Ariana memandangi wajah Sean yang memejamkan mata di sisinya. Matanya menjelajahi seluruh bentuk wajahnya. Garis rahang, bahu, lengan, dada yang naik turun perlahan, aroma alkohol masih samar, Ariana mencoba menghafalnya dalam-dalam di luar kepala.
“Sean…” ucapnya pelan.
Sean bergumam, setengah sadar. “Hmm?”
“Aku ingin tanya satu hal…”
“Apa?”
“Pernahkah kau mencintaiku… walau cuma sebentar atau bahkan sedetik saja?”
Hening, Sean membuka sedikit matanya.
“Tidak.”
Tes
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, Ariana berjanji ini air mata yang terakhir.
“Terima kasih sudah jujur.” Ujar Ariana.
Sean membelakangi Ariana, tidak menyadari betapa sakitnya hati perempuan yang baru saja ia nikmati.
Ariana menoleh memandangi punggung telanjang Sean yang bidang. Harusnya menjadi tempat ternyaman baginya untuk bersandar, tapi ternyata tidak, sampai kapanpun tetap tidak.
“Aku mencintaimu bahkan ketika kau tak pernah melihatku…
Tapi malam ini aku selesai berharap.”
Ariana berdiri di depan pintu kamar dengan mantel biru tua dan syal abu-abu di lehernya. Masih jam 04.00 Wib, Sean akan bangun sekitar dua jam lagi. Ariana menyeret kopernya sebelum pengisi rumah bangun dari tidurnya. Dibawah matany terdapat katong hitam bukti dari tidak menutup mata semalaman. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah rumah tempatnya berpijak selama tiga tahun ini.
“Selamat tinggal Sean…. Hiduplah dengan baik setelah ini, tanpaku.”
Setelah ini, pintu Montgomery tidak akan pernah terbuka lagi untuknya.
***
Mobil yang Ariana sewa berhenti tepat di depan pagar besi hitam setinggi pinggang sebuah rumah sudut komplek kecil yang asri. Rumahnya berukuran kecil tapi cukup luas untuk ditempatinya sendiri, berwarna krem pucat dengan jendela di beberapa area. Ariana menarik napas dalam udaranya segar belum tercemar polusi dan aroma tanah bekas gerimis menyambut Ariana seolah tahu inilah pemilik baru mereka. Di tangan kirinya tergenggam satu kunci rumah, kunci miliknya sendiri.
Ariana berdiri di depan pintu. Mari melangkah menuju masa depan yang lebih indah, milikmu Ariana, hanya milikmu.
Tidak ada supir yang mengantar kemana-mana, tidak ada baju dan tas mewah, tidak ada pesta glamour tengah malam, tidak ada adu kepemilikan, tidak ada intimidasi dan tidak ada Florence memerintah dari lantai atas. Ariana akan memulai hidup baru dengan dirinya yang sebenarnya.
Ia menyelipkan kunci ke lubang pintu, memutar pelan hingga terdengar bunyi klik dan pintu terbuka. Ariana melangkah masuk setelah melepas Sepatu flatsoes miliknya. Satu sofa abu dua dudukan, satu meja kayu, satu TV, dengan satu kamar dan dapur kecil di ujung ruangan. Tirai belum terpasang sempurna dan ada satu karpet tipis tergulung di samping sofa. Ia berencana akan mengubah beberapa posisi untuk membuatnya tampak lebih lapang.
“Halo… rumah,” bisiknya, nyaris seperti menyapa seseorang yang sudah lama ia rindukan.
Ariana membuka jendela kaca di belakang sofa. Angin segar langsung masuk membuat napasnya lebih tenang. Tangannya menyentuh kaca, menghembuskan napas perlahan lalu mengukir tulisan dengan ujung jarinya di sana. Milik Ariana Mont… sedetik kemudian ia tersenyum kecil lalu menghapus empat huruf dibelakang namanya. Sekarang hanya milik Ariana. Ia merasa bernapas utuh untuk pertama kalinya. Tidak perlu banyak bersih-bersih sebab rumah ini sepertinya terawatt oleh pemilik lama. Ariana memejamkan mata, hari ini sangat melelahkan sekali. Ia ingin tidur tenang tanpa memikirkan tekanan yang akan datang di esok hari.
Pagi hari datang perlahan. Ariana bangun lebih awal, meregangkan tubuh mungilnya sebelum memulai aktivitas pagi. Ia mengenakan kaus tipis dan celana pendek putih sederhana, yang mungkin tidak akan bisa ia kenakan selama tinggal di rumah itu. Rambutnya diikat ke atas tanpa memikirkan sudah presisi atau berantakan.
Pintu pagar diketuk pelan.
Tok… tok… tok.
Ariana membuka pintu. Di luar berdiri seorang gadis kecil berambut pendek, mengenakan kaus hijau dan celana jeans tiga perempat. Pita ungu menghiasi sisi rambutnya. Tangannya memeluk kantong plastik kecil dan seikat sapu lidi.
“Mbak… namanya Mbak Ariana, ya?”
“Iya, kamu siapa?”
“Kenalin aku Risa. Rumah ini dulu rumah kami. Ayah yang jual ke Mbak waktu itu,” katanya cepat, tanpa ragu. Ariana ingat, pria paruh baya berkumis tipis yang menerima uang cash darinya sore itu.
“Aku disuruh Ibu kesini. Boleh ya bantuin Mbak rapihin?”
Ariana terdiam sesaat, “Kamu pernah tinggal disini?”
Gadis kecil itu mengangguk dengan semangat. “Berarti kamu masih ingat setiap sudut rumah ini?”
“Ingat dong! Jendela dapur bisa bunyi ‘ngiiikk’ kalau dibuka setengah. Laci lemari di ruang tengah suka macet. Tapi kamar mandinya dingin, enak buat ngadem.”
Ariana tersenyum lalu membuka gerbang mempersilahkan tamu pertamanya masuk.
“Masuk, Risa. Tapi jangan rusuh ya.”
Tanpa menunggu lama Risa langsung melepas sandal dan berlari kecil masuk ke dalam. Matanya langsung terpaku pada koper yang tergeletak di dekat lemari, sudah terbuka namun pakaian masih terlipat disana.
“Ini bajunya belum disusun ya Mbak?”
“Baru niat mau nyusun tadi,” jawab Ariana sambil duduk.
“Aku bantu ya Mbak!” gadis itu berkata dengan penuh semangat. Ariana langsung menyukainya, anggap saja sahabatnya yang pertama.
Risa mengangkat satu per satu pakaian Ariana dengan semangat seperti menemukan harta karun. Sedangkan Ariana menerimanya lalu memasukkannya kedalam lemari. Sebenarnya Ariana bisa melakukannya sendiri bahkan lebih cepat. Tapi semangat gadis ini membuat Ariana luluh. Terasa seperti ketulusan yang sudah lama ia rindukan.
“Ih, ini bagus banget! Tapi warnanya sedih.”
“Yang ini kayak guru matematika yang galak…”
“Wah, kalau yang ini kayak ibu peri... cantik banget.”
Ariana menahan tawa. Kapan terakhir kali mendengar suara serberwarna ini, ia lupa.
“Aku nggak suka lemari yang warnanya cuma satu. Harus ada yang cerah juga biar nggak sedih,” kata Risa.
“Memangnya rumah ini kelihatan sedih?”
“Tadi iya, tapi sekarang udah mulai senyum dikit gara-gara ada Mbak disini.”
Ariana tersenyum kecil, Risa manis sekali.
“Terima kasih… Risa.” Ariana berkaca-kaca, segera ia melihat ke langit-langit rumah. Tidak ingin memberikan kesan yang lemah di depan teman barunya.
“Besok kita tanam bunga ya, Mbak. Di depan rumah itu kan ada kotak pot, tapi tidak ada isinya. Dulu Ibu belum sempat tanam tapi keburu pindah. Kata Ayah rumah ini terlalu kecil untuk kami sekeluarga.”
“Boleh, kamu boleh menentukan jenis bunganya.”
“Aku suka yang daunnya ungu. Soalnya beda dari yang lain.” Ujar Risa dengan excited.
“Kayak kamu,” ucap Ariana pelan.
Risa tertawa sambil menutup wajahnya malu. Pipinya merah seperti tomat cherry segar.
“Aku suka Mbak, jadi Mbakku saja ya?” Bujuk Risa dengan wajah sememelas mungkin.
Ariana mengangguk, Risa meloncat sambil bertepuk tangan seolah menemukan permata indah yang akan menemani hari-harinya di komplek ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
hartiva lattang
kak buat ariana dan sean balikan yaaa. memulai rt lahi bersama
tp sebelumx buat Sean setengah mati mengejar kembali ariana
2025-08-15
0
Ulla Hullasoh
Ariana pantas bahagia dengan irang yg lbh segalanya dari sean
2025-08-15
0