***
“Halo. Kau sudah bangun?”
NGIIIIIIING!
Suara itu kembali terdengar, menyelinap di antara desing berdenging yang masih menyakitkan telinga Lanang.
“Siapa yang bicara?” tanya Lanang dalam kegelapan yang masih menyelimuti pandangannya.
“Ini aku. Adam.” jawab suara itu tiba-tiba, jelas dan tenang.
PYAR!
Cahaya menyilaukan kembali menyerang matanya. Perlahan, penglihatannya pulih. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia kini berada di sebuah alam yang sama sekali asing. Segala sesuatu terasa lembut, tidak berbentuk jelas, dan transparan, namun terasa tak berbatas sejauh mata memandang.
Alam baka? Atau mungkin ini alam koma? batinnya bertanya-tanya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan berwujud transparan mulai muncul perlahan di hadapannya. Awalnya samar dan buram, tetapi makin lama wujud itu makin jelas dan terbentuk.
“Kau… benar-benar Adam?” tanya Lanang, tidak percaya.
Wajah itu adalah wajah yang sama persis yang ia lihat di genangan air saat pertama kali membuka mata di zaman yang baru. Adam berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan yang tampak acuh dan malas.
“Kenapa lama?” tanya Adam dengan suara datar, namun nadanya terdengar tajam dan mengiris. Di sekelilingnya, energi entitas tak kasat mata membentuk riakan kecil, seperti gelombang halus di danau yang tenang.
Lanang menarik napas panjang. Perasaanya campur aduk; separuh lega akhirnya bertemu, separuh jengkel karena semuanya berjalan kacau.
“Banyak drama, Bocah,” tukas Lanang dengan nada sarkas. “Orang-orang dalam hidupmu itu terlalu banyak membuat masalah. Aku baru saja terbangun, dan tiba-tiba sudah harus berhadapan dengan orang kulit putih yang memiliki wajah persis sahabatku.”
“Maksudmu… Bryan?” tanya Adam. Ekspresi sedih tergambar jelas pada wujud jiwanya yang transparan. “Bagaimana kabarnya? Apakah kalian berhasil keluar dari gedung itu?”
“Entahlah, Bocah,” jawab Lanang pasrah. “Aku tidak tahu. Yang jelas, aku malah berakhir di sini, bersamamu.”
Wujud jiwa Adam semakin menunjukkan raut sedih. “Dia datang untuk menyelamatkanku. Tapi dia tidak tahu seberapa besar dan berbahayanya lawan kita kali ini.”
Lanang mengusap kepalanya yang terasa berat. Dia sendiri masih sangat bingung bagaimana bisa berada di alam seperti ini. Ini jelas bukan alam kematian, apalagi alam kegelapan yang biasa ia kenal.
“Jadi, kenapa kita bisa ada di sini?” tanya Lanang penuh curiga. Perkataan Adam yang menyapanya dengan ‘kenapa lama?’ tadi jelas menunjukkan bahwa Adam sengaja memanggilnya ke tempat ini.
“Karena aku yang menginginkanmu datang!” jawab Adam, persis seperti yang diduga Lanang.
“Untuk apa?”
“Aku ingin menyampaikan permintaan terakhirku sebelum benar-benar mati.”
Hah, batin Lanang. Klise sekali. Di dunia ini, memang tidak ada yang gratis. Jika dia bisa hidup sekali lagi di tubuh orang lain, pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Seperti, misalnya, harus mengabulkan permintaan terakhir sang pemilik tubuh.
Dia menatap Adam dengan tajam. “Baiklah, Bocah. Sekarang jawab dengan jujur pertanyaanku. Kenapa aku bisa masuk ke dalam tubuhmu?”
Adam hanya mengangkat alisnya, atau setidaknya bayangan jiwanya membentuk gerakan seperti itu. “Menurutmu?” tanyanya balik, menghindar.
Lanang menyipitkan matanya, mencoba membaca situasi. “Berdasarkan ilmu kebatinan yang pernah kupelajari, hanya ada dua kemungkinan,” ujarnya perlahan. “Pertama, kau sudah mati, lalu arwahku nyasar masuk ke tubuhmu secara kebetulan. Tapi itu hampir mustahil.”
Dia berhenti sejenak, menatap Adam lebih dalam. “Kedua…” lanjutnya, suaranya lebih berhati-hati. “Kau terikat kontrak dengan makhluk gelap. Biasanya, itu urusan balas dendam atau semacamnya.”
Adam terdiam. Cahaya di matanya meredup, seolah diselubungi oleh gelombang getir yang tak terlihat. “Yang kedua lebih masuk akal,” akunya akhirnya, suaranya lirih. “Dan ya… aku baru saja mengikat kontrak dengan iblis, tepat sebelum aku mati.”
Lanang langsung menegang. “Hah? Kontrak? Buat apa kau nekat melakukan hal seperti itu?” Nada suaranya meninggi, tidak menyangka bahwa Adam ternyata juga pernah melakukan hal serupa seperti yang dilakukannya dulu.
“Untuk menyelamatkan orang-orang yang kusayangi,” jawab Adam. Suaranya terdatar datar, tetapi energi di sekelilingnya bergetar keras, penuh emosi yang tertahan. “Kalau tidak, mereka semua bisa mati.”
“Siapa saja yang akan mati kalau kau tidak mati, Bocah?” tanya Lanang, ingin tahu.
“Adik perempuanku di Indonesia. Dokter Elibrech yang sudah seperti ayah bagiku. Juga Bryan yang kau temui tadi, dan seluruh tim yang terlibat dalam kasus ini.”
Lanang mengangkat dagunya sedikit, penasaran. “Jadi, kau berjanji pada iblis untuk menyelamatkan mereka? Coba jelaskan lebih jauh, Bocah. Kenapa kau sampai terjatuh dalam jerat iblis?”
Adam memejamkan mata sejenak. Bukan napas yang keluar dari tubuh rohaninya, melainkan aliran energi dingin yang mengembang di sekitarnya. “Awalnya, kami sedang mengusut kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh buronan internasional. Polanya aneh—semua korbannya dimutilasi dengan ciri khas tertentu. Kami mengira ini hanya kerjaan psikopat biasa. Tapi ternyata…” Energinya berdesir lagi, lebih kuat. “Mereka semua adalah tumbal ritual untuk sekte aliran sesat.”
Lanang mengangguk pelan, mulai memahami. “Hah? Tumbal? Lalu, apa hubungan antara para korban?” tanyanya, rasa penasarannya semakin menjadi.
“Itu yang masih kami selidiki. Tapi yang jelas, kasus ini masih jauh dari kata selesai.”
Adam berusaha menjelaskan, namun suaranya tiba-tiba terputus-putus. “Da… dan a… aku ya…yakin ada mata-mata di… di kantor pusat. Orang dalam yang su… su… sudah lama bercokol, membocorkan semua langkah ka… kami.”
“Hei, kau kenapa, Bocah? Jangan main-main dengan leluhurmu ini,” potong Lanang, merasa sedikit terhina karena Adam tiba-tiba berbicara seperti orang gagap.
Namun, sebelum Adam sempat menjawab, sosok jiwanya tiba-tiba semakin menipis. Gerakannya melambat, mulutnya terbuka seolah mengucapkan sesuatu, tetapi Lanang tidak bisa mendengar sepatah kata pun. Kemudian, sosok itu menghilang sepenuhnya.
“Hei! Di mana kau? Kenapa menghilang?” gerutu Lanang kesal.
Tiba-tiba, rasa nyeri tajam menjalar dari dadanya. Cairan merah mulai merembes dari lubang peluru di bajunya.
“Ah, sialan. Ini pasti gara-gara senjata orang kulit putih itu,” kutuknya pelan.
Namun, saat semburat cahaya tiba-tiba keluar dari lukanya, rasa sakitnya justru menghilang seketika. Cahaya itu membumbung tinggi, perlahan membentuk kembali sosok jiwa Adam di hadapannya.
“Ya ampun, aku baru tahu kalau jiwa juga bisa keluar dari luka koreng?” ujar Lanang, setengah menghina.
“Maaf, kau tidak bisa lama-lama berada di sini,” kata Adam. “Aku baru saja menyalurkan sisa inti kehidupanku untuk menyembuhkan lukamu.”
“Hah? Untuk apa?” tanya Lanang terkejut.
“Karena aku tidak mau kau mati. Dan kau harus melindungi keluargaku lebih dulu, sebelum akhirnya mati,” jawab Adam tegas.
“Oh, ya ampun! Jadi kau sengaja menarik jiwaku masuk ke tubuhmu hanya untuk kau jadikan alat, begitu?” ucap Lanang dengan emosi yang meledak.
Adam menjawab dengan tenang, “Aku tidak bermaksud memperalatmu. Tapi iblis itu berjanji akan memasukkan hlis lain dengan kekuatan yang setara ke dalam tubuhku—seseorang yang mampu menghadapi apa yang sedang kami lawan dalam kasus ini.”
“Hah… Iblis? Apa maksudmu? Kalian sedang menghadapi iblis, dan berniat melawan iblis dengan iblis lain?” tanya Lanang, masih tidak percaya.
Adam mengangguk pelan, membenarkan tebakan Lanang.
“Apa? Jadi kau kira aku ini iblis? Asal kau tahu, aku cuma dukun santet yang mati karena difitnah!” sanggah Lanang dengan nada jengkel.
Adam terdiam sejenak. Sorot energinya berkilat samar sebelum akhirnya ia tersenyum miring. “Ya… ternyata rencananya memang meleset jauh.”
Tubuhnya mulai berpendar sekali lagi, semakin samar.
“Sudah waktunya kau pergi,” ucap Adam, suaranya mulai terputus-putus.
“Hei… hei… jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara!” Lanang berusaha menahannya.
“Sekarang… waktunya tidak cukup… Kita akan bertemu lagi nanti. Ini waktunya kau untuk bangun. Sebelum benar-benar mati.” Suara dan wujud Adam perlahan menghilang, bersamaan dengan memudarnya kesadaran Lanang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments