Halusinasi

Di belakang Bobi menceritakan apa yang ia lihat di tasnya pada Vani, Kila, dan Agam. Mereka sempat ragu, tak percaya, karena Ratna datang dengan tangan kosong. Namun, Kevin sudah bersikeras. Ia tipe orang yang enggan dibantah, apalagi soal firasatnya sendiri.

“Gue khawatir ini pertanda buruk. Semalam gue mimpi aneh,” ujar Vani, wajahnya tegang, suara serak menahan rasa cemas.

Kila mendecakkan bibirnya, kesal. “Apaan, sih, Van! Gak usah lebay gitu. Bisa aja Kevin bener, Ratna cuma iseng.”

Hening seketika. Tiba-tiba terdengar peluit panjang dari arah selatan. Semua menoleh. Salah satu anggota OSIS memperingatkan mereka agar segera menyelesaikan permainan. Tanpa pilihan lain, mereka melepaskan Ratna dan mulai menelusuri lokasi mencari bendera.

Rerumputan tinggi disibak perlahan, berharap terselip sesuatu. Namun, tangan mereka hanya menyentuh dinginnya tanah, kosong. Kevin sebagai ketua regu, memberi aba-aba agar anggota menyebar, agar pencarian lebih cepat.

Sepuluh menit kemudian, Ratna menemukan sebuah bendera yang tergantung di dahan pohon. Dengan hati-hati, ia mencabut kertas yang diikatkan di tangkainya dan membukanya. Tertulis pertanyaan tentang karya lukis. Tanpa kesulitan, Ratna mencatat jawaban di ponselnya. Kertas itu kembali dimasukkan ke tas bersama benderanya.

Tak lama kemudian, giliran Vani. Ia menemukan bendera menempel di batang pohon besar, begitu besar hingga sinar matahari nyaris tak menembus.

“Dingin banget di sini… bikin males gerak,” gumamnya sambil mencabut bendera. Namun, tangkainya menempel kuat.

Vani menarik sekuat tenaga hingga bendera itu lepas. Tapi tiba-tiba, sebuah cairan menyembur deras ke tubuhnya. Awalnya ia pikir air, tapi saat membuka mata, baju dan kulitnya basah, merah pekat. Darah. Benar-benar seperti mandi darah.

“Arghhh!” Vani menjerit, tangannya menyentuh wajahnya yang juga terkena semburan itu. Bau anyir menyengat hidungnya, makin membuat panik.

Ratna yang sedang mencari di dekatnya berlari, mendekat sambil terengah. “Ada apa, Van?”

“Lu nggak liat? Badan gue… penuh darah!” jawab Vani, suaranya bergetar, tubuhnya gemetar, panik.

Dahi Ratna mengernyit, bingung. Tak ada yang terlihat. Pakaian Vani bersih. Sama sekali tak bernoda.

“Tolong, Ratna! Cepetan panggil bantuan!” Vani mendorong Ratna, hampir menjerit.

Tim mereka segera datang, menanyakan apa yang terjadi. Vani terus menunjuk pohon besar di depannya, suaranya semakin tidak terkendali.

“Di badan lo nggak ada apa-apa, Van. Kering semua,” kata Kila, menenangkan.

“Kering? Lu nggak liat tangan gue? Kenapa kalian gak nolong gue?” teriak Vani, seolah kerasukan, rambutnya acak-acakan, tubuhnya bergetar hebat.

Kevin, yang mulai tersulut emosi, menegur dengan keras, mencoba menenangkan. Tapi Vani menepis tangan Kevin.

“Ini semua gara-gara lo! Kenapa ngajak gue main jelangkung?! Lihat badan gue!” jeritnya, histeris.

Semua diam, menatapnya dengan campuran takut dan bingung. Agam menimpali, “Mungkin Vani kerasukan… omongannya nggak masuk akal sama sekali.”

Vani menjerit lebih keras, lalu tubuhnya lemas. Tubuhnya jatuh tersungkur, pingsan.

Bobi segera meniup peluit tiga kali, memanggil beberapa anggota OSIS yang turun ke lokasi.

“Kenapa ini bisa terjadi?” tanya seseorang,

“Kecapean. Tolong bawa dia ke tenda.”

Vani dibopong oleh tim Kevin dan beberapa anggota OSIS. Hanya Ratna yang tersisa, berdiri di depan pohon besar tadi. Ia menengadah beberapa detik, menatap ke arah kegelapan. Seketika wajahnya memucat ketika melihat sosok wanita berlidah panjang, wajahnya ditutupi darah, dan matanya setengah meleleh, menatap kosong.

“Pura-pura gak lihat, Ratna. Cepet, cuekin aja,” gumamnya seraya berbalik dan berjalan cepat menuju tenda kemah.

......................

Tim Kevin hampir menyelesaikan misi mereka—andai saja Vani tidak pingsan, menggagalkan semuanya. Namun, karena permainan harus selesai, Vani akhirnya dibawa ke tenda, sementara anggota lain menuntaskan tugas mereka.

“Padahal sebentar lagi selesai… malah semaput,” gerutu Bobi.

“Ya namanya juga celaka. Siapa sangka Vani bakal pingsan di detik-detik terakhir,” bela Kila.

“Dia aja yang lemah. Baru jalan segitu, udah kecapean,” timpal Agam.

“Udahlah, berisik! Kalian kalau ngeluh kayak cewek pengen jajan,” Kevin menyela dengan nada kesal. Ia sendiri merasa frustrasi karena teka-teki yang berhasil mereka kumpulkan belum tentu dijawab benar saat pengumpulan nanti.

Sementara itu, Ratna berjalan paling belakang, menunduk, diam. Namun, ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya. Suara langkah terseok-seok terdengar jelas, seakan kaki itu menyapu habis daun-daun kering di tanah.

“Jangan pergi… jangan jauh-jauh… aku bisa menemukanmu,” gumam sesuatu, berulang kali. Ratna merinding, lengannya mendingin, digosok-gosok berulang.

“Pergi… kumohon jangan ikuti aku,” desis Ratna. Tapi sosok itu malah bertambah menjadi lima. Ada yang merangkak, ada yang tertatih-tatih. Semua berwajah pucat, tubuh telanjang, menyerupai tengkorak berbalut kulit tipis, kepala pelontos, mata tanpa kelopak.

“Heh! Ratna! Bantuin ini! Lelet banget jalan lu!” Kevin menyentak kesunyian. Ratna menoleh, matanya membelalak.

“Bawain tas gue, pegel!” Kevin melepas tas gendongnya. Namun yang membuatnya pegal bukan tas, melainkan sosok itu kini bertengger di pundaknya—menatap dengan mata hampa, dingin.

“Ini…” Kevin menahan nafas.

“I-iya…” Ratna menurut, menunduk, menghindari pandangan makhluk mengerikan itu.

Kevin tersenyum pongah, mengira Ratna menunduk karena takut padanya. “Bagus. Yang patuh sama gue. Kalau enggak, bakal gue kerjain sampai mampus!” desisnya sambil berjalan lagi, memijat tengkuknya sendiri.

Para anggota OSIS yang membopong Vani sudah berjalan jauh di depan. Mereka tiba di tenda lebih dahulu dan segera menidurkan Vani di matras. Anggota PMI mengecek kondisinya sebelum menyerahkan sepenuhnya kepada tim. Pak Agus ikut memastikan keadaan muridnya. Setelah tidak ada yang serius, Vani diserahkan ke anggota PMI.

Vani berusaha dibangunkan dengan aroma minyak kayu putih. Perlahan, suaranya terdengar seperti igauan samar.

“Van… lu gak apa-apa? Ada yang sakit?”

Kevin dan Bobi segera mendekat, waswas. Kekhawatiran mereka benar: Vani terbangun, meracau sambil menangis.

“Tadi gue… kenapa, sih? Tiba-tiba gelap banget. Badan gue… badan gue gak apa-apa, kan?”

“Tenang, Vani. Lu gak apa-apa. Ini minum dulu,” seorang siswi menyerahkan segelas air. Vani meneguknya habis dengan terburu-buru.

“Tadi…” Vani menarik napas berat, tubuhnya lelah. “Dari pohon besar itu… darahnya keluar banyak banget. Ini pasti gara-gara…”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!