BAB 5. SEBUAH RASA 2

Pagi itu udara sekolah masih dingin. Embun belum sepenuhnya hilang ketika Arunika turun dari motor ayahnya.

"Assalamualaikum," ucapnya pelan sambil mencium punggung tangan sang ayah.

"Waalaikumussalam. Hati-hati di sekolah," pesan Purnomo, lalu berbalik ke arah perusahaannya.

"Pagi, Mba Arunika!" sapa Mang Yatmo, penjaga sekolah, sambil mengangkat topi lusuhnya.

"Pa… pagi, Pak," balas Arunika lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam deru motor yang melintas di gerbang.

Mang Yatmo hanya tersenyum maklum. Ia sudah hapal kalau anak itu pendiam, butuh waktu lama untuk bisa akrab. Walau sudah hampir setahun bersekolah di sini, Arunika tetap seperti embun yang sulit digenggam—ada, tapi jarang benar-benar terasa kehadirannya bagi kebanyakan orang.

Langkah Arunika menuju kelas selalu pelan. Bukan karena malas, tapi karena tak ingin jadi pusat perhatian. Begitu masuk, ia langsung melihat beberapa teman perempuan sudah duduk bergerombol—Hesti, Dila, dan dua lainnya—tertawa kecil sambil sesekali melirik ke arahnya.

Arunika mengabaikan. Ia duduk di kursinya, mengeluarkan buku, dan mulai membuka halaman yang ingin ia baca sebelum pelajaran. Tapi belum sempat matanya fokus, buku itu tiba-tiba dirampas.

"Eh!" seru Arunika kaget.

"Serius amat sih, si bisu ini," goda Dila dengan nada meremehkan. Tawa kecil dari kelompoknya terdengar menyusul.

Arunika hanya diam, memeluk kedua tangannya sendiri. Lidahnya seperti terkunci. Ia ingin bicara, tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.

"Kembalikan, Dila!" Suara berat dan tegas memotong udara kelas. Semua kepala menoleh.

Pak Edi, guru bahasa Indonesia sekaligus pemilik sekolah, berdiri di ambang pintu. Sorot matanya tajam, postur tubuh tegap, dan suara rendahnya membuat ruangan terasa lebih sempit.

Dila menelan ludah, lalu cepat-cepat mengembalikan buku itu ke meja Arunika.

"Ingat," suara Pak Edi terdengar mengancam.

"Ada kamera tersembunyi di sekolah ini. Bapak tidak akan segan memberi teguran dan hukuman pada siapa pun yang melanggar."

Hesti dan kawan-kawannya langsung menunduk, pura-pura sibuk membuka buku. Mereka tahu, walau orang tua mereka berpengaruh, Pak Edi lebih berkuasa di wilayah sekolah ini. Tak ada yang berani main-main di hadapannya.

Pak Edi berjalan masuk, berdiri di dekat Arunika.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.

Arunika menggeleng. "T-tidak, Pak," jawabnya pelan.

"Tidak, Pak… apa?" suara Pak Edi sedikit menekan.

"Tidak… apa-apa, Pak," jawab Arunika, kali ini sedikit lebih keras, meski masih seperti bisikan.

Pak Edi mengangguk. "Nanti ikut saya ke ruang guru sebentar, ya!' suruhnya Arunika hanya mengangguk pelan.

Di ruang guru, suasananya lebih sepi. Hanya ada suara kipas angin yang berdecit pelan.

"Duduk, Arunika!" mulai Pak Edi

Arunika duduk di kursi di hadapan guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelasnya.

"Kamu ini anak pintar. Nilaimu bagus. Tapi kalau kamu diam saja setiap dibully, orang akan pikir kamu lemah. Mengerti?"

Arunika menunduk. "Saya… nggak mau bikin ribut, Pak!"

"Kadang ribut itu perlu, kalau untuk membela diri. Ingat, membela diri bukan berarti berkelahi. Tapi menunjukkan kalau kamu punya harga diri," jelas Pak Edi.

Arunika terdiam. Kata-kata itu menancap di pikirannya. Membela diri bukan berarti melawan segalanya … hanya saat tubuh dan harga dirinya disakiti.

"Kamu nggak harus berubah jadi orang yang cerewet. Tapi setidaknya, kalau ada yang ganggu kamu, katakan: 'Jangan perlakukan saya seperti itu.' Dengan suara yang cukup keras untuk didengar. Bisa?"

Arunika mencoba tersenyum tipis.

"Saya… akan coba, Pak!" sahutnya walau masih dengan nada pelan.

Pak Edi menepuk bahunya pelan. "Itu anak pintar!" pujinya.

Saat keluar dari ruang guru, Arunika berjalan menuju kelas sambil memikirkan kata-kata tadi. Pandangannya fokus ke lantai, sampai sebuah suara memanggilnya.

"Run!"

Arunika menoleh. Raka berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan penuh buku.

"Kamu dari ruang guru ya?" tanyanya dengan mata tetap menatap mata bening Arunika.

Arunika mengangguk. "I-iya."

Raka mengamati wajahnya. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan? Tadi kata Mang Yatmo, Dila ambil buku kamu?"

"Nggak… apa-apa," jawab Arunika, kali ini sedikit lebih mantap suaranya.

Raka tersenyum tipis. "Bagus. Tapi kalau ada yang ganggu lagi, bilang sama aku, ya."

Arunika menunduk, pipinya mulai memanas.

"Oh ya, ini …," Raka menggeser sebagian buku di tangannya dan mengeluarkan satu buku novel milik Arunika.

"Novel kamu, ketinggalan di perpustakaan kemarin," ujar Raka.

Arunika menerimanya hati-hati, buku novel dengan judul Emosi Berjilid. Sebuah novel yang penuh dengan kontroversi dan air mata.

"Terima kasih," ucap Arunika berbisik.

Raka menatapnya sebentar, lalu tersenyum lebar.

"Aku suka sama cewek yang bilang terima kasih!"

Kalimat itu seperti bom kecil yang meledak di dada Arunika. Degup jantungnya melonjak, dan ia buru-buru melangkah masuk kelas, takut Raka mendengar napasnya yang mulai tak teratur.

Sepanjang pelajaran, Arunika sesekali mencuri pandang ke arah Raka. Kali ini, Raka duduk dua bangku di depannya, sesekali membalikkan badan untuk memberikan senyum singkat atau melempar tatapan iseng. Hal-hal kecil itu membuat Arunika merasa seperti ada dunia lain yang hanya mereka berdua pahami.

Istirahat berlangsung cepat, Arunika hanya membawa bekal satu takut roti dengan selai strawberry. Ia memakannya dalam kelas dengan cepat.

"Uhuk!" Arunika sedikit tersedak.

Sebuah tangan menjulur menyerahkan satu tutup botol kecil berisi air. Arunika tak melihat siapa yang memberi, tapi ia langsung mengambilnya dan meminum isinya.

"Hati-hati kalau makan!" ujar suara yang Arunika baru kenali.

Ia menatap pemberi air minum, sosok remaja laki-laki dengan lesung pipit. Arunika hendak membuka mulut ingin mengucapkan terimakasih. Tapi bel berbunyi. Remaja itu langsung berlari meninggalkannya.

Arunika hanya diam, lalu semua anak masuk dalam kelas termasuk Raka. Raka menatapnya tajam, Arunika langsung menunduk, pura-pura menggaruk kakinya yang tak.gatal.

Ketika jam pelajaran berakhir, Arunika berkemas pelan. Raka menunggu di pintu, pura-pura berbicara dengan temannya. Saat Arunika lewat, Raka menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang.

"Hati-hati pulang," ucapnya singkat.

Arunika mengangguk, melangkah cepat keluar kelas. Tapi senyum kecil itu tetap bertahan di bibirnya sampai ia tiba di gerbang sekolah.

Sore itu di rumah, Arunika duduk di meja belajarnya. Buku-buku pelajaran terbuka, tapi pikirannya masih terjebak di dua hal: kata-kata Pak Edi dan senyum Raka.

Dua hal berbeda, tapi entah kenapa, keduanya membuatnya merasa… lebih berani.

Lebih berani untuk membela diri.

Dan mungkin, lebih berani untuk membuka hatinya sedikit. Arunika melupakan sosok.yang memberinya air minum saat ia tersedak tadi.

Ketika makan malam, Purnomo kembali mengingatkan putrinya untuk belajar serius.

"Ingat Nak, universitas yang kamu tuju itu bukan universitas yang biasa. Selain harus banyak uang, otakmu juga harus kuat!" ujarnya memperingati.

"Ayah!"tegur sang istri.

"Bunda, jangan membuat putri kita lemah. Dia harus kuat, kita tak selamanya bisa menjaganya!" seru Purnomo tak mau kalah.

Eka hanya bisa menghela nafas panjang, padahal selama ini yang lebih sering memanjakan serta membela kelakuan Arunika adalah suaminya sendiri.

"Iya Ayah, Bunda mengerti!" angguk Eka mengalah.

bersambung.

Next?

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ

siapa lelaki bermata sipit itu?

2025-09-08

0

nurry

nurry

lanjut lagi kak Maya 🙏💪❤️

2025-08-16

2

Deyuni12

Deyuni12

next

2025-08-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!