Kiwang terdiam di tengah sawah malam itu, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Bulan menggantung rendah di atas cakrawala, seperti mata diam yang memperhatikan dunia dari kejauhan. Malam begitu sepi, namun di dalam dirinya, segalanya riuh.
Sembilan warna—merah, biru, hijau, putih, kuning, cyan, jingga, ungu, dan emas—berpendar lembut dalam lingkaran tak kasatmata, mengambang di sekitarnya seperti roh penasaran. Bukan cahaya biasa. Ada sesuatu yang purba dan hidup di balik pancarannya.
Namun anehnya... tak satu pun dari warna itu menyentuhnya.
Mereka hanya mengitari, seolah menunggu sesuatu darinya.
Kiwang mengulurkan tangan, perlahan. Cahaya merah bergoyang pelan, tapi tak mendekat. Saat jarinya hampir menyentuh, warna itu bergetar… lalu menghilang. Begitu juga yang lain. Satu per satu warna-warna itu memudar, hingga yang tersisa hanyalah satu: pelangi.
Bukan campuran sembilan warna, tapi cahaya murni yang berisi semuanya. Terlalu aneh untuk dijelaskan, terlalu damai untuk ditakuti. Cahaya itu melayang pelan, lalu... menyatu masuk ke dalam dadanya.
Tubuh Kiwang terhuyung. Napasnya tercekat.
Dada kirinya membakar. Bukan seperti terbakar api, tapi seperti sesuatu yang terkunci dalam dirinya sedang berusaha keluar. Sekilas, ia melihat bayangan lingkaran rune berputar dengan sembilan ruas, masing-masing menyala samar. Lalu lenyap, seperti mimpi yang buyar saat terbangun.
"Apa… itu?" bisiknya sendiri.
Ia jatuh berlutut, tubuh gemetar. Tiba-tiba, suara terdengar di dalam kepalanya—datar, dingin, dan asing.
Suara mekanis. Seperti bisikan mesin dari kedalaman pikirannya sendiri.
> [Sistem Rune diaktifkan…]
Deteksi afinitas: Tidak diketahui.
Status: Terikat pada entitas abnormal.
Penyesuaian awal dimulai…]
Kiwang terdiam. Jantungnya berdegup kencang.
"Siapa kau?" bisiknya ke langit.
> [Proses penyelarasan rune dalam progres… 4%]
Sakit itu meningkat. Simbol samar muncul di lengannya—lingkaran dengan sembilan warna kecil berputar pelan, lalu terserap masuk ke kulitnya. Meninggalkan bekas samar seperti luka bakar… tapi berwarna.
---
Pagi menjelang. Langit pucat menaungi atap-atap rumbia Desa Saraya. Kiwang terbangun di atas jerami tipis di pojok rumah. Tubuhnya masih hangat, dada kirinya terasa berat. Tapi simbol itu menghilang—tak terlihat apa pun di kulitnya. Hanya rasa… ada sesuatu yang kini menempel dalam jiwanya.
Dari dapur, aroma bubur ubi menyambutnya, tapi hambar. Ibunya duduk diam di dekat tungku, menatap api tanpa semangat.
“Sudah bangun?” tanyanya datar, tanpa menoleh.
Kiwang berdiri pelan, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggosok bagian dada yang tadi malam bersinar.
“Aku... tidak apa-apa,” ucapnya.
Ibunya terdiam. Kemudian menghela napas. “Tapi dunia tak melihatmu seperti itu, Ki.”
“Aku melihat sesuatu,” katanya tiba-tiba. “Warna-warna. Di langit. Mereka muncul, seperti… menari. Tapi bukan mimpi. Rasanya nyata.”
Ibunya menoleh, mata tuanya bergetar. Ada keraguan, ada kelelahan.
“Kamu bicara seperti ayahmu. Dulu, sebelum dia—” suaranya tertahan. Ia menghela napas lagi. “Kalau itu benar, maka sembunyikan. Dunia tidak baik pada yang berbeda.”
Kiwang menunduk. Ia tahu maksud ibunya. Bertahan lebih penting dari menjelaskan sesuatu yang tidak akan dipercaya.
---
Di luar, suasana desa berubah. Anak-anak yang mendapat rune berjalan dengan bangga. Di lapangan dekat balai desa, mereka mulai berlatih pengendalian dasar bersama seorang pelatih dari utusan luar.
“Fokus! Rasakan getaran dalam tubuhmu!” seru sang pelatih.
Kiwang berdiri jauh di pinggiran, memperhatikan. Soka memanggil angin hingga membuat helai daun melayang. Damar menciptakan api sebesar kepalan tangan. Alya membentuk bola air kecil dan menahannya di udara.
Salah satu anak lain menoleh ke arah Kiwang dan menyeringai.
“Lihat si Abu-abu datang!”
Tawa kecil terdengar. Kiwang tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa diasingkan. Tapi di dalam hatinya, luka itu tetap menyayat.
---
Menjelang malam, ia kembali ke sawah. Kali ini, ia membawa sebilah pisau kecil dan lentera minyak. Ia duduk di tengah petak kosong, menyalakan lentera, dan menatap api kecilnya.
"Aku tahu kalian ada," katanya pelan. "Apa yang kalian tunggu dariku?"
Tak ada jawaban. Hanya angin.
Tapi kemudian, udara menghangat.
Warna itu kembali. Sembilan cahaya muncul satu per satu, berputar perlahan. Tak menyala secerah semalam, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka tidak pergi. Di tengah-tengah mereka, pelangi itu muncul lagi. Lebih padat. Lebih nyata.
Kiwang memejamkan mata.
> [Sinkronisasi meningkat: 7%…
Lokasi Reruntuhan Awal terdeteksi.
Jalur pertama akan terbuka saat kondisi tertentu terpenuhi.
Status: Tidak Stabil.]
Suara sistem itu kembali.
Kiwang membuka mata. Napasnya berat, tapi matanya mantap.
“Kalau kalian sungguhan ada… tunjukkan caranya. Aku tidak akan mundur.”
---
Keesokan harinya, ia kembali ke hutan kecil di tepi desa. Tempat di mana ayahnya dulu menghabiskan waktu berburu. Di sana, ia pernah melihat reruntuhan batu yang ditelan akar. Waktu itu, ia mengira itu hanya puing tua. Tapi kini… dia merasakannya memanggil.
Langkah Kiwang mantap, meski hatinya gelisah. Ia tahu, sejak upacara itu, jalannya takkan seperti anak-anak lain.
Ia bukan bagian dari sistem biasa.
Tapi mungkin… ia adalah awal dari sistem yang baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🥔Potato of evil✨
Nggak cuma ceritanya saja yang menghibur, karakternya juga sangat asik. Aku jadi terbawa-bawa suasana. Ciyeee haha
2025-08-04
1