My Bastard Mahapatih

My Bastard Mahapatih

Tidak Takut

Langit jingga melukis senja di lereng Gunung Slamet, membalut Dukuh Seti dengan kehangatan. Di tengah riuhnya persiapan malam, Kirana, gadis berusia delapan belas tahun dengan tatapan mata selembut embun pagi, mematut diri di depan cermin usang.

Jemarinya yang lentik membelai kebaya hijau lumut yang baru selesai dijahit Mak Tun dan kini melekat di tubuhnya yang ramping, namun memiliki lekukan yang mampu menghipnotis mata semua kaum adam.

Perias sekaligus sesepuh desa bersiap diri menyambut upacara pelantikan ronggeng baru.

Malam ini adalah malam yang Kirana nantikan sekaligus gentarkan, yakni malam pelantikan dirinya sebagai ronggeng sekaligus malam yang memberinya kesempatan untuk membalaskan dendam keluarganya.

Semua itu terjadi saat tiga bulan yang lalu Kirana turun gunung setelah ayahnya difitnah dan dibantai habis beserta seluruh keluarganya. Dia langsung menuju ke Dukuh Seti karena laki-laki yang dia cari, laki-laki yang sudah bersaksi dusta dan membuat seluruh keluarganya dibantai habis. Laki-laki itu adalah Tumenggung Jayadi. Dia dibayar untuk memberikan saksi dusta bahwa ayahnya Kirana sudah menahan surat permintaan bala bantuan sehingga membuat selir kesayangannya raja meninggal di medan perang bersama ratusan pasukan terhebat kerajaan. Kirana mendapatkan semua informasi tersebut dari orang yang pernah dia selamatkan.

Begitu tiba di Dukuh Seti, Kirana secara tidak sengaja melihat seorang perempuan tergeletak di jalan. Kirana yang menguasai ilmu pengobatan karena gurunya adalah tabib kerajaan kepercayaannya ibu suri, tabib yang mumpuni, berhasil menyembuhkan perempuan itu. Perempuan itu lalu mengajak Kirana tinggal di rumahnya. Kirana dan dayang kesayangannya yang bernama dayang Sumi akhirnya tinggal di rumah ronggeng yang hampir purna masa jayanya itu.

Ronggeng Dukuh Seti itu memiliki satu anak laki-laki yang masih berumur tujuh tahun yang bernama Sapto dan perempuan itu bernama Mbok Patmini. Mbok Patmini akan berhenti menjadi ronggeng karena tubuhnya sudah mulai sakit-sakitan dan lemah. Pengajuan lereh perempuan itu disetujui dengan syarat perempuan cantik yang berada di rumahnya harus menggantikan dirinya dan perempuan cantik yang dimaksud oleh para warga desa dan pengampu adat setempat, juga para tetua itu adalah Kirana.

Lengkingan kendang dan gemulai lembut harmonisasi gamelan membuat Kirana menari dengan gemulai dan Kirana dinilai pantas untuk menggantikan Mbok Patmini setelah Kirana menjalani ujian pertamanya menari di depan para tetua dan pengampu adat.

Mbok Patmini, adalah seorang ronggeng kondang di masa lalu, yang kini hanya mampu tersenyum tipis menyaksikan Kirana hendak mengikuti jejaknya. Mbok Patmini tahu benar, di balik gemerlapnya panggung, ada beban dan pandangan yang tak selalu ramah. Namun, Kirana punya tekad baja. Cara satu-satunya agar dia bisa masuk ke pendopo Agung ke tempat di mana orang yang pertama kali memfitnah ayahnya hidup nyaman selama ini. Dengan cara menari ia percaya, menari adalah cara untuk berkomunikasi dengan semesta, menerjemahkan suka duka desa ke dalam setiap gerak tubuhnya dan dengan cara menari dia ingin segera bisa bertemu dengan pemfitnah yang kejam itu.

Di rumahnya Mbok Patmini yang sederhana, aroma dupa bercampur wangi melati menusuk hidung. Mbah Karto, juru kunci sekaligus pemangku adat desa, duduk bersila di sudut ruangan, memejamkan mata, merapalkan doa-doa kuno. Beberapa sesepuh lain, dengan wajah penuh kerut dan kebijaksanaan, turut hadir. Mereka semua menjadi saksi bisu awal perjalanan Kirana menjadi ronggeng.

"Apakah kamu sudah siap, Nduk?" suara Mbah Karto memecah keheningan, matanya kini menatap Kirana lurus.

Kirana mengangguk mantap, meskipun jantungnya berdegup seperti tabuhan kendang paling cepat, karena gugup. "Siap, Mbah."

Prosesi pun dimulai. Mbah Karto menaburkan kembang setaman ke ubun-ubun Kirana, melafalkan mantra penolak bala dan pemberi restu. Lalu, ia menyematkan selendang kuning keemasan, simbol keagungan dan pesona seorang ronggeng, melingkari pinggang Kirana. Udara terasa bergetar, seolah para leluhur ikut menyaksikan momen sakral ini.

"Ingat, Nduk," Mbah Karto berujar, suaranya berat dan penuh wibawa, "Seorang ronggeng bukan sekadar penari. Kamu adalah penjaga tradisi, penghibur lara, dan pembawa kebahagiaan. Setiap gerakmu adalah doa, setiap senyummu adalah berkat. Jagalah keelokanmu, jagalah kehormatan desa."

Kirana mendengarkan setiap kata dengan khidmat. Ia tahu, di pundaknya kini ada tanggung jawab besar meskipun di awalnya dia hanya berniat membalas dendam. Ternyata tugas dan tanggung jawab seorang Ronggeng sangatlah besar. Bukan hanya sekadar menghibur, melainkan juga menjaga marwah seni dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun, dan menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran Mbok Patmini selama ini.

Kirana mengerjap penuh tanya ketika Mbah Karto berujar, "Setelah menari dan menyelesaikan semua prosesi, kamu harus menjalani prosesi puncak, yakni prosesi buka kelambu"

Kirana mundur selangkah sembari bertanya dengan kedua alis ia tarik ke atas, "Bu....bukankah prosesi buka kelambu i....itu pro-se-si penye-rah-an se-gel kesucian se....se.....seorang gadis?"

"Kamu benar sekali, Nduk Cah Ayu"

"Ke......kenapa harus seperti itu, Mbah?" Wajah Kirana mulai pucat.

Memang brengsek pria yang bernama Jayadi itu. Aku akan langsung menancapkan tusuk kondeku ke lehernya nanti sebelum dia menjamah tubuhku, cih! Batin Kirana dengan kedua tangan mengepal erat.

"Kamu benar, Nduk cah ayu. Buka Kelambu itu adalah prosesi di mana kamu harus menyerahkan kesucian kamu ke Tumenggung selaku sesepuh yang paling dihormati di dukuh sini. Kamu harus menyerahkan kesucian kamu ke Ki Jayadi"

Kirana menutup mulutnya yang ternganga dengan telapak tangan. "Saya masuk ke pendopo Agung, Mbah?"

"Iya dan jangan lupa di sana nanti, di malam ini, kamu harus menyerahkan segel kesucian kamu ke Ki Jayadi barulah kamu bisa dinobatkan menjadi ronggeng di Dukuh Seti keesokan harinya. Ronggeng sejati"

"Lalu, untuk apa saya menari malam ini kalau pelantikannya masih besok, Mbah?"

"Kamu menari malam ini untuk mendatangkan berkah bagi warga dukuh sini, Nduk"

"A.....apakah Mbok Patmini dulunya juga begitu?"

"Iya, dia ronggeng tercantik kala itu dan sekarang dia sudah menua dan kamu lebih cantik dari dia, Nduk Cah Ayu"

"Untuk apa menjadi lebih cantik daripada ronggeng yang sebelumnya kalau toh harus menyerahkan segel kesucian ke pria yang bukan suaminya, Mbah?"

"Memang harus seperti itu, Nduk"

"Kenapa bukan Demang yang mengambil segel kesucian di dalam pelantikan seorang ronggeng? Kenapa Tumenggung? Kenapa aneh? Apa di semua Dukuh yang mengambil kesucian adalah Tumenggung bukannya Demang?"

Mbah Karto melompat dan membungkam mulut Kirana dengan telapak tangan. "Ssttttt! Jangan banyak bertanya lagi, Nduk! Itu berbahaya. Kamu bisa kena tembakan panah jika ada yang mendengar pertanyaan kamu tadi"

Kirana hanya bisa menganggukkan kepalanya pasrah karena dia tidak ingin mati sebelum dia menancapkan tusuk kondenya ke leher Tumenggung Jayadi.

Setelah Mbah Karto menarik telapak tangannya dari mulut Kirana, Kirana mematung dan merapatkan bibirnya dengan kedua tangan mengepal keras. Dasar biadab Jayadi! Dia memanfaatkan jabatannya untuk menikmati kesucian para gadis dengan dalih pelantikan ronggeng baru di sebuah dukuh.

Beberapa menit kemudian, Kirana sudah berdiri di tengah panggung.

Ketika tabuhan gamelan mulai mengalun lembut, Kirana melangkah ke panggung yang telah disiapkan di balai desa. Cahaya obor menyorot wajahnya, membuatnya tampak berkilau. Para warga, tua muda, berjejal ingin menyaksikan penampilan perdana Kirana sebagai ronggeng. Mereka tahu, malam ini mereka bukan hanya akan melihat pertunjukan, melainkan juga menyaksikan lahirnya kembali jiwa seni di desa mereka.

Kirana menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam sejenak, membayangkan ibunya, ayahnya yang dibantai dan para pendahulu ronggeng lainnya. Ketika ia membuka mata, ada kilatan tekad dan gairah yang membara. Kakinya mulai menjejak lantai panggung, tangannya meliuk anggun, mengikuti irama gamelan yang semakin cepat. Gerakannya luwes, penuh penghayatan, seolah ia telah menari seumur hidupnya.

Desa Dukuh Seti malam itu diselimuti pesona. Kirana,sang ronggeng baru, menari seperti langit yang menumpahkan bintangnya. Ia bukan hanya menari dengan tubuhnya, melainkan dengan seluruh jiwanya. Senyumnya mengembang, bukan lagi senyum gentar, melainkan senyum kebahagiaan. Malam itu, bukan hanya seorang ronggeng yang dilantik, melainkan sebuah harapan baru yang kembali bersemi di tengah desa. Kirana, dengan Tari Langit-nya, siap membawa cahaya dan kegembiraan bagi sesamanya, menjaga api tradisi agar tak pernah padam.

Kirana untuk sejenak lupa akan prosesi Buka Kelambu, prosesi terakhir nanti yang harus ia jalani.

Dengan iringan gamelan yang semakin cepat dan rancak, Kirana mulai menari. Lenggak-lenggok tubuhnya begitu memukau, memadukan keanggunan dan sensualitas. Setiap gerakannya adalah sebuah cerita, setiap lirikannya harus mengandung rayuan. Ia bukan lagi Kirana yang pandai ilmu pengobatan. Malam ini, ia adalah ronggeng, tetapi belum sepenuhnya dilantik menjadi ronggeng.

Orang-orang yang hadir, para tetua desa dan para penabuh gamelan, menyaksikan dengan takjub. Mereka tahu, malam ini mereka telah menyaksikan kelahiran seorang ronggeng dan esok pagi mereka akan menemukan ronggeng sejati.

Akhirnya tiba saatnya bagi Kirana masuk ke pendopo agung. Tangan Kirana gemetar bukan karena takut, tapi karena dendam membara yang membakar hatinya. "Pria itu harus mati di tanganku malam ini juga" Gumam Kirana sambil menggenggam tusuk konde di tangan kanannya.

Duduk di tepi ranjang mewah, Kirana duduk tegak dengan kedua tangan tergenggam di atas pangkuannya.

Tiba-tiba, brak! Pintu kamar terbuka lebar dan seorang pria berjalan terhuyung-huyung dengan wajah menyeringai senang.

"Menjijikkan!" Gumam Kirana lirih.

Saat pria itu berdiri di depannya Kirana, tusuk konde di tangan kanan Kirana langsung melayang ke leher pria itu dan grab! Tangan Kirana tercekal erat dan tusuk konde jatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi emas beradu lantai marmer, klonthang! Yang memekakkan telinga dan membuat Kirana membeliak kaget.

"Lepaskan aku!" Geram Kirana.

Plak! Tamparan mendarat keras di mulut Kirana lalu, breeetttt!!!!! Kebaya Kirana dirobek paksa dan menampakkan kemben warna merah yang memamerkan pundak putih mulusnya Kirana.

"Aaaaaa!!!!!" Kirana berteriak kencang saat tubuhnya terlempar ke lantai. Pantat dan punggung Kirana membentur lantai marmer. Kirana meringis kesakitan. Kepala dan sudut bibirnya Kirana berdenyut nyeri. Sangat sakit.

Kirana langsung duduk lalu menggeser pantatnya dengan cepat ke belakang sambil berteriak, "Berhenti! Jangan dekati aku!" Namun, pria penghuni pendopo agung yang pertama kali memfitnah ayahnya Kirana, terus melangkah maju dengan terhuyung-huyung dan wajahnya menyeringai penuh semangat.

"Kamu ayu banget, Nduk! Luwih ayu tinimbang ronggeng sing mbiyen, Nduk. Kulitmu putih banget, menggoda sekali, Nduk. Aku sangat beruntung bisa membuka segel kesucianmu malam ini, hahahahaha!" Pria paruh baya itu menubruk tubuh rampingnya Kirana.

Kirana menahan dada pria paruh baya itu, tapi dia kalah kuat. Bibir pria itu meluncur hendak memagut bibir Kirana dan dengan cepat gadis cantik itu memalingkan muka dan lehernya langsung kena gigit pria paruh baya itu. "Aaaaaa!!!!" Kirana berteriak histeris dan dengan sekuat tenaga dia mendorong dada pria itu sambil mendesis penuh jijik, "B*j*ng*n!"

Pria paruh baya yang bergelar Tumenggung dan bernama Jayadi itu meringis lalu meremas dada ranum gadis cantik yang berada di bawah tubuhnya sambil menggeram, "Kamu milikku malam ini jadi jangan bertingkah sok suci, Nduk cah ayu!"

Kirana menggigit lengan yang telapak tangannya sedang meremas dadanya dan pria paruh baya itu berteriak kesakitan sambil menarik tangannya dari dada ranum gadis cantik yang sudah menyalakan gairah bejatnya.

Pria itu menegakkan badannya lalu plak! Dia menampar gadis cantik itu dengan sekuat tenaga.

Wajah Kirana terlempar ke samping dan seketika itu juga darah mengalir di sudut bibirnya. Kirana dengan cepat mengarahkan pandangannya ke pria paruh baya berhati busuk dan kejam itu lalu berteriak, "Aku tidak takut padamu b*j*ng*n!"

Lalu, crash!!!!!! Darah terciprat deras ke wajahnya Kirana ketika pedang yang sangat tajam memangkas kepala pria paruh baya itu dari arah belakang pria paruh baya brengsek itu.

...♥️♥️♥️♥️...

Luwih ayu tinimbang ronggeng sing mbiyen, Nduk \= Lebih cantik daripada ronggeng terdahulu, Nduk.

Nduk \= Panggilan untuk anak perempuan.

Kemben adalah pakaian tradisional suku Jawa dan Bali yang berupa kain pembungkus tubuh wanita yang secara historis umum ditemui di daerah Jawa dan Bali, Indonesia.

Terpopuler

Comments

Be___Mei

Be___Mei

buset!!! Ish jijik banget 😭😭 merinding sama orang kayak begini. Semoga kamu selamat kirana

2025-08-18

0

Aksara_Dee

Aksara_Dee

setuju, menari adalah cara berbicara tentang pemilik semesta yang menciptakan alam dengan indah

2025-08-19

0

Syhr Syhr

Syhr Syhr

Agak gilo. Tapi kasihan juga lihat Kirana/Sob/

2025-08-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!