Beijing menyambutku dengan angin musim semi yang menusuk hingga ke tulang. Jalanan ramai, langit mendung, dan suara klakson tak henti-henti menambah riuh kota. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di ibu kota, setelah menempuh perjalanan panjang bersama Paman Li jianming dan Bibi Meili.
Aku ke sini bukan hanya untuk berlibur. Paman, yang sudah seperti ayah bagiku, diundang menghadiri pertemuan besar yayasan Islam dari Xi’an dengan organisasi pendidikan Islam terbesar di Beijing. Mereka membicarakan program beasiswa untuk anak-anak yatim dan perbaikan fasilitas asrama putri di yayasan kami. Sebagai putri seorang pemuka agama, aku diminta ikut mendampingi, belajar tentang tata kelola dan keuangan yayasan.
Selebihnya, waktu kami habiskan menelusuri jejak Islam di Beijing. Paman membawaku ke Masjid Niujie , masjid tertua di kota ini, tempat para saudagar muslim zaman Dinasti Ming dulu biasa berkumpul. Aku terpaku lama di depan gerbang kayunya yang kokoh, membaca doa dalam hati agar kelak aku juga bisa berkontribusi pada agama seperti mereka.
Di sela kesibukan, Bibi menuntunku mencicipi kuliner halal khas Beijing. Kami duduk di warung kecil di tepi jalan, menyantap mie tarik panas yang mengepul di mangkuk besar, sementara hujan rintik membasahi kaca jendela.
Hari-hari itu begitu singkat. Dan akhirnya, tibalah waktu untuk pulang.
Malam itu, kami bertiga bersiap pulang ke Xi’an. Bus malam yang kami tumpangi tampak nyaman, dengan kursi empuk dan lampu remang. Aku duduk di dekat jendela, Paman dan Bibi duduk tepat di belakang kursiku. Sebenarnya bisa saja aku duduk berdua dengan bibi, tapi karena diantara kami lebih suka duduk di dekat jendela, akhirnya bibi mencari kursi lain dan duduk dengan suaminya.
Beberapa saat kemudian seorang nenek berbadan gemuk duduk di sebelahku, karena kursi penumpang lainya sudah penuh. Wajah wanita tua itu datar dan tidak begitu ramah, cara duduknya terkesan membelakangiku.
Aku tidak terkejut dengan sikap orang-orang seperti ini. Sebagai penganut muslim dan menjadi minoritas di negara besar dan modern seperti Tiongkok, pasti ada saja orang yang memandang kami dengan tatapan mencurigakan dan bersikap sangat waspada, sedang yang lainya terkesan cuek dan tidak perduli. Tetapi, tidak semua orang disana seperti itu, tentu saja ada yang ramah, bersikap netral, dan tak jarang aku menemui beberapa orang memujiku cantik dengan gaun dan hijabku.
Perlahan-lahan Bus mulai merayap meninggalkan terminal kota. Lampu jalan menari di kaca jendela, menimbulkan bayangan kuning redup di wajahku. Aku berusaha memejamkan mata, tapi kursi yang bergoyang membuatku sulit tidur.
Suara napas berat terdengar di sampingku. Si nenek gemuk itu tampak gelisah, tangannya sibuk membetulkan kerah jaket tebalnya. Aku menoleh sedikit, hanya untuk melihat mata sipitnya yang menatapku tanpa senyum.
"Dari mana kamu?",tanyanya tiba-tiba, dengan bahasa mandarin. Pertanyaan itu sontak membuatku agak terkejut karena di balik raut datarnya sepertinya menyimpan rasa penasaran.
"Beijing," jawabku pelan, mencoba tetap sopan. "Saya dan keluarga pulang ke Xi’an."
Nenek itu mengerutkan alis, menatap hijabku seperti melihat sesuatu yang aneh dan asing.
"Kamu muslim?"
Aku mengangguk kecil. "Benar, Nek. Saya muslim"
Dia mendengus. "Kenapa kalian pakai itu di kepala? Apa tidak risih?"
Aku menelan ludah. Pertanyaan yang sudah sering kudengar. Aku tersenyum lalu menggeleng lembut.
"Ini kewajiban kami, Nek. Dengan hijab ini kami merasa lebih nyaman dan terhormat."
Dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya. "Tapi kamu masih muda dan cantik," katanya lebih pelan, suaranya tiba-tiba melembut. "Sayang menutup kecantikanmu."
Aku tersenyum tipis. "Justru karena itu, Nenek. Saya ingin orang lain menilaiku bukan dari wajahku tapi dari apa yang Saya lakukan. Saya rasa semua orang setuju tentang itu, kan?"
Tatapannya berubah. Sejenak, keriput di wajahnya seperti melunak. Ia hanya bergumam, seperti mendengus pelan kemudian menatap ke luar jendela, membiarkan suasana kembali sunyi.
Wanita tua itu kini tak lagi ragu mendekatkan tubuhnya di sampingku, aku tersenyum tipis dan merasa lega, lalu menatap jalanan yang penuh kerlap kerlip lampu tiang dan kendaraan yang nampak memukau.
Kelopak mataku perlahan mulai terasa berat. Goyangan halus bus, suara dengkuran penumpang, dan lampu kota yang semakin jarang di pinggir jalan, membuat kantuk menyerang tanpa bisa kutahan. Perlahan, segalanya mengabur, dan aku pun terlelap.
Setelah beberapa jam kemudian, mataku mengerjap, merasa hangat di pipi, begitu terasa nyaman dan tenang, tetapi saat aku membuka mata, alangkah terkejutnya saat menyadari kepalaku bersandar di bahu seorang pemuda. Aku langsung menegakkan tubuh. Detak jantungku seketika melonjak.
Bahu itu milik seorang pemuda berkulit terang, mengenakan jeans pudar yang sobek di bagian lututnya dan jaket kulit hitam. Entah sejak kapan nenek yang duduk di sampingku sudah turun dan digantikan pemuda ini.
Aku menunduk cepat, tanganku gemetar memegang ujung hijab. Begitu malu dan tidak nyaman karena aku tak pernah sedekat ini dengan pria asing Sebelumnya.
"Maaf… maaf sekali…" bisikku dengan suara bergetar. "Aku tidak sengaja… aku_"
Aku berhenti tak mampu melanjutkan. Pemuda itu menoleh perlahan. Mata kami bertemu sesaat dalam pantulan redup lampu bus. Matanya hitam pekat, ia menarik sedikit sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang sulit kutafsirkan.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya kembali menatap jendela, sementara dagunya bertumpu di tangan yang disangga oleh siku di pegangan kursi, seakan tak terjadi apa-apa.
Aku menegakkan punggung, menarik napas panjang saat mata ini sempat terpesona oleh keindahan fisiknya.
Astaghfirullah… sungguh, godaan ketampanan tak boleh menjerumuskanku pada rasa yang tak halal. Aku menunduk, menahan debaran di dada, memohon perlindungan pada-Nya dari fitnah hati yang rapuh.
<•<•<•<•<•<•>
Bus perlahan berhenti di sebuah rest area. Aku menilik jam di pergelangan tangan dan waktu menunjukan pukul 12:40 dini hari.
Pemuda di sampingku berdiri, nampak merapikan jaketnya sebelum melangkah keluar. Penumpang lainnya pun kebanyakan tetap memilih tidur, hanya beberapa yang berjalan setengah sadar menuju toilet atau warung kecil.
Rasa haus dan desakan ingin buang air kecil akhirnya memaksaku untuk turun. Tapi sebelum itu, aku sempat menoleh ke bangku paman dan bibi; mereka terlelap begitu pulas hingga aku tak tega membangunkannya. Aku pun melangkah cepat keluar tanpa izin dan hanya membawa uang secukupnya.
Begitu menapaki tanah, udara malam yang dingin langsung menyergap. Untung saja aku mengenakan mantel cukup tebal yang menjaga tubuhku tetap hangat.
Aku buru-buru masuk toilet. Setelah urusan selesai, aku bergegas menuju warung kecil di sudut area, membeli sebotol air mineral, lalu buru-buru hendak kembali.
Namun karena kurang hati-hati, tubuhku menabrak seorang pria tua yang membawa sekeranjang jeruk. Buah-buah bundar itu bergulir ke mana-mana, menimbulkan suara berdentang di lantai rest area. Kakek itu langsung mengomel meski aku berusaha membantu memunguti jeruk-jeruknya.
Begitu selesai, aku segera berlari ke tempat busku terparkir. Namun malangnya, kendaraan besar itu sudah tidak ada. Hanya tersisa beberapa mobil pribadi dan kendaraan pengangkut di sana.
Panik, aku berlari ke arah jalan raya. Di kejauhan, lampu belakang bus terlihat berkedip menjauh dengan kecepatan tinggi. Mustahil aku mengejarnya, bahkan berteriak pun hanya sia-sia. Paman dan bibi mungkin mengira aku masih terlelap disana. Kenapa aku bisa terlambat naik? Biasanya waktu istirahat bus tidak sesingkat ini.
Jantungku serasa berhenti. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa uang dan ponsel. Perlahan, air mataku mulai menetes.
Suasana begitu sunyi. Aku menoleh ke sekeliling; rumah makan, kedai kecil semuanya mendadak tampak menakutkan, meski fasilitasnya terlihat modern. Aku kembali melangkah masuk ke area itu, berharap menemukan seseorang yang bisa dimintai bantuan, mungkin seorang satpam penjaga di dalam.
Namun sebelum aku sampai ke sana, suara tawa beberapa lelaki mendadak terdengar dari arah belakangku, aku menoleh cepat, ketiga pria itu menatapku sambil berbisik, tatapan tajam mereka membuatku semakin panik.
Aku menegakkan badan, menahan isak, lalu berjalan cepat menjauh. Tapi suara langkah mereka terdengar mengikuti, menambah rasa takut yang menjerat dadaku.
Aku terus masuk lebih dalam ke rest area yang luas. Namun ke mana semua orang? Kenapa tempat ini terasa begitu sepi? Tak satu pun penjaga terlihat. Aku benar-benar bingung, sementara pria-pria itu masih saja membuntutiku.
Dalam hati, aku terus berdoa meminta perlindungan Allah, karena di saat seperti ini tidak ada yang bisa diandalkan selain pertolonganNya.
"Berhenti, cantik. Kamu mau kemana, ha?" Salah seorang pria mencegatku dari depan, aku bisa melihat mata dan gerakan bibirnya yang penuh hasrat menjijikan.
"Sudah tidak ada bus lagi untuk beberapa jam kedepan. Mending kamu ikut dengan kami saja, Kami akan beri tempat tidur yang nyaman untukmu, Sayang..." Pria lain menimpali dan di sahuti tawa mengerikan.
Mereka mengelilingi tubuhku yang gemetar ketakutan. Nafasku memburu, tanganku mencengkeram botol air mineral yang kubeli, satu-satunya 'senjata' yang kupunya saat ini.
"Ya, daripada tidur di sini, kau akan kedinginan, Nona. Sudahlah ikut kami saja.. Kami akan beri kehangatan." Mereka tertawa lagi, tawa yang membuatku semakin takut tapi juga sangat muak.
"Berhenti mengangguku dasar manusia tidak punya sopan santun!" Aku menegaskan. Mengabaikan rasa takut yang kian menderu.
Namun justru mereka semakin mengeraskan tawanya dan semakin berani menggodaku, salah satu dari mereka berusaha menyentuh wajahku, sebelum akhirnya aku memukul wajahnya dengan botol air yang masih penuh, sekuat tenaga.
Pria itu terhuyung kesamping, mereka nampak terkejut, aku lalu menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments