Cinta di Bawah Hujan
Malam mulai merayap pelan. Hujan yang tadinya deras kini berubah menjadi rintik halus, seperti musik penutup setelah orkestra panjang. Udara terasa lebih dingin, menusuk tulang, tapi di dalam dada Nayla justru terasa hangat. Ada perasaan yang sulit ia definisikan—antara lega, bingung, takut, sekaligus bahagia.
Arka berdiri dari bangku kayu yang sudah lembap, lalu menatap jalanan yang masih basah. “Kayaknya hujan udah mulai reda. Aku antar kamu pulang, ya?” tanyanya dengan suara lembut.
Nayla sempat ingin menolak. Bukan karena tidak mau, melainkan karena ia takut kehadiran Arka yang tiba-tiba kembali akan membuat hatinya terlalu cepat luluh. Namun, melihat tatapan tulus di wajahnya, Nayla akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah.”
Mereka berjalan berdampingan di bawah payung kecil milik Nayla. Payung itu jelas terlalu sempit untuk menampung dua orang, sehingga bahu mereka saling menempel. Sesekali angin membawa sisa rintik hujan, membasahi wajah mereka. Anehnya, tak satu pun mengeluh. Ada kehangatan yang menutupi rasa dingin itu.
“Jadi… setelah pindah dulu, kamu tinggal di mana aja?” Nayla mencoba membuka percakapan.
Arka menatap ke depan, suaranya tenang. “Aku ikut orang tua ke Bandung, lalu sempat kerja di Surabaya. Hidupku banyak berpindah. Awalnya aku pikir itu menyenangkan, tapi lama-lama… capek. Semua tempat terasa asing, dan semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar ada bagian diriku yang hilang.”
“Bagian itu… aku?” Nayla memberanikan diri bertanya, setengah bercanda tapi penuh harap.
Arka menoleh cepat, menatapnya dalam. “Ya. Kamu.”
Jawaban itu sederhana, tapi membuat Nayla tercekat. Langkahnya hampir terhenti, untung Arka menggenggam pergelangan tangannya, menuntunnya untuk terus berjalan. Sentuhan itu membuat jantung Nayla berdetak kencang. Ia merasa seperti kembali ke masa SMP, ketika Arka dengan santai menggandeng tangannya di tengah hujan.
Sesampainya di depan rumah Nayla, mereka berhenti. Hujan benar-benar reda, hanya menyisakan aroma tanah basah yang khas. Lampu teras rumah Nayla menyala, memantulkan bayangan mereka berdua yang berdiri terlalu dekat di bawah payung kecil.
“Terima kasih sudah nganterin aku,” ucap Nayla dengan suara pelan.
Arka menatapnya, lalu tersenyum. “Terima kasih juga sudah mau ketemu aku hari ini, meskipun ini nggak direncanakan. Rasanya seperti… mimpi.”
Nayla mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—tentang hidup Arka, tentang alasannya kembali, tentang apa yang sebenarnya ia inginkan. Namun lidahnya kelu. Hanya matanya yang berbicara, menatap Arka dengan campuran ragu dan kerinduan.
Arka tampak menahan diri sejenak, lalu berkata lirih, “Boleh aku ketemu kamu lagi besok? Bukan kebetulan, bukan karena hujan, tapi karena aku memang ingin.”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Nayla menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kacau. Ia tahu, menerima berarti membuka pintu, memberi kesempatan. Menolak berarti menutup semua kemungkinan, mungkin selamanya.
Akhirnya, Nayla tersenyum samar. “Besok… kita lihat saja. Kalau hujan turun lagi, mungkin jawabannya iya.”
Arka tertawa kecil, meski jelas ada harap yang begitu besar di matanya. “Kalau begitu, aku berdoa semoga hujan turun lagi.”
Malam itu, Nayla masuk ke rumah dengan hati yang penuh gejolak. Dan di luar pagar, Arka berdiri sejenak, menatap langit yang masih kelabu. Hujan telah mempertemukan mereka kembali. Kini, hanya waktu yang akan menentukan ke mana kisah itu akan berlabuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments