Senja sudah merayap ke ufuk barat ketika Indira masih duduk diam di atas ranjang, bersandar dengan nyaman entah sampai kapan. Lampu ruangan itu belum dinyalakan. Tirai jendela yang masih terbuka membiarkan cahaya oranye masuk dan menyapu sebagian wajahnya yang tampak letih dan bimbang.
Rada memang sudah pergi sejak tadi pagi. Namun, percakapan terakhir mereka masih bergema di kepala Indira. Sebuah pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Indira Ayudhia, maukah kamu menikah denganku?" Kalimat itu terus terputar di kepalanya seperti kaset rusak. Sangat mengganggu dan membuat bingung.
Indira menunduk. Jemarinya bermain-main gelisah di atas selimut. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang tak bisa dijelaskan. Satu sisi hatinya dipenuhi kecewa pada Rada atas kisah masa lalu mereka. Namun, di sisi lain, jika ia membatalkan pernikahan ini sekarang, keluarganya akan menjadi bahan gunjingan.
"Kenapa semuanya harus serumit ini?" bisik Indira pada dirinya sendiri, hampir tak bersuara.
Ia menoleh ke meja rias. Pantulan wajahnya di cermin tampak asing. Mata yang biasa tajam kini tampak sendu dengan bibir yang pucat. Rambut panjangnya acak-acakan. Ia nyaris tak mengenali diri sendiri.
Di tengah kebimbangan, tiba-tiba suara getaran dari ponsel terdengar di telinga Indira. Segera ia meraih benda pipih yang tergeletak di sisi bantal itu. Menatap sebuah notifikasi pesan masuk yang ternyata dari Dita.
"Cih, mau ngapain dia?" Wanita itu berdecih.
Beberapa saat Indira hanya menatap layar ponselnya tanpa berniat membuka pesan yang Dita kirimkan. Namun, makin lama, ia jadi penasaran.
"Buka aja, deh. Buat apa takut?" gumamnya.
Ruang obrolan ia dan Dita kini sudah terbuka sepenuhnya. Namun, alangkah terkejutnya ia begitu mengetahui isi pesan tersebut.
Sebuah video yang memperlihatkan aksi ganas Adnan menyusuri tubuh Dita di sebuah ruangan yang mirip ... kamar hotel.
"Brengsek!"
Wajah wanita itu memerah. Tangannya gemetar. Video itu hanya berdurasi dua menit, tapi cukup untuk menyulut bara api yang baru saja akan padam. Semua perasaan bimbang dan ragu yang tadi menahannya, kini tergantikan oleh kemarahan.
"Kalian berdua sama-sama brengsek! Aku gak akan tinggal diam!"
***
Suara jarum jam berdetak pelan, berpadu dengan desir pendingin ruangan yang mulai terdengar lebih nyaring sejak seluruh penghuni kantor satu per satu meninggalkan gedung. Hanya tinggal satu ruangan yang masih terang, dan di sanalah Rada duduk, mengatur ulang dokumen-dokumen di mejanya yang tadi sempat berserakan karena tumpukan pekerjaan.
Tangan pria itu sibuk, tapi pikirannya melayang jauh pada seseorang.
Indira.
Hingga kini ia masih menanti jawaban dari wanita itu. Entah akan memuaskan, atau justru menyakitkan. Yang pasti, jika memang diberi lagi kesempatan, Rada akan menggunakannya sebaik mungkin agar kembali mendapat kepercayaan dari seorang wanita bernama Indira Ayudhia.
Tangan Rada masih sibuk menyusun berkas terakhir ke dalam map kala getaran halus terasa dari ponselnya yang tergeletak di sebelah meja. Ia menoleh pelan dan mendapati layar benda pipihnya menyala, memperlihatkan sebuah nama yang belakangan ini selalu menari di kepala.
Alis pria itu sedikit mengernyit, tapi tak butuh waktu lama untuk tangannya meraih ponsel dan membuka pesan yang dikirim oleh sang mantan.
[Okey. Aku setuju nikah sama kamu.]
Beberapa detik Rada hanya terpaku. Matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Hanya satu baris pesan tanpa emoji dan basa-basi, tapi mampu membuat hatinya terasa diguncang. Ia bahkan sampai membaca ulang, memastikan tak salah lihat atau sekadar berhalusinasi karena terlalu berharap.
Akan tetapi, tidak! Itu benar-benar pesan dari Indira.
Perlahan senyum tipis muncul di bibir Rada. Tangannya bergerak menutup pesan dan memasukkan ponsel pada saku celana tanpa ada niat membalasnya.
Biarlah. Lagipula apa yang baru saja Indira kirim bukanlah sebuah pertanyaan.
Setelah meja kerjanya kembali rapih, gegas Rada berdiri dan berjalan keluar dari ruangan. Koridor kantor sudah sepi, hanya terdengar suara langkah sepatunya yang menggema. Lampu-lampu di ruangan lain pun sudah dimatikan.
Begitu keluar dari gedung, langit sudah mulai gelap. Semilir angin menyapa kulitnya dengan lembut. Tanpa melunturkan senyuman, ia membuka ponsel untuk menghubungi seseorang sebelum masuk ke dalam mobil.
Lagi, Indira.
"Halo?" suara di seberang terdengar ketus, tapi mampu membuat hati Rada berbunga.
"Siap-siap, Dir," ucap Rada dengan suara yang dibuat sesantai mungkin. "Tiga puluh menit lagi aku jemput kamu ke rumah."
"Apa?!"
***
Indira menatap ponsel di tangan dengan mata membelalak. Wajahnya merah padam karena kesal. Bisa-bisanya Rada membuat acara dadakan.
"Apa-apaan sih, nih, orang!" gerutunya sembari melempar benda pipih tersebut ke atas kasur.
Ia bangkit dari ranjang dengan gerakan cepat, seperti orang kesurupan. Langkahnya terburu-buru menuju cermin, lalu menatap refleksi dirinya yang masih kusut dengan rambut berantakan dan wajah sembab.
"Ya ampun … berantakan banget, lagi! Masa aku keluar rumah dengan tampang kayak gini?"
Wanita itu menggelengkan kepala. Tangannya bergerak otomatis ke arah wastafel di pojok kamar, mengambil handuk kecil dan segera membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia berusaha menenangkan napas yang tiba-tiba jadi tak beraturan. Sambil mengelap wajah, mulutnya terus saja bergumam.
"Dari dulu tetep aja rese! Kenapa mendadak gini, sih? Harusnya bilang dari tadi kalau mau ngajak jalan!"
Akan tetapi, semua omelan itu tak ada gunanya sebab Rada tetap akan datang.
Indira kembali ke depan lemari. Tangannya sibuk menggeser hanger satu per satu. Ada begitu banyak baju di dalam lemari itu, tapi tak satu pun terlihat cocok di matanya saat ini.
"Baju putih ini terlalu formal, yang ini terlalu santai, yang ini ... duh, aku kelihatan kayak mau ke kondangan!"
Ia merutuki dirinya sendiri karena merasa tidak siap, tapi tetap saja memilih satu setelan kasual dengan blus lengan panjang warna lilac dan celana bahan krem yang membuatnya terlihat segar namun tidak berlebihan.
Setelah puas dengan pilihan baju, ia buru-buru menyisir rambutnya yang kusut. Memoles tipis wajah, lalu menambahkan sedikit lip balm di bibir agar tak terlihat pucat. Meski kesal, ia tetap harus terlihat menawan.
"Aku gak boleh kalah cantik sama si Dita yang murahan itu!"
"Liat aja! Habis ini aku akan bikin kalian malu!" tekadnya. Tak ada cara paling ampuh untuk balas dendam selain mempermalukan lawan. Begitulah isi kepala Indira sekarang.
Saat wanita itu sedang menata kerah bajunya di depan cermin, pintu kamar mendadak diketuk. Belum sempat ia menjawab, pintu sudah terbuka pelan dan muncullah Weni dari balik daun pintu.
"Sayang, di depan ada Rada," ucap Weni datar, tapi penuh tanya. “Katanya mau pergi sama kamu.”
Indira terdiam beberapa detik. Jemarinya yang tadi sibuk mengatur lipatan baju kini berhenti. Ia menoleh pelan ke arah sang mama yang berdiri di dekat pintu.
"Oh ... iya, Ma," jawabnya singkat.
Weni melangkah masuk. Matanya mengamati penampilan sang putri dari ujung kepala hingga kaki.
"Kamu rapih sekali, Sayang. Cantik, lagi," pujinya pelan. "Apa … kamu mau pergi karena sudah baikan sama Rada?"
"Baikan? Jangan mimpi, deh!" sahut Indira sewot. Weni sampai tercengang mendengarnya.
"Kok, begitu? Terus ini kalian mau ke mana? Mau apa pergi kalau belum baikan juga?"
Indira membalik badan dan menghadap sang mama sepenuhnya. Helaan napas terdengar sebelum ia mulai berbicara, "Aku udah putusin buat nikah sama Rada, Ma."
Bola mata Weni seketika membulat seperti akan loncat. Tangannya spontan mengguncang kedua bahu Indira cukup kuat. "Kamu serius, Sayang?"
"Aku serius, Ma. Tapi ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Siti Zaid
Author lanjut..semangat terus💪💪💪
2025-08-03
1