Monica begadang semalaman, bukan karena kopi susu, melainkan karena kalimat "Kamu yang akan menjadi istri pura-pura saya" yang bergema di kepalanya. Ia terjaga, menatap langit-langit, berharap jawaban jatuh dari sana. Tawaran itu terlalu besar, mengejutkan, dan absurd.
Di satu sisi, ia sangat membutuhkan uang: ayahnya sakit, rumah butuh renovasi, dan ibunya mengeluh soal cicilan kulkas. Di sisi lain, ini bukan tawaran biasa, menyangkut reputasi, harga diri, dan masa depannya. Nikah bohongan dengan bos? Apa kata tetangga, dunia, dan terutama, ibunya?
Pagi itu, di meja makan, ibunya memulai cerita tentang Ratih, tetangga yang akan dilamar setelah dua bulan kenal lewat Facebook. "Kamu kapan, Mon? Jangan kelamaan milih, nanti keburu habis stoknya. Paling nggak, kalau ada duda kaya, nggak masalah lah ya..." kata ibunya.
Monica hampir menyemburkan tehnya. "Bu!" serunya.
"Apa? Mama cuma bilang kalau ada duda mapan, ganteng, punya mobil, rumah sendiri, dan nggak punya anak, ambil aja, Mon! Masa kamu nunggu yang lahir lagi?"
Monica menutup wajahnya. Terlalu tepat. Terlalu mirip Teddy Indra Wijaya. Ini pertanda?
Pukul 10.00, Monica di kafe dekat kantor, mengambil cuti setengah hari untuk berpikir. Amanda, penuh rasa ingin tahu, menunggunya.
"Kamu dipanggil ke ruangan bos kemarin, kan? Terus? Gimana? Dia nembak kamu?" goda Amanda.
Monica melotot. "Nggak lucu, Ndut. Ini serius."
"Aduh... jangan bilang dia suruh kamu pura-pura jadi... istri?"
Monica hampir menjatuhkan sendok garpunya. "Kamu peramal?"
Amanda terkejut. "Serius?! Mon! Ini kayak drama Korea yang kita tonton kemarin! Marry Me for Business!"
"Persis. Bedanya, ini Jakarta Selatan, bukan Seoul. Dan aku bukan aktris utama," gumam Monica.
Amanda berbisik, "Kamu harus terima, Mon! Berapa banyak cewek yang mau jadi sandal jepit Mas Teddy?"
"Ini bukan soal tergoda duit. Ini... soal mental."
Amanda mengangkat alis. "Dan kamu masih punya mental nolak 50 juta per bulan plus apartemen?"
Monica terdiam. Tawaran itu menggiurkan, tapi siapa yang mau jadi istri bohongan? Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Ndut, ini bukan cosplay! Ini hidup gue!"
"Tapi kamu bisa bantu keluarga. Lepas dari omongan tetangga. Bisa... menyelamatkan adik kamu yang nggak sabar nikah."
Kalimat itu mengenai hatinya. Keputusan ini bukan hanya tentang dirinya. Ada keluarga, reputasi, dan Lala.
"Kalau aku setuju, dan gagal... aku bakal jadi bahan ketawa seumur hidup."
Amanda tersenyum. "Tapi kalau berhasil, kamu bisa jadi istri beneran Mas Teddy. Duda keren, sarang duit... Siapa tahu Allah lagi ngasih lewat plot twist."
Monica melihat pesan terakhir Teddy. Tangannya bergetar, ia mengetik: "Saya setuju, Pak. Tapi saya punya syarat." Lalu mengirimnya. Hidup Monica berubah.
Teddy menatap layar ponselnya, ekspresi tak terbaca. Pesan singkat Monica baru saja masuk: "Saya setuju, Pak. Tapi saya punya syarat." Ia bersandar di kursi kulit hitamnya. Ruangan yang biasanya dingin terasa sedikit lebih... hidup. Bibirnya terangkat samar—bukan seringai puas, melainkan lega. Langkah pertamanya berhasil. Ia langsung membalas: "Kita bertemu jam lima sore ini. Saya kirim lokasi."
Monica memandangi ponselnya, jantung berdebar kencang. Kegugupan berubah menjadi campuran deg-degan, panik, dan sedikit bersalah. Ia belum memberitahu siapa pun di rumah, apalagi ibunya.
Pukul 16.30, Monica merapikan diri di toilet kantor. Ia ingin terlihat serius, namun tidak murahan. Pukul 17.00, ia menuju lokasi yang dikirim Teddy—bukan restoran mewah, melainkan café pribadi tersembunyi di Cipete, yang hanya bisa diakses tamu undangan.
"Tempatnya nggak biasa. Kayak... café rahasia mafia," gumam Monica saat melihat pintu kayu besar tanpa papan nama.
Suasana café remang-remang, musik klasik mengalun pelan. Teddy sudah duduk di pojok, mengenakan kemeja hitam sederhana. Aura bosnya tetap kuat.
Monica duduk, mencoba mengatur napas. Teddy menatapnya, lalu berkata pelan, "Saya senang kamu setuju."
Monica mengangguk. "Tapi saya tidak akan setuju tanpa syarat, Pak."
"Tentu."
Monica mengeluarkan kertas berisi lima syaratnya:
1. Pernikahan ini tidak boleh menyentuh urusan fisik. Tidak ada kontak pribadi di luar kepentingan publik.
2. Tidak ada tidur serumah, kecuali di acara luar kota yang memaksa. Dan itu pun kamar terpisah.
3. Tidak ada campur tangan dalam kehidupan pribadi masing-masing di luar ‘peran’ saat tampil di publik.
4. Tidak boleh ada tekanan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang serius setelah kontrak berakhir.
5. Jika sewaktu-waktu saya ingin mundur, saya berhak melakukannya tanpa paksaan dan tanpa intimidasi.
Teddy membaca semuanya dengan tenang, lalu mengangguk. "Saya setuju. Tapi saya juga punya satu syarat tambahan."
Monica menegang. "Apa?"
"Kamu harus tinggal sementara di apartemen yang akan saya sediakan. Jika media ingin memverifikasi hubungan kita, kamu sudah ada dalam ‘lingkungan’ saya."
Monica terkejut, tapi secara logis, permintaan itu masuk akal. "Apartemen itu besar. Ada dua kamar tidur. Kamu bisa pilih satu, dan saya tidak akan ikut campur privasimu," jelas Teddy.
Monica menghela napas. "Saya... akan pertimbangkan itu."
"Kita bisa tulis semua ini dalam kontrak. Akan saya serahkan pada bagian legal."
Mereka terdiam sejenak.
"Monica," suara Teddy lebih pelan, lebih dalam. "Saya tahu ini tidak mudah. Tapi saya akan memastikan kamu tidak dirugikan."
Monica menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sedikit ketulusan di balik sorot mata tajam itu.
"Baik, Pak. Kita jalani sesuai kesepakatan."
"Dan, satu lagi," Monica menambahkan sambil tersenyum tipis, "Kalau suatu hari saya jatuh cinta beneran, dan bukan karena kontrak... itu bukan kesalahan saya, kan?"
Teddy terdiam. Kemudian, dengan tatapan dalam yang sulit ditebak, ia menjawab pelan, "Kalau itu terjadi, mungkin... bukan kamu saja yang akan melanggar kontrak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments