2.Menggila di Tubuh Baru.

.

.

***

“Bryan… KAU MAU MEMBUNUHKU?!” teriak Lanang, suaranya parau dipenuhi rasa takut dan kebingungan.

Tapi bukannya menjawab, Bryan malah membentaknya dengan kasar, “Tiarap! Bodoh!”

Sekuat tenaga, Bryan menarik tubuh Lanang dan menjatuhkannya secara paksa ke dalam sebuah parit kering di samping mereka.

BRUK!

Suara berat terdengar sesaat sebelum sesosok tubuh jatuh dari atap bangunan persis di belakang tempat Lanang berdiri tadi. Mayat itu tergeletak tak bernyawa, hanya berjarak beberapa jengkal dari mereka.

Barulah Lanang tersadar. Ternyata, Bryan sama sekali tidak berniat menembaknya. Justru, pria itu baru saja menyelamatkannya dari penembak jitu yang mengincarnya dari ketinggian.

DUAR!

Suara tembakan kembali memecah kesempatan mereka untuk bernapas. Bryan menggeram kesal, wajahnya semakin tegang.

“Cepat! Ambil ini!” hardiknya melemparkan sebuah pistol cadangannya yang lain ke arah Lanang. “Kau harus melawan! Jangan bertingkah aneh-aneh lagi, Adam!”

Adam? Jadi itu nama pemilik tubuh yang kini ia tempati? Lalu, di mana arwah Adam sekarang? Begitu banyak pertanyaan berkelebat di kepalanya, namun tidak satu pun punya jawaban.

DUAR!

Bryan menembak lagi, namun sayangnya meleset. Alih-alih mengenai sasaran, tembakannya justru memicu balasan yang jauh lebih ganas.

SWING! SWING! SWING!

Peluru berdesing di udara, nyaris menyambar mereka. Suara letusan senjata memekakkan telinga. Mereka benar-benar terkepung, dikeroyok dari segala penjuru.

Oh tidak! batin Lanang nyaris mengutuk. Apakah pasukan Belanda masih belum pergi juga?!

Tapi dia segera menyadari, ini bukanlah waktunya untuk mengeluh atau marah-marah. Dari sampingnya, Bryan terlihat jelas kewalahan. Sendirian, ia berusaha menahan serangan yang datang bertubi-tubi.

Tanpa buang-buang waktu lagi, Lanang mulai merangkak pelan. Ia bergerak mendekati tempat di mana tadi ia membuang pistol pemberian Bryan.

Apakah akhirnya ia mau menggunakan senjata orang kulit putih itu? Tentu tidak.

Yang ia butuhkan hanyalah tempat persembunyian yang lebih baik, sedikit ruang dan waktu untuk bisa berkonsentrasi.

“Cepat lari! Makhluk itu akhirnya bangkit! Mundur... mundur...!”

Teriakan panik itu datang dari arah musuh. Dari balik persembunyiannya, Bryan bisa melihat wajah orang yang terjatuh tadi—pucat pasi, mata membelalak ketakutan, seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.

“Earghhkkk!”

Teriakan lain menyusul, lalu disambung lagi oleh teriakan-teriakan panik lainnya yang saling bersahutan dari arah yang sama. Suara itu bukan lagi teriakan semangat perang, melainkan teriakan ketakutan murni.

Kekacauan itu akhirnya berhasil mengalihkan perhatian Bryan yang sedang fokus menembak. Saat ia menoleh ke samping untuk memastikan kondisi Adam, dadanya langsung disergap kepanikan.

“Sialan! Di mana dia?!”

Tubuhnya spontan berdiri, matanya menyapu setiap sudut parit persembunyian mereka. Adam—atau pria yang kini menghuni tubuh Adam—telah menghilang begitu saja. Tempat itu kosong.

“Kau cari aku?”

Suara itu tiba-tiba terdengar dari belakangnya, begitu dekat. Bryan berputar dengan kaget dan menemukan Lanang sudah berdiri tegak di sana, dengan ekspresi yang hampir tak bersalah.

“Astaga!” Bryan mengeluh, campur kesal dan lega. “Kukira kau lari! Bisa tidak, angan menghilang seperti itu?!”

“Aku tidak ke mana-mana. Dari tadi tetap di sini. Kau saja yang tidak melihat,” jawab Lanang tenang, terlalu tenang untuk situasi berbahaya seperti ini.

Bryan masih tampak sangsi. “Kau yakin?” matanya masih menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda bahaya lain.

“Hum.” Lanang hanya mengangguk kecil, tatapannya tajam dan fokus, bukan pada Bryan, tetapi pada sesuatu di sekeliling mereka yang hanya bisa ia rasakan.

Tunggu dulu. Ada yang tidak beres di sini.

Lanang menyadarinya lebih dulu. Suara teriakan yang tadi, tiba-tiba berhenti total. Digantikan oleh kesunyian yang menusuk telinga—sepi yang justru lebih menyeramkan daripada kebisingan pertempuran.

Tapi kesadaran itu datang terlambat.

Persis saat kewaspadaan mereka lengah, sesosok bayangan hitam muncul dari kegelapan di belakang Bryan. Bergerak cepat dan senyap seperti asap.

DUAR! DUAR! DUAR!

Tembakan bertalu-talu menyambar. Peluru-peluru itu bukan ditembakkan secara sembarangan. Sasaran utamanya adalah Bryan, dan mungkin juga Lanang yang berdiri di dekatnya.

Refleks Lanang bekerja lebih cepat dari pikirannya. Melihat kilat moncong senjata, tubuhnya sudah bergerak sebelum otaknya memerintahkan.

Dia terlambat untuk menyerang, tetapi tidak untuk menyelamatkan.

Dengan satu lompatan nekat, ia menerjang ke depan—menempatkan dirinya di antara Bryan dan hujan peluru itu.

BRUK!

Dampaknya keras. Tubuhnya terhempas, menjatuhkan Bryan bersamanya. Dunia berputar. Suara teredam. Yang tersisa hanya desisan napasnya sendiri yang tiba-tiba tersendat. Tapi tangannya masih sempat membuat sebuah benda melayang, untuk menghabisi si penembak misterius tadi.

“ADAAAAM!” Bryan berteriak lantang, suaranya pecah oleh horror dan rasa bersalah.

Tapi Adam—atau jiwa Lanang yang mendiaminya—sudah tidak bisa mendengar. Kehampaan yang hangat dan pekat menyapunya, membawanya sekali lagi menghadapi kegelapan.

.

.

.

NGIIIIIIING—

Senyap!

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!