih, Klara? Aku sudah duduk di paling depan begini, masih kurang kelihatan kah? Kurang jelas apalagi?" keluhku dengan alis yang hampir bertaut, sebisa mungkin memasang wajah terganggu untuk mengekspresikan kekesalanku. Lelah sekali menghadapi kelakuan hiperaktif temanku yang satu ini.

Klara menggelengkan kepalanya, menarik seseorang di belakangnya untuk ikut masuk ke kelasku dan menghampiri mejaku. Dia membawa Cika bersamanya.

Mereka satu kelas, bersebelahan dengan kelasku.

Sampai sini aku sudah bisa menebak apa yang terjadi.

"Tadi, aku dan Cika lari ke ruang UKS untuk melihatmu! Tapi bukannya istirahat, kau malah di sini?! Memang badanmu sudah baik-baik saja, hah?" Begini lah, Klara. Selalu cerewet, tentang apa pun itu.

Aku menyingkap rambutku ke belakang, lelah, "justru aku bisa kembali sakit kalau kau berisik begini."

Spontan, tangan Klara langsung membekap mulutnya sendiri, mengundang kekehan samar dari Cika yang sedari tadi memilih diam menyimak cekcok yang berlangsung antara aku dan Klara.

Berbanding terbalik dengan Klara, Cika ini perempuan yang pendiam. Mungkin dia masih punya trauma dari penindasan yang sempat dialaminya, sehingga dampaknya membuat dia takut untuk terlalu banyak bicara, takut salah berkata.

Entah aku perlu bersyukur, atau tidak, tentang dia yang akhirnya menjadi kekasih Bian, dan membuat perundungan terpaksa dihentikan oleh sekumpulan penindas. Sebab, kalau mereka tidak berhenti, Bian mungkin akan mengirim tsunami pada mereka.

Padahal, Cika juga bisa kirimkan tornado. Sayang saja dia terlalu berhati malaikat untuk melakukannya.

"Kamu juga dicari Sora, Nat. Dia kira kamu sudah pulang," akhirnya Cika buka suara.

Benar juga, aku lupa dengan laki-laki yang tiba-tiba muncul di hadapanku itu. Siapa sangka aku bisa bertemu dengannya lagi, setelah setahun lamanya. Kebetulan yang luar biasa, dengan menjadi korban kecelakaan di mana dia sebagai pelakunya.

Ayo, tepuk tangan dulu untuk pencapaian ekstrimku ini! Sungguh luar biasa memalukan. Ah, tapi itu salah dia! Aku, kan, korban!

"Oh, iya! Soal si Sora itu, kenapa dia di sini? Apa dia murid pindahan?" Pertanyaan ini keluar juga dari mulutku setelah berapa jam tersendat dalam benak, mengganjal tenggorokan.

Dugaanku dibenarkan oleh dehaman Cika. Kalau tadi jantungku sempat berhenti berdetak, maka kali ini jantungku dibuat berdegup kencang. Aku memang sudah memperkirakan hal ini, tapi tetap saja mengejutkan.

Bagaimana, ini? Orang yang aku bilang masuk ke dalam tipe idamanku, sekarang akhirnya satu sekolah denganku? Apa dia serius, pindah ke sekolah lain di penghujung tahun ajaran? Tapi, kenapa?

"Kenapa?" tanpa sadar aku menyuarakan pikiranku.

"Hm, katanya karena orang tuanya harus pindah ke sini. Aku kurang tahu cerita lengkapnya."

Tak ingin kelihatan terlalu peduli, aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Kamu tahu darimana? Apa kalian saling kenal?"

Kan aku sudah bilang kalau aku tidak mau kelihatan ingin tahu tentang murid pindahan itu, tapi kenapa mulutku tidak bisa direm?! Apa remnya blong?

Janji, deh, ini pertanyaan terakhir tentang Sora. Aduh, membatinkan namanya saja sudah buat hatiku bergetar heboh. Indah sekali namanya. Semoga wajah ini tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.

"Ya, aku beberapa kali bertemu dengannya. Dia itu temannya – eh, kenapa kamu senyum-senyum, Nat?"

Dasar, wajah bodoh.

Bibirku buru-buru mengapit, aku sembunyikan di dalam mulutku. Sebisa mungkin aku lengkungkan ke bawah sambil menggeleng panik, khawatir senyumku akan kembali mengembang. Kenapa otot-otot di wajahku ini selalu susah diajak kerja sama?

"T – tidak, kok. Siapa yang senyum-senyum? Tadi kamu bilang apa, Cik?"

Lihat lah, akibat wajah dan otakku yang tidak sejalan, sekarang mata Klara bak lampu sorot yang mengunci gerak-gerikku. Menaruh curiga, menuntut penjelasan.

"Menarik, sepertinya ada yang akhirnya menaksir seseorang."

Tak lain dan tak bukan, itu pernyataan Klara. Kepalanya langsung berputar cepat ke arah Cika, menyaingi burung hantu, seakan tak sabar ingin mengorek informasi dari teman kami itu. "Sora yang dimaksud itu, murid baru di kelas kita, kan?"

Sial, sial. Ternyata dia dimasukkan ke kelas mereka?

Diiringi desahan berat, tanganku mengepal dan aku ketuk-ketukkan pelan di dahiku. Astaga, astaga, bagaimana ini? Aku mengeluh tiada henti dalam hati.

Habis lah aku jadi bahan godaan Klara sampai beberapa waktu ke depan, pasti akan berlangsung lama. Berdoa saja semoga Klara tidak melakukannya di depan Sora, laki-laki menawan yang sudah lama mencuri atensiku.

Dulu masih aman, karena aku hanya memperhatikannya lewat layar ponsel, tidak akan ada yang sadar. Tapi sekarang, orang itu bisa kapan saja muncul langsung di hadapanku, tanpa perantara apa pun lagi, dan itu membuatku gelisah.

Salahkan wajahku yang berekspresi sesukanya tanpa tahu tempat, tanpa melihat situasi, membuat repot saja.

Setelah ekor matanya sempat menyapaku sekilas, Klara memasang senyum menjengkelkannya dan mendorong kedua bahu Cika dari belakang, mengarahkannya untuk berjalan bersama keluar dari kelasku.

Baru saja mulutku terbuka hendak bersuara, Klara menceletuk jahil, "cepat, cepat, Cika. Beritahu Sora kalau Nata ada di kelasnya! Aku harus lihat mereka bertemu."

Panas sekali telingaku mendengarnya. Aku buru-buru mengusap kedua telingaku dengan telapak tangan sambil menundukkan pandangan. Setelah itu, tanganku juga kukibas-kibaskan di depan wajahku yang sama panasnya.

Semoga Sora tidak benar-benar datang ke sini.

Lihat saja kau, Klara! Akan kubalas!

Andai semesta berpihak padaku, sekali saja.

Kepergian Klara dan Cika dengan secepat badai diganti oleh kehadiran Sora. Aku bisa menduga kalau Cika sungguh menyampaikannya pada Sora. Sora muncul dari balik pintu, tapi ia tak sendiri, ada buntut yang mengikutinya. Mataku berkedip-kedip cepat.

Dihitung dari jarak berdiri dia dengan "buntut"nya, dari lengkung garis kurva yang membentuk senyum mereka, dan dari seberapa tinggi pipi mereka terangkat saat tertawa menanggapi gurauan satu sama lain, serta dari bagaimana kecepatan tangan salah satu dari mereka ketika bergerak saling menepuk bahu, akrab tanpa ragu, aku bisa menyatakan kalau ini bukan kali pertama mereka berinteraksi.

Bukan, ini bukan hari pertama mereka bertemu.

...

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!