Asap kemenyan naik melayang, membentuk lingkaran samar di udara malam yang pekat. Lilin-lilin temaram menebarkan cahaya kuning redup, menyoroti wajah Atna yang tegang. Ia menunduk, menepikan rambutnya, dan membisikkan doa kecil sambil berharap ritual sesajen cukup untuk menenangkan kekuatan gelap yang menempel padanya.
Namun, udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi berat. Angin dingin berhembus dari arah jendela, padahal semuanya tertutup rapat. Bayangan gelap muncul di sudut ruangan, bergerak perlahan, dan bentuknya semakin jelas. Sosok pocong bersusuk menatap lurus ke arah Atna. Wajahnya hancur dan menyeramkan, kain kafannya lusuh dan tampak mengelupas, sementara mata kosongnya seolah menembus jiwa.
Atna terpaku, tangan gemetar menahan diri agar tidak menjatuhkan sesajen. “Ini… ini tidak seharusnya terjadi,” bisiknya, suaranya serak karena ketakutan. Ia menyadari bahwa kekuatan itu tidak bisa dikendalikan hanya dengan sesajen; bayangan gelap itu muncul karena energi susuk yang menempel padanya terlalu kuat, terlalu haus akan korban.
Pocong itu bergerak lebih dekat, langkahnya perlahan namun pasti, meninggalkan jejak dingin yang merambat ke setiap sudut ruangan. Asap kemenyan bergulung di sekitarnya, tapi seakan tak mampu menahan aura gelap yang mengalir dari sosok itu.
Atna menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi ketika membuka kembali, pocong itu sudah berdiri di hadapannya. Tubuhnya menunduk, namun aura mengerikan yang dipancarkannya membuat seluruh ruangan terasa sesak.
“Kalau aku… kalau aku tidak menyiapkan sesajen… kau datang untuk apa?” bisik Atna, suaranya hampir hilang di udara malam. Tidak ada jawaban, hanya tatapan kosong yang menembus setiap lapisan ketakutannya.
Ia sadar: ini bukan sekadar ancaman. Malam itu adalah permulaan dari teror yang tak bisa ia hentikan sendiri.
Pocong bersusuk berdiri di hadapan Atna, tubuhnya membungkuk, kain kafannya lusuh bergerak pelan seakan hidup sendiri. Aura gelap yang keluar dari sosok itu membuat ruangan menjadi dingin menusuk tulang. Atna menelan ludah, keringat dingin menetes di pelipisnya.
Tiba-tiba, suara serak namun terdengar jelas keluar dari pocong itu. “Atna… jika kau tak menyerahkan sesajen… aku akan mengambil lebih dari yang kau bayangkan,” katanya, suaranya bergema di seluruh ruangan, menembus setiap sudut gelap.
Atna mundur, napasnya tersengal. “Aku… aku sudah menyiapkannya!” bisiknya tergagap, tangannya menunjuk ke meja penuh sesajen. Tapi pocong itu tidak bergerak, hanya menatap lurus dengan mata kosong yang seakan bisa menembus jiwanya.
“Cukup?” tanya Atna, suaranya bergetar. Pocong bersusuk hanya diam, menunggu.
“Jika kau mencoba menipu… aku akan datang ke dunia manusia, dan tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkanmu.”
Atna merasakan aura gelap itu menembus dirinya, menekannya hingga ke setiap tulang. Tubuhnya gemetar hebat, hatinya penuh ketakutan.
Ia tahu, pocong ini bukan sekadar bayangan; ini adalah konsekuensi nyata dari susuk yang ia gunakan, kekuatan yang haus akan pengorbanan, dan malam itu menjadi titik awal teror yang tak bisa ia hentikan sendiri.
Atna merogoh napas dalam, gemetar, lalu perlahan menyerahkan sesajen di meja. Pocong bersusuk berdiri diam, menatap dengan mata kosong yang menembus jiwanya. Udara dingin masih terasa, tapi perlahan aura gelap itu mulai mereda, seperti kabut yang terhempas angin.
Atna menutup mata sejenak, menarik napas panjang. “Hh… untung… semuanya aman… setidaknya malam ini,” gumamnya pelan, dadanya naik turun dengan lega. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya, campuran antara rasa lega dan kesombongan.
Dalam hatinya, yang penting malam ini semuanya berjalan lancar—uang banyak masuk kantong, pelanggan puas, dan ia selamat dari ancaman langsung pocong bersusuk.
Namun, di sudut pikirannya, ia tahu ketenangan itu hanya sementara. Aura gelap yang menempel padanya tak pernah benar-benar hilang.
Malam ini hanya permulaan; malam-malam berikutnya bisa membawa teror yang jauh lebih mengerikan, dan desa yang tenang itu mungkin akan menjadi saksi penderitaan yang lebih besar.
Atna melangkah ke depan cermin, napasnya masih memburu. Ia menatap bayangan dirinya, dan benar saja—gangguan pocong yang mendiami susuknya perlahan mulai hilang. Aura gelap mereda, dan ruangan terasa lebih ringan. Segalanya kembali normal… setidaknya untuk saat ini.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu.
Tok… tok… tok…
Suara itu membuat Atna menegang sejenak, rasa penasaran membuatnya melongok melalui jendela. Di depan rumah, tampak seorang juragan—tengkulak sayuran yang cukup dikenal di desa—berdiri dengan ekspresi serius.
Atna tersenyum tipis, nadanya sengaja dibuat menggoda saat ia membuka pintu. “Juragan, ada apa?”
“Boleh masuk?” tanya juragan itu, suara datar tapi penuh maksud.
Atna mengangguk dan mempersilakannya masuk. Tanpa basa-basi, juragan itu mengeluarkan segepok uang dari kantongnya.
“Layani saya!” pintanya dengan nada tegas.
Atna menelan ludah kasar, matanya menatap segepok uang itu. Benar saja, efek dari sesajen yang diberikan pada pocong susuknya bekerja dengan luar biasa.
Energi gelap yang sebelumnya membuatnya terancam kini malah menyalurkan keberuntungan dan kekuatan, membuatnya bisa memikat orang dan menarik uang dengan mudah.
Hatinya berdebar, setengah senang, setengah was-was—ia tahu, semua ini berkat kekuatan yang berbahaya, yang bisa sewaktu-waktu kembali menuntut pengorbanan.
Atna melayani juragan itu dari tengah malam hingga subuh tiba. Ruangan hanya diterangi cahaya lilin temaram dan lampu jalan dari luar, sementara musik pelan dari kejauhan menambah suasana hening yang mencekam. Energi susuk yang menempel padanya membuat setiap gerakan Atna terasa memikat, memaksa juragan tetap terpesona sepanjang malam.
Ketika subuh hampir menyapa, juragan itu mengenakan kembali celananya dan menatap Atna dengan senyum puas.
“Ini tambahan buat kamu,” ujarnya sambil menaruh segepok uang baru—sepuluh juta rupiah—di meja.
Atna menelan ludah kasar, matanya membelalak melihat jumlah itu. Bagi orang desa, uang sebanyak itu adalah kekayaan yang tak terbayangkan.
Jantungnya berdebar, campuran antara kegembiraan dan ketegangan—senang karena kekuatan susuknya berhasil mendatangkan keuntungan, tapi juga was-was, sadar bahwa energi gelap itu selalu mengintai, menunggu saat untuk menuntut kembali.
Ia menarik napas panjang, menatap tumpukan uang itu, dan menyadari satu hal: malam ini hanyalah permulaan dari kekuatan yang kini mengalir di tubuhnya, kekuatan yang bisa membawa keberuntungan sekaligus teror, bagi dirinya dan desa di sekelilingnya.
Juragan itu akhirnya pergi, langkahnya menjauh meninggalkan rumah Atna. Pintu tertutup rapat di belakangnya, menandai akhir malam panjang yang penuh hawa panas dan ketegangan.
Atna berdiri sejenak, menatap tumpukan uang di atas meja. Senyum tipis tersungging di wajahnya, campuran antara puas dan kesombongan. Hatinya melonjak—dari jalur kesesatan dan kemaksiatan, ia kini bisa merasakan kekayaan yang sebelumnya hanya menjadi mimpi.
Ruangannya sunyi, hanya suara detak jam dan napasnya sendiri yang terdengar. Aura gelap dari susuk yang menempel padanya terasa semakin kuat, membungkus tubuhnya dengan daya tarik yang menakutkan dan memikat sekaligus.
Setiap gerakan, setiap tatapan di cermin, mengingatkannya bahwa kekuatan itu membawa keuntungan besar, tapi juga menuntut pengorbanan yang belum sepenuhnya ia pahami.
Di dalam hatinya, Atna tahu satu hal: kekayaan ini bukan hadiah semata, tapi hasil dari jalan gelap yang penuh risiko. Dan malam ini hanyalah permulaan. Desa yang tenang itu perlahan akan merasakan efek dari energi gelap yang kini mengalir di tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments