POV NENI
Sejak beberapa hari yang lalu aku merasa tidak enak badan. Kepalaku pusing dan sedikit mual. Badanku terasa sangat berat seolah ada beban di punggungku. Dan semakin hari kondisiku semakin buruk.
Aku sudah minum obat tapi tak kunjung membaik. Molly teman sekamarku sudah memintaku untuk tidak masuk kerja hari ini. Tapi aku bersikeras untuk masuk.
Entah apa yang ada di dalam otakku. Bagaimana bisa aku memilih tetap bekerja dengan kondisi seperti ini. Aku tidak bisa fokus. Pandanganku kabur dan tidak jelas.
Melya sudah memintaku untuk istirahat. Tapi aku mengabaikan sarannya. Aku senang dia menyapaku. Beberapa hari ini hubunganku dengannya tidak cukup baik.
Sejak terakhir aku mendengar pembicaraannya di telpon, kami hampir tidak pernah mengobrol lagi. Aku takut. Aku takut dia marah padaku karena aku tidak sengaja menguping pembicaraannya.
Melya orang yang ramah dan baik hati. Dan jika sudah akrab kau akan tahu bahwa dia orang yang perhatian.
Meski begitu dia orang yang sedikit tertutup untuk hal-hal pribadi. Dia mungkin punya beberapa rahasia yang tidak ingin orang lain tahu, karena itu terkadang dia berbohong. Dia juga tidak suka orang lain mengkhawatirkannya.
Karena itu aku takut dia akan marah saat dia tahu aku menguping pembicaraannya. Di matanya aku bukanlah orang yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasianya.
Aku ingin minta maaf. Tapi kata itu seperti tersangkut di tenggorokan. Akhirnya tanpa sadar aku jadi menghindarinya.
Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Meski AC ruangan sudah dimatikan tubuhku tetap menggigil. Aku menangkap sosok wanita yang berdiri ditengah ruangan tak jauh dariku.
Pandanganku buram. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Aku mengucek mata. Mataku berair karena suhu tubuhku meningkat. Penglihatanku semakin kabur.
Wanita yang masuk shift sore ini hanya 5 orang. Selain aku, Melya, dan Alea, kedua orang sisanya memiliki rambut pendek. Dan aku tak ingat ada anak baru yang masuk hari ini.
Jadi siapa wanita ini? Pikiranku bertanya-tanya gelisah. Wanita itu sadar aku memperhatikannya. Dia berjalan menghampiriku. Aku memalingkan muka darinya dan pura-pura tidak melihat. Namun dia semakin mendekat hingga berdiri tepat di sampingku.
Aku ingin berteriak ataupun memanggil. Tapi mulutku seperti dilem tidak bisa bergerak. Aku pura-pura tidur. Berharap ini hanya ilusiku saja karena sakit. Namun sosok itu belum juga beranjak pergi.
Aku harus bagaimana? Perutku sakit seperti dikocok. Aku berharap ada orang lain yang melihat wanita ini di dekatku lalu menghampiriku. Tapi, bagaimana kalau hanya aku yang melihatnya? Ketakutan ini membuatku tercekat tak bisa bernafas. Sakit perutku semakin menjadi.
"Nen?" Suara yang lembut dan akrab menyapaku. Aku bangun dan melihat Melya berdiri di dekatku. Aku meringis merasakan sakit di perutku.
Melya mengukur suhuku dengan menempelkan telapak tangannya di keningku. Lalu dia pergi mengambil obat dan segelas air hangat untukku. Dia tidak akan beranjak pergi sebelum memastikan aku meminum obatnya.
Setelah itu dia menyuruhku istirahat, dia kembali ke tempatnya. "Tidurlah lagi. Kalau sudah waktunya pulang aku akan bangunkan."
Perutku semakin melilit. Obatnya belum bereaksi. Aku ingin ke toilet, tapi takut kalau sendirian. Aku menengok ke Alea dan Melya, mereka berdua terlihat sibuk menerima panggilan telepon. Aku tidak ingin mengganggu mereka.
Aku melihat Lala keluar ruangan. Aku mengikutinya karena kupikir dia akan ke toilet.
"La!" panggilku saat memasuki toilet. Memastikan lagi dia ada di dalam.
" Hemm." Lala menyahut. Toilet tengah tertutup. Aku mengambil kamar kecil paling ujung diantara tiga kamar toilet yang berbaris.
Saat aku sudah mau selesai aku baru sadar kalau tisu di tempatku habis.
"La, disana masih ada tisu?" tanyaku ke Lala yang kebetulan kamar toiletnya ada di sebelahku.
"He-em " sahutnya.
"Bagi tisu, La. Di tempatku habis." pintaku.
Kamar-kamar kecil ini memiliki sekat dengan celah sedikit di bawahnya. Dindingnya tidak menyatu dengan lantai jadi lebih seperti menggantung.
Kami sering menggunakan celah yang ukurannya sejengkal itu untuk saling berbagi barang seperti tisu.
Tak lama, sebuah tangan menjulur ke kamarku dengan segulung tisu. Tangan dengan jari yang ramping dan panjang dan kuku-kuku jari yang runcing lebih mirip disebut cakar ketimbang tangan.
"Itu bukan tangan Lala! Jadi, siapa di sebelahku?"
Tangan itu tahu aku tidak menanggapinya. Dia melempar tisunya ke lantaiku. Aku meringkuk ketakutan di dalam. Tapi aku tidak berani keluar. Aku berpikir pemilik tangan itu mungkin sudah menunggu di luar sana.
Aku cuma berharap Neni atau Alea tahu aku tidak di ruangan dan mencariku ke sini.
"Neni! " Aku mendengar suara Melya memanggil namaku. Aku bergegas membuka pintu dan melongok keluar.
Malang, yang kulihat bukan Melya melainkan sosok wanita yang kulihat berdiri di dekat pintu. Rambutnya yang panjang terjuntai ke depan. Aku segera kembali ke dalam ke kamar kecil dan menguncinya.
"Neni! " Aku mendengar suara Melya memanggilku lagi, tapi kali ini diikuti suara cekikikan. Aku sadar itu bukan dia. Aku sudah tertipu. Melya bahkan tidak tahu aku ke toilet.
Aku ingin teriak. Kalau teriak orang orang di dalam mungkin akan datang ke sini. Sayangnya aku terlalu takut. Sampai-sampai suaraku tidak bisa keluar.
Tak lama kemudian lampu toilet mati. Alea dan Melya berpikir aku sudah pulang lebih dulu. Anak-anak yang lain juga berpikir begitu. Tidak ada yang sadar aku keluar ruangan tadi. Tidak ada yang tahu aku terkurung di toilet ini. Pikirku miris.
Handphoneku ada di loker. aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa, dan sepertinya sekarang sudah lobet karena aku lupa mengecas baterainya kemarin malam.
Molly, teman sekamarku, dia bilang akan pergi ke rumah saudaranya dan akan kembali besok pagi. Aku benar-benar sedih dan putus asa. Tidak ada yang sadar. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang akan datang mencariku.
Aku meringkuk. Sementara air mata dan keringatku bercampur membasahi wajahku. Aku menangis terisak-isak. Sudah terlambat untuk menangis tidak ada lagi yang akan mendengar suaraku.
"Aku akan terkurung di sini sampai pagi." Isakku.
\* \* \*
Sementara itu, Molly pulang lebih awal dari kunjungannya ke rumah saudarnya yang ada di luar kota. Mendapati kamar kosan masih gelap. Dia mencoba menghubungi nomor handphone Neni tapi nomor sedang tidak aktif.
Hampir setengah sebelas. Neni bukan orang yang sering pulang telat tanpa memberi kabar. Itulah yang membuat molly risau. Terlebih lagi dia sedang sakit.
Dia sudah meminta bantuan Melya dan Alea. Tadinya dia ingin ikut mencari tapi Melya mencegahnya. Memang betul harus ada orang tetap berjaga disini kalau kalau dia kembali tiba-tiba. Tapi sampai saat ini batang hidungnya tidak muncul juga. Molly menatap handphonenya menunggu kabar dari Alea dan Melya.
"Dimana kamu Nen?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Caramelatte
eyo author hebat! aku mampir🤗 semangat upnya! 💪
2021-01-28
1
Atika Mustika
Aku hadir thor. Bawa like rate n vote
2021-01-13
1
Sekapuk Berduri
semangat 🤗
2021-01-12
1