Rencana Rahasia dan makan malam yg penuh kejutan

Rian memang sahabat sejati. Keesokan harinya, ia langsung menghubungi Dokter Sarah dan menceritakan tentang ketertarikan Asillah pada Dokter Alfin. Awalnya, Dokter Sarah terkejut mendengar berita itu. Ia tidak pernah menyangka bahwa Asillah, seorang arsitek yang terkenal dengan kecerdasannya, bisa tertarik pada Dokter Alfin yang dikenal kaku dan serius.

"Rian, kamu yakin Asillah benar-benar tertarik sama Alfin? Mereka kan baru ketemu beberapa kali. Aku takut Asillah salah menilai Alfin," kata Dokter Sarah dengan nada khawatir.

"Aku yakin, Sarah. Asillah itu bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tapi, dia bilang, dia ngerasa ada sesuatu yang beda sama Alfin. Aku percaya sama dia," jawab Rian dengan yakin.

"Hmm... kalau begitu, aku akan bantu. Aku juga pengen lihat Alfin bahagia. Dia terlalu fokus sama kerjaannya, sampai lupa mikirin urusan percintaan," kata Dokter Sarah.

Rian dan Dokter Sarah kemudian menyusun rencana rahasia untuk menjodohkan Asillah dan Dokter Alfin. Mereka sepakat untuk mengatur makan malam bersama, dengan alasan membahas detail desain rumah sakit.

"Kita atur makan malam di restoran yang romantis, tapi jangan terlalu mencolok. Kita bilang saja, ini pertemuan informal untuk membahas desain. Nanti, kita usahakan agar mereka bisa ngobrol lebih banyak," usul Dokter Sarah.

"Ide bagus, Sarah. Aku serahkan semua urusan ke kamu. Aku percaya sama kamu," jawab Rian.

Dokter Sarah kemudian menghubungi Dokter Alfin dan Asillah, mengundang mereka untuk makan malam bersama di sebuah restoran Italia yang terkenal di kawasan Kemang. Ia beralasan bahwa pertemuan ini penting untuk membahas detail desain rumah sakit dan memastikan semua berjalan lancar.

Asillah merasa gugup saat menerima undangan itu. Ia senang bisa bertemu dengan Dokter Alfin lagi, tapi ia juga takut salah tingkah. Ia bertanya-tanya, apa yang harus ia kenakan? Apa yang harus ia bicarakan? Bagaimana jika Dokter Alfin tidak tertarik padanya?

Ia menghubungi Rian dan meminta saran. "Rian, aku harus pakai baju apa? Aku bingung banget," kata Asillah dengan nada panik.

"Tenang, Sil. Pakai saja baju yang nyaman dan menunjukkan kepribadianmu. Jangan terlalu berlebihan, tapi juga jangan terlalu sederhana. Yang penting, kamu percaya diri," jawab Rian.

Asillah akhirnya memutuskan untuk mengenakan dress selutut berwarna biru navy dengan motif bunga-bunga kecil. Ia memadukannya dengan heels berwarna senada dan tas selempang kecil. Ia merasa nyaman dan percaya diri dengan penampilannya.

Di hari makan malam, Asillah datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak terlambat dan membuat Dokter Alfin menunggu. Ia duduk di meja yang telah dipesan oleh Dokter Sarah dan memesan minuman.

Tidak lama kemudian, Dokter Sarah datang. Ia tersenyum melihat Asillah yang tampak cantik dan anggun.

"Hai, Sil! Maaf ya, aku telat. Tadi ada pasien yang harus aku tangani," kata Dokter Sarah.

"Tidak apa-apa, Sarah. Aku juga baru datang kok," jawab Asillah sambil tersenyum.

Mereka berdua mengobrol santai sambil menunggu Dokter Alfin datang. Asillah merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Dokter Sarah.

Tepat pukul 7 malam, Dokter Alfin datang. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan jas berwarna abu-abu. Ia tampak tampan dan berkarisma.

Asillah merasa jantungnya berdebar kencang saat melihat Dokter Alfin. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum ramah.

"Selamat malam, Mbak Asillah, Sarah," sapa Dokter Alfin dengan sopan.

"Selamat malam, Alfin," jawab Dokter Sarah dan Asillah bersamaan.

Mereka bertiga kemudian memesan makanan dan minuman. Awalnya, suasana terasa sedikit kaku. Mereka hanya membahas tentang desain rumah sakit dan masalah-masalah teknis lainnya.

Namun, Dokter Sarah dengan cerdik mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih personal. Ia bertanya tentang hobi, keluarga, dan pengalaman hidup masing-masing.

Asillah dan Dokter Alfin mulai membuka diri dan menceritakan tentang diri mereka masing-masing. Asillah menceritakan tentang kecintaannya pada arsitektur, tentang mimpinya untuk menciptakan bangunan-bangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, dan tentang keluarganya yang selalu mendukungnya.

Dokter Alfin menceritakan tentang pengalamannya sebagai dokter, tentang idealismenya untuk membantu orang-orang yang sakit, dan tentang kekhawatirannya terhadap masalah kesehatan di Indonesia.

Asillah merasa semakin kagum pada Dokter Alfin. Ia melihat bahwa pria itu tidak hanya cerdas dan berdedikasi, tapi juga memiliki hati yang tulus dan peduli pada sesama.

Di tengah obrolan yang semakin hangat, tiba-tiba seorang pelayan datang membawa sebuah buket bunga mawar merah yang indah.

"Ini untuk Mbak Asillah," kata pelayan itu sambil menyerahkan buket bunga kepada Asillah.

Asillah terkejut. Ia tidak tahu siapa yang mengirimkan bunga itu. Ia melihat ke arah Dokter Sarah dan Dokter Alfin, tapi mereka berdua tampak sama bingungnya.

"Siapa yang kirim bunga ini?" tanya Asillah dengan nada bingung.

"Saya juga tidak tahu, Mbak. Tidak ada nama pengirimnya," jawab pelayan itu.

Asillah menerima buket bunga itu dengan perasaan campur aduk. Ia senang menerima bunga, tapi ia juga penasaran siapa yang mengirimkannya.

Dokter Alfin tersenyum melihat Asillah yang kebingungan. "Mungkin ada pengagum rahasia," kata Dokter Alfin dengan nada bercanda.

Asillah tersipu malu mendengar ucapan Dokter Alfin. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Makan malam itu berlanjut dengan suasana yang lebih hangat dan akrab. Asillah dan Dokter Alfin semakin dekat dan saling mengenal. Mereka menemukan banyak kesamaan dan merasa nyaman satu sama lain.

Di akhir makan malam, Dokter Alfin menawarkan untuk mengantar Asillah pulang. Asillah menerima tawaran itu dengan senang hati.

Di dalam mobil, suasana terasa hening. Asillah merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bunga Tanpa Nama dan Sinyal yang Salah Ditangkap

Suasana di dalam mobil terasa begitu intim. Lampu-lampu jalan Jakarta yang berkedip-kedip menciptakan bayangan yang menari-nari di wajah Asillah. Ia bisa merasakan tatapan Dokter Alfin sesekali mencuri pandang ke arahnya, membuat pipinya semakin memanas.

"Mbak Asillah, terima kasih atas malam ini. Saya sangat menikmati obrolan kita," ucap Dokter Alfin, memecah keheningan.

"Saya juga, Dok. Saya senang bisa mengenal Anda lebih dekat," balas Asillah, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Saya harap, kita bisa sering-sering bertemu di luar urusan pekerjaan," lanjut Dokter Alfin, dengan nada yang sedikit menggantung.

Asillah merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Apakah ini berarti Dokter Alfin juga tertarik padanya? Apakah ini sinyal bahwa ia harus berani mengambil langkah selanjutnya?

"Saya juga berharap begitu, Dok," jawab Asillah, dengan senyum yang penuh arti.

Mobil itu berhenti di depan rumah Asillah. Dokter Alfin keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Asillah.

"Hati-hati ya, Mbak. Sampai jumpa," ucap Dokter Alfin, dengan senyum yang menawan.

"Terima kasih, Dok. Sampai jumpa," balas Asillah, sambil menerima uluran tangan Dokter Alfin.

Saat tangan mereka bersentuhan, Asillah merasakan sengatan listrik yang kuat. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat tertarik pada Dokter Alfin.

Asillah keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dokter Alfin masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Asillah tersenyum dan melambaikan tangan. Dokter Alfin membalas lambaian tangannya dan masuk kembali ke dalam mobil.

Asillah masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. Ia senang karena malam ini berjalan lancar, tapi ia juga bingung dengan sinyal yang diberikan oleh Dokter Alfin. Apakah pria itu benar-benar tertarik padanya, atau hanya bersikap ramah sebagai rekan kerja?

Ia teringat akan buket bunga mawar merah yang ia terima di restoran. Siapa sebenarnya yang mengirimkan bunga itu? Apakah Dokter Alfin yang mengirimkannya, tapi tidak berani mengaku?

Asillah memutuskan untuk menghubungi Rian dan menceritakan semua yang terjadi malam ini. "Rian, aku bingung banget. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin," kata Asillah dengan nada frustrasi.

"Tenang, Sil. Coba ceritakan semuanya dari awal," jawab Rian dengan sabar.

Asillah menceritakan tentang makan malamnya dengan Dokter Alfin dan Dokter Sarah, tentang obrolan mereka yang semakin akrab, tentang buket bunga misterius, dan tentang sinyal-sinyal yang diberikan oleh Dokter Alfin.

Rian mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Asillah selesai bercerita, Rian terdiam sejenak.

"Hmm... aku rasa, Dokter Alfin juga tertarik sama kamu, Sil. Tapi, dia mungkin masih ragu-ragu karena dia kan orangnya kaku dan serius. Kamu harus lebih proaktif, Sil. Jangan cuma menunggu," kata Rian.

"Proaktif gimana, Rian? Aku kan nggak tahu apa yang harus aku lakuin," jawab Asillah dengan nada bingung.

"Coba deh, ajak dia makan siang atau ngopi bareng. Atau, kamu bisa minta tolong dia untuk membantu kamu menyelesaikan masalah desain rumah sakit. Yang penting, kamu bisa menghabiskan waktu bersamanya dan mengenalnya lebih dekat," usul Rian.

Asillah mempertimbangkan usulan Rian. Ia merasa usulan itu masuk akal. Ia harus berani mengambil inisiatif jika ia ingin mendapatkan hati Dokter Alfin.

"Oke, Rian. Aku akan coba. Terima kasih atas sarannya," kata Asillah.

"Sama-sama, Sil. Semangat ya! Aku yakin, kamu pasti bisa mendapatkan hati Dokter Alfin," jawab Rian dengan penuh semangat.

Asillah menutup telepon dan menarik napas dalam-dalam. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Rian dan mencoba mendekati Dokter Alfin.

Keesokan harinya, Asillah datang ke Rumah Sakit Sejahtera untuk membahas detail desain rumah sakit dengan Dokter Alfin. Ia sengaja datang lebih awal agar bisa bertemu dengan Dokter Alfin sebelum rapat dimulai.

Ia melihat Dokter Alfin sedang berdiri di depan ruangannya, membaca sebuah dokumen. Asillah memberanikan diri untuk menghampirinya.

"Selamat pagi, Dok," sapa Asillah dengan senyum manis.

Dokter Alfin terkejut melihat Asillah. "Selamat pagi, Mbak Asillah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada sopan.

"Saya mau membahas tentang desain ruang UGD. Saya masih belum yakin dengan penempatan beberapa peralatan medis. Mungkin Dokter bisa memberikan masukan," jawab Asillah.

"Tentu saja, Mbak. Mari kita bahas di ruangan saya," kata Dokter Alfin sambil mempersilakan Asillah masuk ke ruangannya.

Asillah merasa senang karena Dokter Alfin menyambutnya dengan baik. Ia berharap, pertemuan ini bisa menjadi awal dari hubungan yang lebih dekat.

Namun, saat mereka sedang membahas desain ruang UGD, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk ke ruangan Dokter Alfin. Wanita itu adalah Dokter Renata, seorang dokter spesialis jantung yang terkenal di rumah sakit itu.

"Alfin, maaf mengganggu. Aku mau pinjam buku catatanmu," kata Dokter Renata dengan nada manja.

Dokter Alfin tersenyum pada Dokter Renata. "Oh, Renata. Silakan saja," jawab Dokter Alfin.

Dokter Renata kemudian melihat ke arah Asillah dan tersenyum sinis. "Oh, maaf, saya tidak tahu kalau ada tamu. Silakan dilanjutkan," kata Dokter Renata dengan nada yang meremehkan.

Asillah merasa tersinggung dengan sikap Dokter Renata. Ia merasa seperti orang asing di ruangan itu. Ia merasa Dokter Renata sengaja ingin menunjukkan bahwa ia lebih dekat dengan Dokter Alfin.

Asillah memutuskan untuk segera menyelesaikan pembicaraan dan keluar dari ruangan Dokter Alfin. Ia merasa kesal dan kecewa. Ia merasa sinyal yang ia tangkap dari Dokter Alfin malam ini hanyalah sinyal yang salah.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!