“Teman-teman sekelasku yang main. Aku dipaksa ikut,” tutur Ratna Nurpita, suaranya serak menahan gugup.
“Kalau ketahuan, bakal kena masalah.” Kanaya menyimpan boneka kayu yang tadi dipungutnya dengan hati-hati.
“Aku harus segera ke kemah. Pasti Pak Agus lagi nyari. Duh, pasti bakal kena masalah.” Ratna bangkit tergesa-gesa, lalu tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu.
Sebuah buku bersampul tebal dan usang, seperti kulit kayu tua, tergeletak di dekat kakinya. Kanaya yang ikut terkejut buru-buru menunduk mengambil buku itu.
“Aku pergi dulu!” Ratna berbalik dan mulai berlari menuruni tanah yang landai.
“Eh, tunggu! Bawa ini!” Kanaya berlari mengejar, menyerahkan buku itu kembali.
“Buat apa? Simpan saja di sini.”
“Ini bukan buku aku. Kamu aja yang bawa. Anggap saja berkat. Lagian kamu yang nemuin.” Kanaya tersenyum lebar, matanya bersinar penuh semangat. “Aku udah punya satu, tapi jilidnya hitam. Gak tahu buku ini milik siapa. Yang jelas… siapa yang nemu, itu jadi miliknya.”
Sifat Kanaya yang ceria sungguh kontras dengan Ratna yang kerap murung. “Aku mau pulang ke rumah nenek. Takutnya kelayapan sebelum sarapan. Kamu juga balik ke kemah, hati-hati ya!”
“Hey! Kanaya!” Ratna memanggil sambil menatap Kanaya yang berjalan cepat, tubuhnya hilang di balik kabut tipis pagi itu. Gadis itu tampak bernyanyi sendiri, seakan tak punya beban apa pun.
Ratna menatapnya dengan wajah sendu. “Ya, anak seusia kita memang seharusnya bahagia, ya…” gumamnya sambil menenteng buku yang diterimanya, menyusuri jalan hutan yang terasa sedikit aneh dibanding kemarin. Namun rasa takut akan dimarahi Pak Agus lebih dominan ketimbang keanehan di sekelilingnya.
Di dekat perkemahan, Ratna berpapasan dengan Kevin dan Kila. Tanpa ampun, tubuhnya dicegat dan disudutkan di bawah pohon kiara.
“Jangan sampai lu ngadu ke Pak Agus soal kejadian tadi malam. Kalau berani… habis lu sama gue!” ancaman Kevin membuat bulu kuduk Ratna berdiri. Tatapan Kila yang dingin dan menakutkan menambah ketakutannya.
“Iya… aku nggak akan ngadu,” jawab Ratna, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bagus! Jalan sana, cepat!” Kevin mendorongnya, sementara Kila pura-pura menggandeng tangan Ratna. Ia berteriak seolah menemukan Ratna terjatuh saat mencari kayu bakar, aktingnya sempurna.
Ratna menahan meringis. Haruskah ia berpura-pura kalau kakinya terkilir? Sekali saja Pak Agus curiga, maka dia yang akan kena masalah, bukan Kila.
Pak Agus bersikap bijak kali ini, memerintahkan anak PMI mengecek Ratna terlebih dahulu. Mereka mengangguk, meski sebenarnya enggan terlalu dekat dengan gadis aneh itu.
Sementara itu, di rumah panggung kuncen, Ki Wangsit baru turun sambil membawa sesajen kecil yang mengepulkan asap kemenyan. Kabut tipis pagi itu membungkus halaman. Perasaan Ki Wangsit sedikit terganggu, hawa hangat dan matahari terang terasa aneh.
Ia berjalan ke pagar dekat bunga dahlia, hendak mengganti sesajen. Namun sikap tenangnya seketika berubah menjadi waspada saat menyadari ada keanehan pada sesajen yang diletakkan kemarin.
“Ana apa iki? geneya bisa mengkene?" [Ada apa ini? Kenapa bisa begini?] gumamnya, nada cemas. Kopi hitam dalam cawan tiba-tiba berubah menjadi merah pekat, seperti darah segar, dengan aroma amis yang menusuk hidung. Bahkan bunga di sesajen layu setengah kering, seolah energi gelap semalam masih tersisa.
“Ada yang tidak beres…”
......................
Setelah diintrogasi oleh Pak Agus, Ratna harus berpura-pura tersesat ketika ingin ke toilet. Entah bagaimana, arah di dalam hutan seakan menyesatkan langkahnya, hingga tanpa sadar ia tiba di area kemah ketika matahari sudah meninggi.
Gadis itu terus-menerus meminta maaf, berulang kali meyakinkan guru pembimbing bahwa insiden tadi tidak akan terulang.
Pak Agus mempersilakan Ratna untuk membersihkan diri. Bajunya—yang penuh tanah dan debu—membuatnya terlihat sangat kotor. Ratna segera bergegas ke tendanya, mengeluarkan sebuah buku yang disembunyikannya di balik pakaian.
Buku itu berlapis sampul hitam. Saat dibukanya, hanya terlihat lembaran kekuningan, motifnya menyerupai dedaunan kering yang terperangkap di kertas.
“Aesthetic juga. Lumayan buat diary,” gumam Ratna, buru-buru memasukkannya ke dalam tas sebelum Vani dan Kila melihat. Takut kalau mereka merebutnya, pikirnya.
Badan yang penuh tanah hanya dibersihkan dengan tisu basah. Setelah cukup bersih, Ratna kembali bergabung dengan barisan murid lain, mendengar arahan dari guru dan senior pembimbing.
“Ada beberapa bendera yang sudah disebar. Di tiap bendera ada pertanyaan. Masing-masing eskul berbeda warna. Yang jawabannya paling banyak, ada hadiah menarik,” ujar Shella, perwakilan OSIS, dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya menenangkan.
Beberapa perwakilan OSIS menjelaskan aturan permainan lebih lanjut. Di sisi lain, Bobi yang tengah berdiri, meraba-raba celana PDL hitamnya, tampak mencari sesuatu di dalam saku.
“Lu nyari apa?” tanya Kevin.
“Name tag gue nggak ada. Kayaknya ketinggalan di tenda. Bentar, gue ambil dulu,” jawab Bobi, lalu meminta izin pada salah satu OSIS. Begas ia berlari ke tenda. Kevin pun mengikuti, dengan alasan lain.
Di tenda, Bobi membongkar tumpukan tas dan selimut. Name tagnya tetap tak ditemukan. Saat ia membuka tas, sebuah benda mengejutkan membuatnya menjerit.
Kevin yang baru masuk terkejut. “Lu kenapa?”
“Cek sendiri! Anj***, di tas gue ada apaan ini!” teriak Bobi, setengah gemetar.
Kevin mendekat, mengambil tas hitam itu. Sesaat kemudian, wajahnya pucat. Boneka jelangkung yang semalam mereka buat di gua tiba-tiba muncul di dalam tas Bobi. Tanpa sengaja, Kevin hampir melemparnya.
“Bukannya semalam kita tinggalin di gua? Kenapa bisa ada di tas lu?” Kevin bertanya dengan nada panik.
“Iya, kan sebelumnya dipegang terus sama Ratna. Kenapa bisa sampai sini? Ini pertanda buruk, Kev!” Bobi berkeringat dingin, seluruh tubuhnya menegang.
“Jangan mikir macam-macam. Gue yakin ini kerjaan Ratna!” Kevin menepis.
“Tapi gue nggak lihat dia bawa jelangkung. Lu gila? Masak Ratna masuk tenda cowok?” Bobi membalas dengan panik.
“Udah, cukup. Masukin aja ke tas lu. Ntar ketahuan Pak Agus bahaya. Kita buang benda sialan itu ke sungai. Cepet!” Kevin menyuruh.
Dengan tangan gemetar, Bobi memasukkan boneka itu ke dalam tas, lalu mengambil name tagnya yang tertinggal. Mereka berdua buru-buru keluar, mencoba bersikap normal. Tapi ketegangan masih terpancar jelas di wajah Bobi.
Setelah dibagi kelompok sesuai eskul, semua mulai menyebar mencari bendera. Tim gambar mendapat bendera merah. Sekali lagi, Ratna harus kecewa karena harus berada satu kelompok dengan Kevin.
Di dalam hutan, Kevin menyeret Ratna ke samping, menatapnya dengan sorot mata yang membuat bulu kuduk meremang.
“Lu ngaku nggak jelangkung itu masuk tas Bobi?” Kevin menekankan, suaranya bergetar, tapi tajam.
“Enggak, aku nggak lakuin itu. Sumpah!” Ratna menjawab ketakutan, tubuhnya gemetar.
“Lu jangan bohong, ya? Jangan sampai gue buat lu mati di hutan ini,” Kevin menatapnya tajam, sambil mengawasi sekitar, takut tim lain memergoki mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments