BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN

Sejak malam Amara mengucapkan “ya”, hidupnya berubah drastis. Rumah kecil keluarganya kini didatangi kurir bank yang membawa bukti pelunasan utang. Ayahnya mendadak bisa tidur nyenyak, bahkan bernyanyi kecil saat menyapu halaman. Ibunya pun lega, meski wajahnya sering masih murung ketika menatap Amara.

Namun bagi Amara, setiap pagi bagai mimpi yang bukan miliknya. Ia terjaga dengan rasa asing, seakan sedang menjalani hidup orang lain.

Pagi itu, sebuah mobil hitam kembali menjemputnya. Kali ini sopir pribadi Bagas yang datang. “Nona Amara, Pak Bagas meminta Anda ikut ke rumah untuk persiapan.”

Amara hanya mengangguk, lalu pamit pada Ibu. “Aku pergi dulu, Bu.”

Ibu memeluknya erat. “Nak, apa pun yang terjadi, jangan lupakan dirimu sendiri.”

Rumah megah keluarga Atmadja menyambutnya lagi, kali ini dengan kesibukan berbeda. Beberapa perancang busana masuk membawa sketsa gaun, perias wajah memamerkan palet warna, dan konsultan pernikahan sibuk membuka buku catatan tebal.

Amara duduk di kursi panjang, merasa dirinya seperti boneka yang akan dipakaikan kostum. Salah satu perancang menunjukkan gaun putih sederhana dengan hiasan renda di bagian lengan. “Bagas bilang Anda suka yang tidak terlalu mewah. Kami buatkan yang elegan, tapi tetap sederhana.”

Amara menatap gaun itu kosong. “Baik.”

Meylani muncul dari tangga atas, dengan senyum sinis. “Sederhana sekali untuk ukuran istri keluarga Atmadja. Kau yakin bisa berdiri di sampingnya tanpa membuat orang tertawa?”

Para perias pura-pura sibuk, tapi jelas mereka mendengar. Amara menelan rasa perih di dadanya, memilih diam.

“Cukup, Meylani,” suara Bagas terdengar dari ruang tengah. Langkahnya mantap, wajahnya dingin tapi berwibawa. “Aku sudah bilang, aku yang memilih. Gaun sederhana pun tidak akan menurunkan martabatku.”

Meylani mendengus, lalu berbalik meninggalkan ruangan.

Amara mengangkat wajah, menatap Bagas. “Kenapa kau tetap memilihku, meski semua orang menolak?”

Bagas menatapnya singkat. “Karena aku tidak peduli pada pendapat mereka.” Ia lalu beralih pada konsultan. “Pastikan semuanya selesai dalam seminggu.”

Satu minggu. Kata-kata itu menampar kesadaran Amara. Hidupnya benar-benar akan berubah hanya dalam tujuh hari.

Kabar pernikahan itu semakin luas. Media menulis judul-judul sensasional: Konglomerat Atmadja Akan Nikahi Sahabat Anak Perempuannya. Foto Amara diambil diam-diam ketika keluar dari kampus, wajahnya terpampang di artikel daring.

Di koridor kampus, bisikan semakin tajam. “Itu dia yang mau jadi ibu tiri sahabatnya sendiri.”

“Berani sekali ya, pasti demi harta.”

“Kasihan Selvia.”

Amara berusaha menahan kepala tetap tegak, tapi setiap kata itu seperti batu yang dilemparkan ke dadanya.

Selvia tidak lagi menghubunginya. Semua pesan yang dikirim Amara tidak pernah dijawab. Persahabatan bertahun-tahun runtuh begitu saja.

Suatu malam, Amara duduk di balkon kamarnya. Angin membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Davin.

“Aku dengar kau sudah setuju. Amara, pikirkan lagi. Kau tidak perlu melakukan ini. Aku bisa menolongmu.”

Air mata Amara jatuh tanpa ia sadari. Jari-jarinya menari di layar. “Semua sudah terlambat, Vin. Aku tidak bisa mundur.”

“Kalau begitu, biarkan aku tetap di sisimu. Aku tidak akan diam melihatmu terjebak.”

Amara menatap layar lama sekali. Sebagian hatinya ingin meraih kembali tangan Davin, tapi kenyataan sudah terlanjur ia pilih. Ia hanya menjawab singkat, “Jangan cari aku. Ini pilihanku.”

Ia mematikan ponsel, menengadah pada langit yang kelam.

Hari-hari berlalu cepat. Gaun sudah jadi, undangan sudah dicetak, gedung sudah dipesan. Bagas bergerak seakan ini proyek bisnis, bukan pernikahan. Semua teratur, semua rapi, semua dingin.

Malam sebelum hari pernikahan, Amara dipanggil ke ruang kerja Bagas. Ruangan luas dengan rak buku tinggi dan aroma kayu mahal.

“Duduk,” katanya singkat.

Amara duduk, tangannya meremas rok.

“Mulai besok, hidupmu akan berubah. Akan banyak orang yang mengincarmu, memfitnahmu, mencoba menjatuhkanmu. Kau harus siap.”

Amara menatapnya. “Kenapa aku merasa ini bukan pernikahan, tapi perang?”

Bagas mengangkat alis. “Karena memang begitu.”

Ia menyodorkan sebuah dokumen tambahan. “Ini kontrak perlindungan. Semua aset keluargamu aman. Kau tidak perlu khawatir lagi.”

Amara menatap kertas itu, lalu menatap Bagas. “Apa kau pernah memikirkan perasaanku? Tentang bagaimana aku harus kehilangan sahabat, menghadapi kebencian orang, menikah dengan pria yang bahkan bukan pilihanku?”

Untuk pertama kali, wajah Bagas berubah. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab. “Tidak. Karena aku tidak terbiasa memikirkan perasaan. Aku terbiasa memikirkan solusi.”

Air mata Amara menetes, tapi ia cepat menyekanya. Ia berdiri. “Kalau begitu, mulai besok, aku hanya solusi bagimu. Bukan istri.”

Bagas tidak menahan. Ia hanya menatap punggung Amara hingga pintu tertutup.

Hari pernikahan tiba.

Gedung pernikahan dipenuhi bunga putih dan lampu kristal. Wartawan berbaris di luar, kamera siap menyorot. Undangan dari kalangan pejabat, pengusaha, hingga selebriti hadir.

Amara berdiri di ruang rias, mengenakan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Wajahnya dipoles sempurna, tapi matanya menyimpan badai.

Ibu masuk, menatapnya dengan air mata. “Kau cantik sekali, Nak.”

Amara memeluk ibunya erat. “Bu, doakan aku kuat.”

“Selalu,” bisik Ibu.

Pintu terbuka. Seorang panitia memberi isyarat. “Waktunya.”

Amara menarik napas panjang, lalu melangkah keluar. Musik mengalun lembut, tamu-tamu berdiri. Di ujung lorong, Bagas menunggunya dengan wajah teguh.

Setiap langkah terasa berat, tapi ia terus berjalan. Sorot lampu kamera menyilaukan, suara bisik-bisik menusuk telinga. Namun ia menatap lurus ke depan, pada lelaki yang kini menjadi takdirnya.

Ketika akhirnya berdiri di samping Bagas, penghulu membuka acara. Suara lantang memimpin ijab kabul, dan dengan sekali ucap, hidup Amara resmi terikat pada pria yang usianya dua kali lipat dirinya.

Tepuk tangan menggema. Senyum tamu-tamu terlihat, kilatan kamera tak berhenti.

Namun di dalam hati Amara, hanya ada satu kalimat yang bergema: Aku bukan lagi diriku yang dulu.

Tepuk tangan yang memenuhi gedung masih menggema di telinga Amara bahkan setelah ijab kabul selesai. Ia menatap tangannya yang kini berhias cincin emas sederhana. Dunia luar bersorak, tetapi dalam dirinya hanya sunyi.

Usai prosesi, para tamu berbaris memberi selamat. Senyum yang mereka suguhkan terasa palsu, seolah sedang menonton sandiwara yang menghibur sekaligus mengejutkan. Beberapa menyalami Bagas dengan penuh hormat, tapi menatap Amara dengan rasa ingin tahu bercampur sinis.

“Cantik sekali pengantin barunya, Pak Bagas,” ujar seorang pejabat setengah berbisik. “Beruntung sekali.”

Bagas hanya mengangguk singkat. Ia memegang tangan Amara seolah memastikan gadis itu tetap tegak.

Di sisi lain, Selvia berdiri dengan wajah pucat. Ia datang bersama keluarga besar, namun sejak awal tak sekali pun menatap Amara. Ketika pandangan mereka akhirnya bertemu, hanya ada kebencian dingin yang menyayat. Amara ingin menghampirinya, tapi langkah kakinya terkunci.

Meylani mendekat sambil tersenyum tipis. “Selamat ya, Amara. Semoga kau kuat. Menjadi bagian dari keluarga ini bukan hanya soal cincin di jari, tapi soal bertahan hidup.”

Amara terdiam. Ia tahu sindiran itu bukan ucapan basa-basi, melainkan ancaman yang halus.

Selesai resepsi, Amara dibawa ke kamar pengantin di rumah besar keluarga Atmadja. Kamar itu luas, dengan ranjang megah dan tirai panjang menjuntai ke lantai. Namun bagi Amara, semua itu terasa asing.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap gaun pengantinnya yang kini sudah terasa berat. Kamar hening, hanya terdengar detak jam dinding yang lambat.

Pintu terbuka, Bagas masuk dengan setelan formal yang sudah ia longgarkan. Wajahnya tetap dingin, tapi suaranya terdengar lebih pelan.

“Semua sudah selesai. Mulai malam ini, kau resmi jadi istriku.”

Amara mengangkat wajah, matanya basah. “Apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan padaku? Hidupku berubah dalam semalam. Aku kehilangan sahabatku, aku jadi bahan gosip, dan semua orang memandangku dengan hina.”

Bagas berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapannya. “Aku tahu. Tapi keputusan sudah diambil. Kau harus kuat.”

“Kenapa aku?” Amara mendesah. “Kenapa bukan orang lain?”

“Karena hanya kau yang berani menatapku dan tetap berdiri,” jawab Bagas tenang. “Itu cukup bagiku.”

Amara menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan. “Aku tidak yakin bisa bertahan.”

Bagas menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang ranjang. “Kau tidak sendirian. Aku akan melindungimu, meski caraku mungkin tak pernah membuatmu nyaman.”

Hening kembali merayap di kamar megah itu.

Keesokan harinya, media nasional penuh dengan berita pernikahan mereka. Judul-judul bertebaran: Konglomerat Bagas Atmadja Nikahi Sahabat Putrinya Sendiri. Foto Amara dalam gaun putih tersebar luas, memenuhi portal berita dan media sosial.

Di kampus, gosip semakin keras. Banyak mahasiswa membicarakan Amara seolah ia tidak duduk di tengah mereka. Beberapa teman lama memilih menjauh, takut terseret kontroversi.

Amara berjalan dengan kepala tertunduk, tetapi di dalam dirinya ada bara kecil: kemarahan yang mulai tumbuh, meski masih tertutup oleh rasa takut.

Sore itu, Davin menghampirinya di gerbang kampus. “Aku lihat beritanya. Kau benar-benar melakukannya.”

Amara menatapnya dengan mata lelah. “Aku tidak punya pilihan.”

“Ada selalu pilihan, Amara,” Davin membalas dengan nada getir. “Tapi kau memilih jalan tersulit. Jika suatu saat kau tidak sanggup lagi, carilah aku. Aku tidak akan kemana-mana.”

Amara tidak menjawab. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Davin dengan rasa hampa.

Malam kedua setelah pernikahan, Amara duduk di balkon rumah besar Atmadja. Angin malam membawa aroma bunga dari taman luas, tapi bagi Amara semuanya hanya terasa sepi.

Selvia belum sekali pun bicara dengannya. Meylani semakin sering melontarkan sindiran. Para pelayan memperlakukannya sopan, namun dingin.

Bagas datang, berdiri di samping balkon. Ia menatap langit malam tanpa bicara beberapa saat.

“Aku tahu kau tidak bahagia,” ucapnya akhirnya. “Tapi kau sudah memilih. Bertahanlah. Waktu akan menjawab sisanya.”

Amara menoleh, menatap wajah pria itu dalam cahaya bulan. “Bertahan? Kau kira itu mudah?”

“Tidak,” jawab Bagas singkat. “Tapi kau akan belajar.”

Amara terdiam, memalingkan wajah. Malam itu, ia sadar: pernikahan ini bukan akhir dari penderitaan, melainkan awal dari perjalanan panjang yang penuh badai.

Dan di dalam hatinya, tekad kecil mulai tumbuh. Jika ia memang harus menjalani ini, ia tidak akan hanya jadi pion. Ia akan menemukan cara untuk tetap berdiri—meski harus melawan semua orang, termasuk suaminya sendiri.

Episodes
1 BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2 BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3 BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4 BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5 BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6 BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7 BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8 BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9 BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10 BAB 10 FITNAH PERTAMA
11 BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12 BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13 BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14 BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15 BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16 BAB 16 API DI KAMPUS
17 BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18 BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19 BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20 BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21 BAB 21 BAYANGAN BARU
22 BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23 BAB 23 ANCAMAN BARU
24 BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25 BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26 BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27 BAB 27 DI RUANG SIDANG
28 BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29 BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30 BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31 BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32 BAB 32 JERAT HUKUM
33 BAB 33 KURSI PANAS
34 BAB 34 BAYANGAN BARU
35 BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36 BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37 BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38 BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39 BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40 BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41 BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42 BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43 BAB 43 REKENING BAYANGAN
44 BAB 44 BUKTI GELAP
45 BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46 BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47 BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48 BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49 BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50 BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51 BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52 BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53 BAB 53 SIDANG GUGATAN
54 BAB 54 BUKTI PALSU
55 BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56 BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57 BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58 BAB 58 JERAT FITNAH
59 BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60 BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61 BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62 BAB 62 AIR MATA PALSU
63 BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64 BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65 BAB 65 JEJAK ASLI
66 BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67 BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68 BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69 BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70 BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71 BAB 71 DRAMA BESAR
72 BAB 72 SABOTASE
73 BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74 BAB 74 SAKSI KUNCI
75 BAB 75 DUA JALUR
76 BAB 76 KLARIFIKASI
77 BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78 BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79 BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80 BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81 BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82 BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83 BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84 BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85 BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86 BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87 BAB 87 PERANG DI LAYAR
88 BAB 88 BATU DI JALAN
89 BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90 BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91 BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92 BAB 92 SABOTASE
93 BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94 BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95 BAB 95 KEPUNGAN
96 BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97 BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98 BAB 98 INTIMIDASI
99 BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100 BAB 100 SIMBOL
101 BAB 101 ADU DOMBA
Episodes

Updated 101 Episodes

1
BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2
BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3
BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4
BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5
BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6
BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7
BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8
BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9
BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10
BAB 10 FITNAH PERTAMA
11
BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12
BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13
BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14
BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15
BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16
BAB 16 API DI KAMPUS
17
BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18
BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19
BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20
BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21
BAB 21 BAYANGAN BARU
22
BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23
BAB 23 ANCAMAN BARU
24
BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25
BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26
BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27
BAB 27 DI RUANG SIDANG
28
BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29
BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30
BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31
BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32
BAB 32 JERAT HUKUM
33
BAB 33 KURSI PANAS
34
BAB 34 BAYANGAN BARU
35
BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36
BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37
BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38
BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39
BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40
BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41
BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42
BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43
BAB 43 REKENING BAYANGAN
44
BAB 44 BUKTI GELAP
45
BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46
BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47
BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48
BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49
BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50
BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51
BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52
BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53
BAB 53 SIDANG GUGATAN
54
BAB 54 BUKTI PALSU
55
BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56
BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57
BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58
BAB 58 JERAT FITNAH
59
BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60
BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61
BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62
BAB 62 AIR MATA PALSU
63
BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64
BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65
BAB 65 JEJAK ASLI
66
BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67
BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68
BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69
BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70
BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71
BAB 71 DRAMA BESAR
72
BAB 72 SABOTASE
73
BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74
BAB 74 SAKSI KUNCI
75
BAB 75 DUA JALUR
76
BAB 76 KLARIFIKASI
77
BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78
BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79
BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80
BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81
BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82
BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83
BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84
BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85
BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86
BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87
BAB 87 PERANG DI LAYAR
88
BAB 88 BATU DI JALAN
89
BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90
BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91
BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92
BAB 92 SABOTASE
93
BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94
BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95
BAB 95 KEPUNGAN
96
BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97
BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98
BAB 98 INTIMIDASI
99
BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100
BAB 100 SIMBOL
101
BAB 101 ADU DOMBA

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!