Mau Menikah Denganku?

Aroma nasi goreng buatan Weni memenuhi ruangan. Indira duduk diam di meja makan, menatap kosong piringnya yang masih terisi penuh. Rambut wanita itu diikat asal. Wajahnya masih menyisakan sembab semalam.

Tepat di sampingnya, Bagus menyeruput teh hangat sambil sesekali melirik putri semata wayangnya dengan perasaan cemas. Meski kini Indira sudah mau keluar dari kamar, tetap saja wanita itu tidak makan.

"Makan, Sayang. Jangan cuma ditatap," ucap Weni lembut sambil duduk di seberang Indira.

Wanita itu mengangguk pelan, mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi ke mulut. Rasanya hambar. Entah karena ia yang tengah tak berselera atau memang begitulah rasanya.

Dua suapan berhasil masuk ke mulut Indira. Hingga ketika ia hendak memasukkan suapan ketiga, suara bel pintu terdengar, membuat gerakan tangannya terhenti di udara.

"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" gumam Bagus sambil bangkit.

Akan tetapi, langkahnya langsung terhenti saat muncul sosok yang sangat tidak diinginkan merangsek masuk tanpa dipersilakan.

"Adnan?" Bagus menyipitkan mata.

"Om, saya mohon, kasih saya waktu sebentar aja. Saya cuma mau bicara sama Dira," pinta Adnan lirih. Wajahnya kusut dengan kantung mata yang menggelap seperti belum tidur semalaman.

Hanya melihat pemandangan tak sedap itu dari jauh, tampaknya tak membuat Weni puas. Wanita itu segera berdiri sambil menahan napas. Ia berjalan menuju ruang tamu yang menyambung langsung dengan ruang makan.

"Kamu masih punya muka datang ke sini, Adnan?" Wanita itu menatap Adnan tajam.

Indira yang mendengar nama itu langsung menoleh. Hatinya mencelos begitu melihat pria yang baru saja menghancurkan harapannya kini berdiri di depan sana.

"Tante, saya tahu saya salah. Tapi saya janji gak akan ulangi kesalahan itu lagi. Saya cuma mau nikah sama Dira, Tante," ujar Adnan sambil melangkah mendekat pada Weni.

"Stop di situ!" hardik Bagus. "Kamu sudah cukup bikin anak saya menderita!"

"Om, tolong. Sekali ini ... aja. Kita harus tetap menikah biar orang gak ngomong macem-macem. Saya gak mau keluarga kita jadi malu setelah ini, Om. Saya—"

"Lebih baik nama keluarga jadi buruk daripada saya harus izinkan Dira menikah sama pria brengsek seperti kamu!" Weni memotong cepat. Suaranya terdengar menggelegar.

"Tapi saya cinta sama Dira! Dan saya tahu dia juga masih cinta sama saya!"

Di tengah keributan itu, Indira masih duduk diam. Tangan wanita itu mengepal di atas pangkuan. Dadanya naik turun. Kulit putihnya berubah jadi merah padam karena emosi yang tertahan. Matanya tak lepas dari wajah Adnan yang terus memohon seolah kesalahannya mudah untuk dimaafkan.

"Dira ... ngomong, please. Bilang ke mereka kalau kamu masih mau nikah sama aku. Aku janji akan berubah. Kita bisa mulai dari awal," pinta Adnan dengan suara gemetar. Matanya menatap penuh harap pada wanita yang mungkin kini sudah berstatus mantan.

Perlahan Indira berdiri, membuat semua mata tertuju padanya. Weni dan Bagus terdiam, seolah menunggu apa yang akan sang putri lakukan.

"Stop, Adnan," katanya pelan, tapi tegas.

Pria itu tersenyum lirih dengan mata penuh harap. Namun, kata selanjutnya membuat senyuman itu lenyap dalam sekejap.

"Aku emang gak akan batalin pernikahan dan akan tetap menikah. Tapi ... bukan sama kamu."

Deg!

Suasana seketika hening. Bagus dan Weni saling pandang, sementara Adnan menatap Indira seolah tak percaya.

"Hah? Terus kamu mau nikah sama siapa, Dir?" tanyanya bingung.

"Saya."

Suara berat terdengar dari arah depan, membuat semua kepala serempak menoleh. Muncullah Rada dari arah pintu dengan kemeja biru dengan senyum tipis. Ia berdiri tegap, menatap Adnan seolah ingin mengatakan jika ialah pemenang.

Adnan terpaku. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat di samping tubuh. "Gak usah ikut campur! Kamu cuma masalalunya, Dira!"

"Tapi kenyataannya saya yang menang, kan?" balas Rada tenang.

"Sudah cukup!" Bagus segera melerai. "Keluar dari rumah saya sebelum saya benar-benar marah, Adnan!"

Adnan tampak ingin protes, tapi tatapan tajam Bagus dan kehadiran Rada membuatnya merasa tak akan menang. Dengan gigi terkatup dan wajah muram, ia pun pergi meninggalkan kediaman mantan calon mertuanya itu.

***

Setelah Adnan pergi, Indira dan Rada duduk di atas sofa yang sama. Saling berdampingan sesuai permintaan Bagus dan Weni. Mereka sengaja membiarkan dua orang itu untuk berbicara serius.

Indira masih memasang wajah ketus. Ia masih kesal pada Adnan, dan kini bertambah kesal karena Rada datang. Lagi, kedua orang tuanya malah meninggalkan ia berdua dengan sang mantan.

Sangat menyebalkan!

"Jadi, apa mahar yang kamu mau?" tanya Rada santai.

Indira mendengkus kesal. "Emang siapa yang mau nikah sama kamu?"

Sontak Rada mengangkat alisnya tinggi. "Bukannya kamu yang bilang sendiri tadi? Kamu gak amnesia, kan?"

"Dih, aku cuma bilang mau nikah sama orang lain. Gak nyebut nama kamu, tuh! Kamu sendiri yang tiba-tiba muncul!" ketus Indira. Ia melipat tangan di dada sembari membuang muka.

Rada tertawa pelan. Ia sangat paham watak keras seorang Indira Ayudhia. Meski begitu, ia pun masih mengingat jelas hal-hal yang bisa membuat wanita itu luluh.

Bermodal pengetahuan tentang Indira yang sudah hafal di luar kepala, Rada jadi bisa menanggapi kekesalan atau bahkan amarah wanita itu dengan sikap santai.

Pria tampan itu mengangguk-angguk kecil. "Oke. Kalau gitu, sekarang aku yang mau nikahin kamu."

"Aku gak mau!" seru Indira cepat.

Rada mendekat sedikit. Sorot matanya mendadak serius menatap wajah cemberut sang mantan dari samping.

"Denger, Dira. Aku serius dan gak akan ulang pertanyaan ini," ucapnya mantap.

"Indira Ayudhia, maukah kamu menikah denganku?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!