Langit Namura berubah oranye pucat saat matahari turun. Sore itu, kabut tebal yang biasanya menyelimuti desa mulai pecah, memberi ruang bagi cahaya senja yang menyapu hutan dan pantai di kejauhan.
Pos medis yang terletak di tepi hutan masih sibuk dengan suara teriakan prajurit yang terluka dan denting logam alat medis. Namun di tengah hiruk pikuk itu, Yura duduk sendirian di tepi tenda, memandangi senja tanpa benar-benar melihatnya.
Tangannya terasa kaku setelah sehari penuh menjahit luka dan menahan pendarahan. Fara dan Amar masih sibuk di dalam, sementara Yuda berusaha memperbaiki generator.
Kenzi, dengan wajah dinginnya yang tak berubah, berdiri di luar pos sambil mengawasi garis horizon. Semua tampak biasa—hingga bayangan hitam bergerak cepat di balik hutan.
Sebelum Yura sempat menyadarinya, sebuah tangan kuat menutup mulutnya dari belakang. Tubuhnya ditarik ke belakang dengan cepat, melintasi jalur semak dan pohon tanpa suara. Nafas panas menyentuh telinganya, suara berat itu berbisik rendah.
“Tenang, Dokter. Aku tidak akan menyakitimu. Tapi aku tidak suka membuang waktu.”
Mark.
Yura berusaha meronta, matanya membelalak, tapi genggamannya terlalu kuat. “Lepas! Kalau Kenzi tahu—”
“Dia tak akan tahu,” potong Mark, suaranya tenang namun tegas. “Mereka semua sibuk. Dan aku hanya ingin… beberapa jam. Senja ini hanya milik kita.”
Dengan gerakan cepat, Mark menaiki kendaraan ringan beroda empat yang ia sembunyikan di balik semak. Yura terpaksa ikut, tubuhnya masih dalam genggamannya. Mesin nyaris tak bersuara saat kendaraan itu melaju meninggalkan pos, melewati jalan-jalan sempit di hutan Namura
Setelah hampir satu jam perjalanan, suara ombak mulai terdengar. Pohon-pohon berganti menjadi hamparan pasir kehitaman. Pantai itu sunyi, hanya suara laut dan angin. Di kejauhan, sebuah bangkai kapal besar terdampar miring, setengah tenggelam di pasir. Karat dan lumut menutupi lambungnya, burung-burung laut bertengger di reruntuhan baja.
Cahaya senja memantulkan kilau oranye di air, menciptakan pemandangan sekaligus indah dan suram.
Mark turun lebih dulu, matanya menatap horizon. “Kau tahu, Dokter,” ucapnya sambil menoleh pada Yura, “tempat ini dulunya pelabuhan. Kini… hanya jadi kuburan baja. Tapi aku suka. Tenang. Tak ada perang di sini. Hanya ombak.”
Yura menatapnya, berusaha mengatur napas. “Kau menculikku… hanya untuk membawaku melihat kapal tua?”
Mark mendekat, langkahnya tenang tapi membawa tekanan. “Aku bisa membawamu ke mana pun. Tapi sore ini… aku ingin kau melihat sesuatu selain darah dan teriakan. Meski hanya sesaat.”
Ia berjalan mendekati bangkai kapal, mengisyaratkan agar Yura mengikutinya. Meskipun enggan, Yura mengikuti—sebab di sekitarnya hanya ada laut dan hutan, tak ada tempat untuk kabur.
Pasir dingin di bawah kakinya terasa kontras dengan hangatnya cahaya senja.
Mereka berhenti di dekat lambung kapal yang miring, air laut sesekali menghantam besi berkarat itu, menghasilkan suara nyaring yang bergema.
Mark bersandar pada potongan baja, menatap Yura dalam-dalam.
“Kau selalu terlihat berani di pos medis. Tapi aku tahu matamu… lelah. Semua nyawa yang hilang… semua darah itu. Kau pikir aku tak lihat caramu menahan napas tiap kali menjahit luka yang tak bisa kau selamatkan?”
Yura terdiam, menatap laut. “Aku tak bisa berhenti. Kalau aku berhenti, siapa yang akan menyelamatkan mereka? Bukan kau, bukan Kenzi… hanya aku dan timku.”
Mark mendekat, suaranya lebih rendah, lebih berat. “Aku bukan penyelamat. Aku penghancur. Tapi bukan berarti aku tak tahu… siapa yang pantas hidup di dunia ini.” Ia berhenti, lalu meraih tangan Yura.
Jemarinya besar, dingin, tapi genggamannya tak sekasar sebelumnya. “Kau… berbeda. Dan aku tidak ingin kau hancur bersama Namura.”
Yura menarik tangannya, menatapnya dengan mata berkilat. “Kenapa peduli? Kau musuh kami. Setiap hari kau membuat lebih banyak mayat datang ke mejaku.”
Mark menatapnya lama, mata hijaunya berkilau dalam senja. “Mungkin karena… di dunia yang penuh api ini, satu-satunya hal yang terasa hidup… hanyalah kau.”
Suara angin bertiup kencang. Ombak pecah lebih besar, memercik ke kaki mereka. Yura mundur selangkah, merasa napasnya mulai berat. Bukan karena takut saja, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti dalam tatapan Mark.
Pria itu mendekat lagi, jaraknya kini hanya sejengkal. “Aku tidak akan berbohong, Dokter. Aku bisa memerintahkan pasukanku menghancurkan pos medis kapan saja. Tapi aku tak lakukan itu. Kenapa? Karena kau ada di sana. Kau pikir itu kebetulan?”
Yura terdiam, jantungnya berdetak kencang. “Jadi… apa maksudmu? Aku tawananmu? Atau… apa?”
Mark menyentuh dagunya dengan jari, lembut tapi tegas, memaksa matanya menatap balik. “Kau bukan tawanan. Tapi kau… milikku. Setidaknya sampai perang ini selesai. Dan… setelahnya.”
Ombak menghantam lebih keras, membuat mereka berdua basah hingga lutut. Yura mencoba menepis tangannya, tapi Mark menahan lembut, tatapannya tak bergeser.
Senja berubah menjadi ungu gelap, matahari perlahan tenggelam di horizon.
“Dengarkan aku baik-baik, Yura,” suaranya rendah, hampir berbisik, tapi tegas. “Besok Farhan akan menyerang. Darah akan membanjiri tanah ini. Dan aku tidak ingin kau ada di tengahnya. Malam ini… nikmati laut ini. Bangkai kapal ini. Dunia sunyi ini. Karena besok… dunia tak akan seindah ini lagi.”
---
Matahari sepenuhnya tenggelam, menyisakan bulan pucat di langit. Ombak lebih tenang, dan pantai tampak seperti dunia lain—jauh dari perang.
Mark duduk di atas potongan lambung kapal, sementara Yura berdiri menatap laut.
Suasana sepi, hanya suara burung laut dan desiran ombak. Tapi ketegangan tetap ada, menggantung di antara mereka.
Mark akhirnya berdiri, mendekat pelan, langkahnya nyaris tak terdengar di pasir. Ia berhenti tepat di belakang Yura, cukup dekat hingga Yura bisa merasakan hangat napasnya di lehernya.
“Kau gemetar,” bisiknya.
“Aku kedinginan,” jawab Yura cepat, meski ia tahu bukan itu alasannya.
Mark tersenyum tipis, meski Yura tak melihatnya. Ia meraih mantel panjang dari pundaknya, menyelimutkannya ke tubuh Yura. Mantelnya tebal, masih hangat dari tubuh Mark sendiri. “Sekarang?”
Yura terdiam, menggenggam ujung mantel. “Terima kasih…”
Mark berdiri di sisinya, menatap laut bersamanya. “Aku tak bisa menjanjikan dunia ini akan tenang. Tapi malam ini… aku bisa memastikan kau tak mendengar teriakan perang, hanya suara ombak.”
Beberapa jam kemudian, Mark membawa Yura kembali ke pos medis sebelum fajar. Tak ada seorang pun yang menyadari kepergian mereka. Saat mereka tiba di tepi hutan, Mark berhenti, menatapnya untuk terakhir kali malam itu.
“Jangan bilang siapa pun kau bersamaku. Bukan Kenzi. Bukan Farhan. Bukan siapa pun. Besok… dunia akan kacau lagi. Tapi ingat, Dokter,” matanya berkilau dingin, suara rendahnya menusuk. “Tidak peduli siapa yang menang perang ini… kau tetap milikku.”
Tanpa menunggu jawaban, Mark menghilang ke dalam kegelapan hutan, langkahnya senyap.
Yura berdiri kaku di tepi pos, jantungnya berdegup liar. Ia tak tahu apakah ia takut, marah… atau terperangkap oleh sesuatu yang lebih berbahaya dari perang itu sendiri.
Di kejauhan, dari balik pepohonan, mata hijau itu berkilau sekali lagi, mengawasinya dalam diam, sebelum akhirnya menghilang bersama kabut.
\=\=\=\=\=
Yura berdiri di meja operasi, sarung tangan terlumuri darah, matanya fokus pada luka seorang prajurit yang tertembak di pinggang. Napasnya berat, tapi tangannya tetap stabil. Sementara itu, di pojok ruangan, Mina berdiri dengan ekspresi tak terbaca, mengamati setiap gerakannya dengan tatapan tajam yang terselubung.
Begitu operasi selesai, Yura menarik sarung tangannya, menyandarkan tubuhnya pada meja logam, mencoba mengatur napas.
Fara masuk, menyerahkan secangkir teh panas. “Ambil napas dulu, Ra. Kau sudah tiga operasi berturut-turut.”
Yura hanya tersenyum lemah. “Tidak bisa istirahat terlalu lama. Masih banyak yang butuh pertolongan.”
Fara menatapnya khawatir, tapi sebelum sempat berkata lebih jauh, Mina mendekat. Senyumnya tipis, tapi matanya dingin. “Yura, bisa bicara sebentar? Di luar.”
Mina berdiri di bawah bayangan tiang bendera yang basah, memandang Yura dengan ekspresi setengah serius, setengah sinis.
“Yura,” suaranya rendah, hampir berbisik, “kau tahu kan, pos ini bukan tempat yang aman? Bukan hanya karena perang, tapi karena… orang-orangnya.”
Yura mengernyit, menyilangkan tangan. “Apa maksudmu?”
Mina melangkah lebih dekat. “Kau terlalu menonjol. Terlalu… dipercaya semua orang. Tentara, perwira, bahkan Kenzi.” Nama terakhir itu ia ucapkan dengan nada yang terasa menggigit. “Dan di tempat seperti ini, menonjol bukan hal baik. Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang terlalu bersinar, kan?”
Yura menatapnya tajam. “Kalau kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan saja, Mina. Jangan berputar-putar.”
Senyum Mina melebar sedikit, meski tidak ramah. “Aku hanya… memperingatkanmu. Dunia ini bukan rumah sakit kota yang bersih. Di Namura, siapa pun bisa menjadi musuhmu. Bahkan… sesama dokter.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments