Revisi desain dan secercah senyum di balik kacamata

Asillah kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia langsung menghubungi Rian dan meminta bantuan untuk merevisi desain Rumah Sakit Sejahtera. Rian, sebagai sahabat yang selalu mendukungnya, dengan senang hati membantu.

"Oke, Sil, kita mulai dari mana?" tanya Rian sambil membuka file desain di komputernya.

"Kita mulai dari poin-poin yang dikritik Dokter Alfin. Ruang tunggu, UGD, sirkulasi udara, dan aksesibilitas," jawab Asillah sambil menunjuk ke layar komputer.

Mereka berdua bekerja keras sepanjang sore, memutar otak mencari solusi terbaik untuk setiap masalah. Asillah mencoba membayangkan dirinya sebagai pasien, sebagai dokter, sebagai perawat, dan sebagai keluarga pasien. Ia ingin menciptakan desain yang benar-benar memenuhi kebutuhan semua orang.

Rian memberikan ide-ide yang brilian, yang membuat Asillah semakin bersemangat. Mereka berdua saling melengkapi, menciptakan sinergi yang luar biasa.

"Gimana kalau ruang tunggu kita buat lebih luas, tapi kita bagi menjadi beberapa zona? Ada zona anak-anak, zona lansia, dan zona umum. Jadi, pasien bisa memilih tempat yang paling nyaman bagi mereka," usul Rian.

"Ide bagus, Rian! Kita juga bisa menambahkan taman kecil di dalam ruang tunggu, biar pasien bisa merasa lebih rileks," balas Asillah.

Untuk ruang UGD, mereka memutuskan untuk memindahkannya lebih dekat ke pintu masuk dan membuat jalur khusus untuk ambulans. Mereka juga menambahkan helipad di atap rumah sakit untuk pasien yang datang dari daerah yang jauh.

"Kita juga harus memperhatikan sirkulasi udara, Sil. Rumah sakit itu rentan terhadap penyebaran penyakit. Kita harus memastikan bahwa udara di dalam rumah sakit selalu bersih dan segar," kata Rian.

"Betul, Rian. Kita bisa menggunakan sistem ventilasi alami dan menambahkan tanaman-tanaman yang bisa menyerap polusi udara," jawab Asillah.

Untuk aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, mereka menambahkan ramp di setiap pintu masuk, lift khusus, dan toilet yang didesain khusus untuk pengguna kursi roda.

Setelah bekerja keras selama berjam-jam, akhirnya mereka berhasil menyelesaikan revisi desain. Asillah merasa lega dan puas dengan hasilnya. Ia yakin bahwa desainnya sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

"Oke, Rian, terima kasih banyak atas bantuannya. Kamu memang sahabat terbaikku," ucap Asillah sambil tersenyum.

"Sama-sama, Sil. Aku senang bisa membantu. Sekarang, tinggal kita presentasikan ke Dokter Alfin," jawab Rian.

Keesokan harinya, Asillah menghubungi Dokter Alfin dan meminta waktu untuk mempresentasikan revisi desain. Dokter Alfin setuju dan mengatur pertemuan di ruang rapat Rumah Sakit Sejahtera.

Asillah merasa gugup saat memasuki ruang rapat. Ia melihat Dokter Alfin sudah duduk di sana, menunggunya dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Selamat pagi, Mbak Asillah," sapa Dokter Alfin dengan sopan.

"Selamat pagi, Dok," jawab Asillah sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Asillah mulai mempresentasikan revisi desain dengan percaya diri. Ia menjelaskan setiap perubahan yang telah mereka lakukan dan alasan di baliknya. Ia juga menunjukkan simulasi evakuasi yang telah mereka buat.

Dokter Alfin mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela atau memberikan komentar. Asillah merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Dokter Alfin.

Setelah presentasi selesai, Dokter Alfin terdiam sejenak. Asillah merasa semakin gugup.

"Mbak Asillah, saya harus mengakui bahwa revisi desain ini sangat bagus. Anda dan tim Anda telah bekerja keras dan berhasil mengatasi semua masalah yang saya ajukan," kata Dokter Alfin akhirnya.

Asillah merasa lega mendengar pujian itu. Ia tersenyum lebar. "Terima kasih, Dok. Kami senang bisa memenuhi harapan Anda," jawab Asillah.

"Tapi, ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan," kata Dokter Alfin tiba-tiba.

Asillah kembali merasa gugup. "Apa itu, Dok?" tanyanya.

"Mengapa Anda begitu peduli dengan rumah sakit ini? Mengapa Anda begitu bersemangat untuk menciptakan desain yang sempurna?" tanya Dokter Alfin dengan tatapan yang menusuk.

Asillah terdiam sejenak. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia merasa Dokter Alfin bisa melihat menembus hatinya.

"Saya... saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Saya ingin menciptakan rumah sakit yang bisa memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan nyaman bagi semua orang," jawab Asillah dengan jujur.

Dokter Alfin tersenyum tipis. "Saya percaya itu, Mbak Asillah. Saya bisa melihatnya dari mata Anda," kata Dokter Alfin.

Asillah merasa pipinya memanas. Ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu tersentuh dengan kata-kata Dokter Alfin.

"Kalau begitu, saya setuju dengan revisi desain ini. Mari kita bekerja sama untuk mewujudkan rumah sakit impian ini," kata Dokter Alfin sambil mengulurkan tangannya.

Asillah menyambut uluran tangan Dokter Alfin dengan senyum yang tulus. Ia merasa ada sesuatu yang baru telah dimulai. Ia merasa ada secercah harapan di balik kacamata Dokter Alfin.

Uluran tangan Dokter Alfin terasa hangat dan mantap. Asillah merasakan sengatan kecil saat kulit mereka bersentuhan. Ia berusaha menetralkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Senyum tulus Dokter Alfin, meski hanya samar, mampu menghangatkan suasana ruang rapat yang tadinya terasa kaku.

"Saya senang sekali bisa bekerja sama dengan Anda, Dok," balas Asillah, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum profesional.

"Saya juga, Mbak Asillah. Saya percaya, dengan kolaborasi yang baik, kita bisa menciptakan rumah sakit yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat," jawab Dokter Alfin, masih dengan senyum tipisnya.

Setelah pertemuan itu, Asillah merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Revisi desainnya diterima dengan baik, dan ia akan bekerja sama dengan Dokter Alfin untuk mewujudkan rumah sakit impian mereka. Namun, di balik kelegaan itu, muncul perasaan baru yang membingungkan. Ia merasa tertarik pada Dokter Alfin, tapi ia tidak yakin apakah perasaan itu hanya sekadar kekaguman profesional atau sesuatu yang lebih dalam.

Sepanjang hari itu, Asillah tidak bisa berhenti memikirkan Dokter Alfin. Ia teringat akan tatapan tajamnya, senyum tipisnya, dan suaranya yang tenang namun berwibawa. Ia penasaran tentang kehidupan pria itu di luar rumah sakit. Apakah dia memiliki hobi? Apakah dia memiliki keluarga? Apakah dia sudah memiliki kekasih?

Rasa penasaran itu mendorong Asillah untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia membuka kembali profil LinkedIn pria itu dan membaca semua informasi yang tersedia. Ia menemukan bahwa Dokter Alfin adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam yang sangat berdedikasi. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan sering memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat kurang mampu.

Asillah semakin kagum pada Dokter Alfin. Pria itu tidak hanya tampan dan cerdas, tapi juga memiliki hati yang mulia. Ia merasa beruntung bisa bekerja sama dengan orang seperti Dokter Alfin.

Namun, rasa kagum itu juga menimbulkan kecemasan dalam diri Asillah. Ia takut jatuh cinta pada Dokter Alfin, tapi ia juga takut kehilangan kesempatan untuk mengenal pria itu lebih dekat. Ia merasa terjebak dalam dilema yang sulit.

Di malam hari, Asillah tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus melayang pada Dokter Alfin. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menonton film atau membaca buku, tapi tidak berhasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghubungi Rian.

"Rian, aku mau cerita sesuatu," kata Asillah dengan nada serius.

"Ada apa, Sil? Kamu kenapa?" tanya Rian dengan nada khawatir.

"Aku... aku kayaknya tertarik sama Dokter Alfin," jawab Asillah dengan ragu-ragu.

Rian terdiam sejenak. "Serius? Kamu tertarik sama Dokter Alfin yang kritis itu?" tanyanya dengan nada terkejut.

"Iya, Rian. Aku juga bingung kenapa. Tapi, aku ngerasa ada sesuatu yang beda sama dia," jawab Asillah.

"Hmm... aku sih nggak kaget. Dokter Alfin itu memang tipe ideal banyak wanita. Dia tampan, cerdas, sukses, dan baik hati. Tapi, kamu yakin, Sil? Kamu kan orangnya idealis banget. Dokter Alfin itu perfeksionis dan agak kaku. Kalian cocok?" tanya Rian.

"Aku juga nggak tahu, Rian. Makanya aku bingung. Aku takut salah langkah. Aku takut sakit hati," jawab Asillah dengan nada sedih.

"Dengerin aku, Sil. Jangan terlalu dipikirkan. Ikuti saja kata hatimu. Kalau kamu memang tertarik sama Dokter Alfin, coba dekati dia. Kenali dia lebih dekat. Kalau ternyata kalian nggak cocok, ya sudah. Yang penting kamu sudah mencoba," nasihat Rian.

"Tapi, gimana caranya, Rian? Aku kan nggak tahu apa-apa tentang dia. Aku juga takut dia nggak tertarik sama aku," jawab Asillah.

"Tenang, Sil. Aku punya ide. Aku kan kenal sama Dokter Sarah, teman dekatnya Dokter Alfin. Aku bisa minta tolong Dokter Sarah untuk menjodohkan kalian," usul Rian.

Asillah terdiam sejenak. Ia mempertimbangkan usulan Rian. Ia tahu, ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mengenal Dokter Alfin lebih dekat.

"Oke, Rian. Aku setuju. Tolong bantu aku," jawab Asillah akhirnya.

Rian tersenyum. "Siap, Sil! Aku akan bantu kamu sekuat tenaga. Kamu pantas bahagia," kata Rian dengan tulus.

Asillah merasa lega dan bersemangat setelah berbicara dengan Rian. Ia tahu, ia tidak sendiri. Ia memiliki sahabat yang selalu mendukungnya.

Namun, di balik semangat itu, terselip sedikit keraguan. Ia tidak tahu apakah Dokter Alfin akan tertarik padanya. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi. Ia hanya bisa berharap, jodoh memang tidak akan lari ke mana.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!