NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Dewi Hijab

Prolog

Dewi Hijab...

Akhirnya setelah 7 tahun takdir mempertemukan kita lagi. Di langit yang cerah dan jembatan masjid Xi'an menjadi saksi pertemuan kita yang penuh bayangan masa lalu.

Aku pernah mencintaimu, dengan cara paling berdarah. Di lorong-lorong sunyi yang dipenuhi debu, peluh, dan peluru.

Kau berjalan menjauh,dengan cahaya yang tak bisa kupeluk. sementara aku tenggelam dalam dunia yang tak pernah mengenal sujud.

Namun namamu, adalah nama yang paling sering kusebut, di antara malam-malam yang tak beralas sajadah, di antara tangis yang tak tahu kemana pulang.

Kau menjadi doa, di tengah tubuhku yang najis,kau menjadi kiblat, saat aku kehilangan arah.

Tuhan mencintaimu, Hanina… dan mungkin, itulah sebabnya Dia menjauhkanmu dariku. Tapi Tuhan juga menyayangiku, karena Ia mengizinkan aku melihatmu… sekali lagi.

Kali ini, di rumah-Nya yang suci. Kau berdiri anggun di antara ayat dan hikmah, sementara aku hanya lelaki penuh dosa yang terus tumbuh dalam rindu dan penyesalan.

Jika aku tak bisa memilikimu di dunia, izinkan aku mencintaimu dalam diam, di setiap tahajud yang menitikkan namamu tanpa pernah memaksamu menjadi milikku.

"Hanina..." kusebut namanya dengan suara yang bergetar, karena rasa rindu yang menekan dadaku. Ku lihat gadis di hadapanku menatapku dengan air mata yang menggantung di kelopaknya yang merona.

"Wang Lei..." balasnya lirih, suaranya tak berubah, masih lembut dan menyentuh relungku. Setelah sekian lama akhirnya aku mendengar suaranya memanggil namaku lagi. Mendadak mataku terasa panas.

Angin musim gugur menyapu lembut kerudung birunya, membuat helaian tipis itu menari pelan di sekitar wajahnya yang masih seindah dulu, akan tetapi sedikit lebih pucat.

"Assalamualaikum..."

Hanina mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan apa yang barusan ku ucapkan.

"Waalaikumsalam..." jawabnya parau, mata Hazelnya berbinar, bibirnya melengkungkan senyum tipis. Senyum yang selama ini aku rindukan, dadaku hampir meledak karena begitu bahagia.

"Kau... Terlihat berbeda, apa yang terjadi?" tanyanya.

Aku mendengus berusaha menahan gejolak di hatiku.

"Ada banyak hal yang terjadi, tapi semuanya baik-baik saja... bagaimana kabarmu?" tanyaku.

"Aku... Aku baik. Kau?" jawabnya, sedikit gugup.

Aku mengangguk penuh syukur. "Aku juga,"

"Alhamdulillah..." ucapnya.

"Alhamdulillah..." aku mengikutinya, ikut tersenyum melihat bibirnya yang melengkung berseri-seri.

Hening. Gadis itu memainkan jarinya, nampak terlihat salah tingkah karena aku menatapnya lebih dalam penuh kerinduan yang tak terucapkan.

"Aku pikir kau tidak akan menemuiku, kau membuatku terkejut." katanya, pelan.

Aku menarik napas dalam, menatap ke langit sebelum memandang wajah Hanina.

"Aku juga terkejut, " jawabku singkat, kemudian aku membuka tas ranselku mengeluarkan sebuah buku dan menunjukannya.

"Ini. Tadinya aku hanya penasaran pada Novel 'Takdir Cinta Dewi Hijab dan Iblis Jalanan.' Orang-orang bilang ini kisah cinta yang luar biasa, Jadi akupun ikut membacanya. Awalnya kupikir hanya fiksi biasa. Tapi lembar demi lembar, jantungku memukul lebih keras. Ini… ini kisahku. Ini kisah kami. Tentang seorang kriminal yang terjebak bersama gadis yang dia sebut sebagai Dewi Hijab. Setiap adegan, setiap dialog, setiap narasi yang ditulis membuatku kembali ke masa lalu."

Aku berbicara tanpa henti sambil menatap matanya yang berair. Aku menarik napas panjang lalu melanjutkan dengan suara tegas yang penuh kerinduan.

"Putri Lebah, itu nama penulisnya. Kau tahu, aku sangat penasaran dengan orang itu, kenapa dia membuat kisah cinta yang sama persis dengan kisahku tujuh tahun yang lalu. Akhirnya setelah pencarian panjang, seseorang memintaku untuk menunggunya di sini. Dengan hati berdebar aku menantinya, dan yang ku lihat sekarang Dewi Hijab itu sendiri. Kau yang menulisnya Hanina, benar?"

Hanina menunduk. Air matanya sudah meluruh sejak tadi. Jemarinya meremas ujung hijabnya yang tertiup angin, lalu memadangku dengan mata sendunya.

Dia mengangguk kecil " Ya, aku yang menulisnya."

"Kenapa?"

Hanina tak langsung menjawab langkahnya menepi, merapatkan tubuhnya pada tembok jembatan, menatap air jernih yang mengalir di bawahnya.

"Karena aku ingin semua orang tahu, bahwa tidak ada batasan untuk mencintai, seperti Dewi Hijab yang diam diam mencintai iblis yang melindunginya, namun dia takut untuk mengungkapnya."

Jawabanya membuat jantungku semakin berdebar, aku mendekatinya, berdiri di samping gadis itu dengan tetap menjaga jarak.

"Dia memilih memendam rasa itu jauh di lubuk hati, tapi tidak berusaha melupakannya. Kenangan itu sangat berharga, lebih berharga dari berlian Xue Lian yang pernah menyelamatkannya. Apa kau ingat?" Dia menoleh ke arahku.

Aku tertawa kecil, tawa getir yang penuh luka dan rindu.

"Tentu aku ingat. Berlian Xue Lian, Berlian Teratai Salju yang menjadi simbol kesucian wanita bangsawan Dinasti Qing, yang pernah di curi sekaligus pernah menyelamatkan kehormatan seorang wanita. "

"Seluruh kota hampir hancur. pembantaian dimana-mana. Orang-orang tak berani keluar rumah, karena takut terkena peluru yang menyasar. Polisi turun, semuanya tak berakhir sebelum Berlian Xue Lian kembali ke tangan pemiliknya dan dendam pun terbalas. Semua itu terjadi hanya karena kerudung seorang wanita yang dilepas paksa oleh tangan kotor yang tak seharusnya menjamah. Aku ingat semuanya Hanina..."

Hening. Hanya suara aliran air yang menjadi pemecah kesunyian beberapa saat.

"Apa kau merindukanku selama ini?" tanya Hanina tiba-tiba.

Aku menoleh "Sangat."

"Lalu kenapa baru sekarang kau datang?"

Aku mendengus pelan, suara Hanina terdengar seolah menahan kecewa.

"Karena aku selalu merasa tidak pantas, bahkan untuk menatap wajahmu sekalipun."

Hanina diam, air matanya mengalir di salah satu sudut matanya.

"Kau tidak bisa selamanya merasa seperti itu Wang Lei. Kau tahu kau sangat berarti dalam hidupku." katanya, jemarinya mengusap pipinya yang basah dengan gerakan lembut.

Aku menunduk "Kau juga sangat berarti bagiku, Hanina."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Jika aku menginginkanmu untuk menjadi suamiku apa itu salah?"

Apa? Apa aku tidak salah dengar? Seorang putri ulama yang disegani dan di hormati mengharapkan mantan bajingan sepertiku untuk menjadi suaminya?

"Sangat salah," jawabku pelan. "Masih banyak pria yang lebih baik dariku. Aku belum layak… belum bisa membimbingmu."

Hanina menggigit bibirnya pelan, menunduk sambil menahan isak.

"Kalau begitu… sampai kapan kau akan terus merasa tidak layak?" bisiknya.

Aku terdiam.

Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya seperti pisau tumpul yang ditarik lambat di dadaku. Aku tak punya jawaban. Aku hanya punya sesal, dan sesal tak pernah tahu arah.

"Lupakan aku, Hanina..." Suaraku bergetar.

Dia menggeleng lemah.

"Itu tidak bisa ku lakukan, kenanganmu akan selalu hidup di hatiku." jawabnya.

Aku menarik napas dalam, mencoba membendung gelombang yang mengamuk di dadaku.

"Hanina..."

"Kakak, calon suami kakak sudah datang! Kakek dan Nenek menyuruh kakak pulang sekarang." Seorang gadis kecil tiba-tiba muncul memegang tangan Hanina.

Calon suami? Jantungku langsung berpacu tak beraturan.  Aku menoleh cepat ke arah Hanina. Tatapanku mencari sesuatu di matanya, penyangkalan, penjelasan, apa pun, tapi yang kudapatkan hanya raut syok yang dipaksakan tenang.

Hanina tersenyum ke arah gadis kecil itu dan menggenggam tangannya, kemudian mengangguk.

"Ayo pulang, " ucapnya, membuatku tak percaya.

Dia menoleh padaku. "Selamat tinggal, Assalamu'alaikum..." Dia berbalik, sementara aku hanya bisa berdiri mematung menatap punggungnya, bahkan salamnya tak mampu aku jawab.

......................

Wang Lei...

Aku menulis tentangmu bukan untuk membuatmu kembali, tapi agar dunia tahu, bahwa pernah ada luka yang kutemui dan tidak kucaci.

Aku menulis tentang kita, karena hanya pena yang tak pernah menuduhku berdosa, saat aku mencintai seorang lelaki yang tak beralas sajadah tapi menyebut namaku dalam zikir patah.

Wang Lei...

Jika kau tahu, berapa banyak air mataku jatuh di setiap kalimat yang kususun tentang kita, kau tak akan lagi bertanya mengapa aku tak pernah melupakanmu.

Kau adalah lelaki yang pernah kutemui di lorong debu dan peluru, tapi kebaikanmu selalu lebih nyaring daripada dentuman senjata.

Aku mencintaimu dalam diam yang paling pekat, dalam malam yang paling sujud. Tapi aku juga tahu,tidak semua cinta harus bersanding, karena takdir pun punya cara untuk menjadikan rindu sebagai ibadah.

Dan jika pernikahanku bukan denganmu, bukan berarti aku melupakanmu. Tapi mungkin Tuhan sedang mengajariku bagaimana mencintai tanpa memiliki, dan bagaimana merelakan tanpa harus membenci.

Di antara lembar-lembar doaku, kau selalu hadir bukan sebagai harapan, tapi sebagai pengingat bahwa pernah ada lelaki yang mengajarkanku arti kesetiaan, tanpa pernah menyentuh tanganku.

Selamat tinggal, Wang Lei...

Jika pertemuan kedua ini kita tidak disatukan, maka aku ikhlas, tapi kalau kau berubah pikiran sebelum akad ini dimulai, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.

Bab_1 Beijing

Beijing menyambutku dengan angin musim semi yang menusuk hingga ke tulang. Jalanan ramai, langit mendung, dan suara klakson tak henti-henti menambah riuh kota. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di ibu kota, setelah menempuh perjalanan panjang bersama Paman Li jianming dan Bibi Meili.

Aku ke sini bukan hanya untuk berlibur. Paman, yang sudah seperti ayah bagiku, diundang menghadiri pertemuan besar yayasan Islam dari Xi’an dengan organisasi pendidikan Islam terbesar di Beijing. Mereka membicarakan program beasiswa untuk anak-anak yatim dan perbaikan fasilitas asrama putri di yayasan kami. Sebagai putri seorang pemuka agama, aku diminta ikut mendampingi, belajar tentang tata kelola dan keuangan yayasan.

Selebihnya, waktu kami habiskan menelusuri jejak Islam di Beijing. Paman membawaku ke Masjid Niujie , masjid tertua di kota ini, tempat para saudagar muslim zaman Dinasti Ming dulu biasa berkumpul. Aku terpaku lama di depan gerbang kayunya yang kokoh, membaca doa dalam hati agar kelak aku juga bisa berkontribusi pada agama seperti mereka.

Di sela kesibukan, Bibi menuntunku mencicipi kuliner halal khas Beijing. Kami duduk di warung kecil di tepi jalan, menyantap mie tarik panas yang mengepul di mangkuk besar, sementara hujan rintik membasahi kaca jendela.

Hari-hari itu begitu singkat. Dan akhirnya, tibalah waktu untuk pulang.

Malam itu, kami bertiga bersiap pulang ke Xi’an. Bus malam yang kami tumpangi tampak nyaman, dengan kursi empuk dan lampu remang. Aku duduk di dekat jendela, Paman dan Bibi duduk tepat di belakang kursiku. Sebenarnya bisa saja aku duduk berdua dengan bibi, tapi karena diantara kami lebih suka duduk di dekat jendela, akhirnya bibi mencari kursi lain dan duduk dengan suaminya.

Beberapa saat kemudian seorang nenek berbadan gemuk duduk di sebelahku, karena kursi penumpang  lainya sudah penuh. Wajah wanita tua itu datar dan tidak begitu ramah, cara duduknya terkesan membelakangiku.

Aku tidak terkejut dengan sikap orang-orang seperti ini. Sebagai penganut muslim dan menjadi minoritas di negara besar dan modern seperti Tiongkok, pasti ada saja orang yang  memandang kami dengan tatapan mencurigakan dan bersikap sangat waspada, sedang yang lainya terkesan cuek dan tidak perduli. Tetapi, tidak semua orang disana seperti itu, tentu saja ada yang ramah, bersikap netral, dan tak jarang aku menemui beberapa orang memujiku cantik dengan gaun dan hijabku.

Perlahan-lahan Bus mulai merayap meninggalkan terminal kota. Lampu jalan menari di kaca jendela, menimbulkan bayangan kuning redup di wajahku. Aku berusaha memejamkan mata, tapi kursi yang bergoyang membuatku sulit tidur.

Suara napas berat terdengar di sampingku. Si nenek gemuk itu tampak gelisah, tangannya sibuk membetulkan kerah jaket tebalnya. Aku menoleh sedikit, hanya untuk melihat mata sipitnya yang menatapku tanpa senyum.

"Dari mana kamu?",tanyanya tiba-tiba, dengan  bahasa mandarin. Pertanyaan itu sontak membuatku agak terkejut karena di balik raut datarnya sepertinya menyimpan rasa penasaran.

"Beijing," jawabku pelan, mencoba tetap sopan.  "Saya  dan keluarga pulang ke Xi’an."

Nenek itu mengerutkan alis, menatap hijabku seperti melihat sesuatu yang aneh dan asing.

"Kamu muslim?"

Aku mengangguk kecil. "Benar, Nek. Saya muslim"

Dia mendengus. "Kenapa kalian pakai itu di kepala? Apa tidak risih?"

Aku menelan ludah. Pertanyaan yang sudah sering kudengar. Aku tersenyum lalu menggeleng lembut.

"Ini kewajiban kami, Nek. Dengan hijab ini kami merasa lebih nyaman dan terhormat."

Dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya. "Tapi kamu masih muda dan cantik," katanya lebih pelan, suaranya tiba-tiba melembut.  "Sayang menutup kecantikanmu."

Aku tersenyum tipis. "Justru karena itu, Nenek. Saya ingin orang lain menilaiku bukan dari wajahku tapi dari apa yang Saya lakukan. Saya rasa semua orang setuju tentang itu, kan?"

Tatapannya berubah. Sejenak, keriput di wajahnya seperti melunak. Ia hanya bergumam, seperti mendengus pelan kemudian menatap ke luar jendela, membiarkan suasana kembali sunyi.

Wanita tua itu kini tak lagi ragu mendekatkan tubuhnya di sampingku, aku tersenyum tipis dan merasa lega, lalu menatap jalanan yang penuh kerlap kerlip lampu tiang dan kendaraan yang nampak memukau.

Kelopak mataku perlahan mulai terasa berat. Goyangan halus bus, suara dengkuran penumpang, dan lampu kota yang semakin jarang di pinggir jalan, membuat kantuk menyerang tanpa bisa kutahan. Perlahan, segalanya mengabur, dan aku pun terlelap.

Setelah beberapa jam kemudian, mataku mengerjap, merasa hangat di pipi, begitu terasa nyaman dan tenang, tetapi saat aku membuka mata, alangkah terkejutnya saat  menyadari kepalaku bersandar di bahu seorang pemuda. Aku langsung menegakkan tubuh. Detak jantungku seketika melonjak.

Bahu itu milik seorang pemuda berkulit terang, mengenakan jeans pudar yang sobek di bagian lututnya dan jaket kulit hitam. Entah sejak kapan nenek yang duduk di sampingku sudah turun dan digantikan pemuda ini.

Aku menunduk cepat, tanganku gemetar memegang ujung hijab. Begitu malu dan tidak nyaman karena aku tak pernah sedekat ini dengan pria asing Sebelumnya.

"Maaf… maaf sekali…" bisikku dengan suara bergetar. "Aku tidak sengaja… aku_"

Aku berhenti tak mampu melanjutkan. Pemuda itu menoleh perlahan. Mata kami bertemu sesaat dalam pantulan redup lampu bus. Matanya hitam pekat, ia menarik sedikit sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang sulit kutafsirkan.

Ia tak mengatakan apa pun, hanya kembali menatap jendela, sementara dagunya bertumpu di tangan yang disangga oleh siku di pegangan kursi, seakan tak terjadi apa-apa.

Aku menegakkan punggung, menarik napas panjang saat mata ini sempat terpesona oleh keindahan fisiknya.

Astaghfirullah… sungguh, godaan ketampanan tak boleh menjerumuskanku pada rasa yang tak halal. Aku menunduk, menahan debaran di dada, memohon perlindungan pada-Nya dari fitnah hati yang rapuh.

<•<•<•<•<•<•>

Bus perlahan berhenti di sebuah rest area. Aku menilik jam di pergelangan tangan dan waktu menunjukan pukul 12:40 dini hari.

Pemuda di sampingku berdiri, nampak merapikan jaketnya sebelum melangkah keluar. Penumpang lainnya pun kebanyakan tetap memilih tidur, hanya beberapa yang berjalan setengah sadar menuju toilet atau warung kecil.

Rasa haus dan desakan ingin buang air kecil akhirnya memaksaku untuk turun. Tapi sebelum itu, aku sempat menoleh ke bangku paman dan bibi; mereka terlelap begitu pulas hingga aku tak tega membangunkannya. Aku pun melangkah cepat keluar tanpa izin dan hanya membawa uang secukupnya.

Begitu menapaki tanah, udara malam yang dingin langsung menyergap. Untung saja aku mengenakan mantel cukup tebal yang menjaga tubuhku tetap hangat.

Aku buru-buru masuk toilet. Setelah urusan selesai, aku bergegas menuju warung kecil di sudut area, membeli sebotol air mineral, lalu buru-buru hendak kembali.

Namun karena kurang hati-hati, tubuhku menabrak seorang pria tua yang membawa sekeranjang jeruk. Buah-buah bundar itu bergulir ke mana-mana, menimbulkan suara berdentang di lantai rest area. Kakek itu langsung mengomel meski aku berusaha membantu memunguti jeruk-jeruknya.

Begitu selesai, aku segera berlari ke tempat busku terparkir. Namun malangnya, kendaraan besar itu sudah tidak ada. Hanya tersisa beberapa mobil pribadi dan kendaraan pengangkut di sana.

Panik, aku berlari ke arah jalan raya. Di kejauhan, lampu belakang bus terlihat berkedip menjauh dengan kecepatan tinggi. Mustahil aku mengejarnya, bahkan berteriak pun hanya sia-sia. Paman dan bibi mungkin mengira aku masih terlelap disana. Kenapa aku bisa terlambat naik? Biasanya waktu istirahat bus tidak sesingkat ini.

Jantungku serasa berhenti. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa uang dan ponsel. Perlahan, air mataku mulai menetes.

Suasana begitu sunyi. Aku menoleh ke sekeliling; rumah makan, kedai kecil semuanya mendadak tampak menakutkan, meski fasilitasnya terlihat modern. Aku kembali melangkah masuk ke area itu, berharap menemukan seseorang yang bisa dimintai bantuan, mungkin seorang satpam penjaga di dalam.

Namun sebelum aku sampai ke sana, suara tawa beberapa lelaki mendadak terdengar dari arah belakangku, aku menoleh cepat, ketiga pria itu menatapku sambil berbisik, tatapan tajam mereka membuatku semakin panik.

Aku menegakkan badan, menahan isak, lalu berjalan cepat menjauh. Tapi suara langkah mereka terdengar mengikuti, menambah rasa takut yang menjerat dadaku.

Aku terus masuk lebih dalam ke rest area yang luas. Namun ke mana semua orang? Kenapa tempat ini terasa begitu sepi? Tak satu pun penjaga terlihat. Aku benar-benar bingung, sementara pria-pria itu masih saja membuntutiku.

Dalam hati, aku terus berdoa meminta perlindungan Allah, karena di saat seperti ini tidak ada yang bisa diandalkan selain pertolonganNya.

"Berhenti, cantik. Kamu mau kemana, ha?" Salah seorang pria mencegatku dari depan, aku bisa melihat  mata dan gerakan bibirnya yang penuh hasrat menjijikan.

"Sudah tidak ada bus lagi untuk beberapa jam kedepan. Mending kamu ikut dengan kami saja, Kami akan beri tempat tidur yang nyaman untukmu, Sayang..." Pria lain menimpali dan di sahuti tawa mengerikan.

Mereka mengelilingi tubuhku yang gemetar ketakutan. Nafasku memburu, tanganku mencengkeram botol air mineral yang kubeli, satu-satunya 'senjata' yang kupunya saat ini.

"Ya, daripada tidur di sini, kau akan kedinginan, Nona. Sudahlah ikut kami saja.. Kami akan beri kehangatan." Mereka tertawa lagi, tawa yang membuatku semakin takut tapi juga sangat muak.

"Berhenti mengangguku dasar manusia tidak punya sopan santun!" Aku menegaskan. Mengabaikan rasa takut yang kian menderu.

Namun justru mereka semakin mengeraskan tawanya dan semakin berani menggodaku, salah satu dari mereka berusaha menyentuh wajahku, sebelum akhirnya aku memukul wajahnya dengan botol air yang masih penuh, sekuat tenaga.

Pria itu terhuyung kesamping, mereka nampak terkejut, aku lalu menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

Bab_2 Zhengzhou

Wang Lei—POV. Zhengzhou (Provinsi Henan)

Baru saja melangkah turun dari bus ponselku langsung berdering nyaring. Panggilan dari Asisten Bos. Segera kuangkat dan kulaporkan bahwa paketnya sudah mendarat dengan aman, tanpa ada yang mencurigai. Semoga saja memang begitu.

Setelah panggilan berakhir, aku berjalan menuju kedai kecil untuk memesan kopi panas dan sebungkus rokok. Dari kejauhan, mataku sempat menangkap sosok seorang gadis berkerudung hitam yang sedang di ceramahi  seorang pria tua karena menjatuhkan keranjang buahnya.

Gadis itu tampak sangat gugup; tangannya bergerak cepat mengembalikan buah-buah yang bergulir ke dalam keranjang.

Aku mengenali sosoknya. Gadis yang tadi tertidur di sebelahku di bus. Dia yang kepalanya tanpa sengaja bersandar di bahuku. Aku menahan napas saat mataku tertuju pada wajahnya yang kini merah menahan tangis. Tapi tentu saja itu bukan urusanku.

Aku kembali menyesap kopi hingga tandas, lalu membayar dan meninggalkan kedai, berjalan lebih dalam ke rest area.

Dalam hitungan menit, suasana mendadak sepi. Orang-orang seperti hantu, menghilang begitu saja. Aku melangkah tegas menembus kesunyian, menuju area khusus parkir kendaraan roda dua, di sana hanya ada motorku yang keren dan gagah seperti pemiliknya.

Tapi sebelum menyalakan mesin, merokok dulu rasanya lebih afdhol sebagai bekal stamina perjalanan.

Tanpa banyak mikir, aku merogoh saku jaket, mengambil sebungkus rokok, menarik sebatang dan mengapitnya di antara bibir, lalu menyalakan korek zippo perak kesayanganku. Api kecil menari di ujung rokok menyulut asap pertama yang langsung menghangatkan paru-paruku dengan nikotin.

Ini memang bukan kebiasaan baik, tapi untuk orang sepertiku? Ah! Tidak berlaku! Aku hanya akan perduli pada kesenanganku sendiri.

Sedang asyik menyesap asap, mataku menangkap bayangan seseorang berlari ke arahku. Aku menyipitkan mata; cahaya lampu remang cukup untuk melihat dengan jelas siapa dia.

Sial. Itu gadis berhijab yang tadi bersamaku di bus. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia masih di sini? Dia semakin mendekat, wajahnya terlihat sangat gelisah, lalu tanpa permisi tiba-tiba bersembunyi di balik punggungku.

Tangannya meremas lengan jaket kulitku dengan gemetar. Aku bisa merasakan napas dan detak jantungnya yang berpacu cepat.

"Qǐng bāng wǒ… (Tolong aku)," bisiknya, suaranya lembut dan bergetar, napasnya menyentuh tengkuk leher, membuat bulu kuduku meremang.

Sedetik kemudian, tiga pria nampak berjalan cepat ke arahku, aku mengenali siapa mereka.

Mereka adalah Kaki tangan Tian Hui, anak buah mafia lokal di kawasan Distrik Zhongyuan. Bajingan-bajingan ini memang suka membuntuti target yang terlihat lemah, seperti gadis di belakangku ini. Untuk apa lagi kalau bukan untuk bahan pelampiasan. Bangsat memang!

Tapi ya, aku tentu sama brengseknya seperti preman jalanan yang hidupnya terhubung pada kriminalitas yang ringan hingga berat. Tapi setidaknya aku masih punya sedikit moral untuk tidak melakukan hal-hal cabul seperti yang mereka lakukan. Kurang ajar!

Aku menghembuskan asap rokok perlahan, menatap mereka satu per satu dengan mata setajam silet. Tiga pasang mata balas menatapku degan ragu, tapi juga menilai. Mereka pasti tak menduga gadis ini mencari perlindungan pada orang asing yang sama brengseknya.

"Oi" salah satu dari mereka bersuara, langkahnya berhenti dua meter dariku. "Jangan ikut campur, kawan. Serahkan saja perempuan itu, dan kau bisa melanjutkan perjalananmu dengan tenang."

Aku mengangkat sebelah alis, menahan tawa. Sial, mereka pikir aku orang yang suka menuruti ancaman?

Dengan gerakan santai, aku menghempaskan puntung rokok ke tanah dan menginjaknya.

"Sayangnya," gumamku pelan, tanganku meraih gagang pisau lipat di pinggang, "aku memang suka ikut campur."

Aku bisa merasakan gadis itu mencengkeram jaketku lebih erat. Dia mungkin ketakutan setengah mati, tapi keberaniannya untuk mendekatiku barusan membuatku penasaran.

Angin malam yang dingin menyapu rest area yang lengang. Satu dari mereka menoleh kiri-kanan, seolah mencari saksi. Tak ada. Tempat ini seperti panggung yang disiapkan hanya untuk kami.

"Kau cari mati, bocah!" geram pria yang paling besar, dan mereka bertiga langsung bergerak serempak menerjangku.

Aku menarik napas dalam, kemudian segalanya berjalan cepat. Aku maju, menghantamkan lututku pada dagu pria pertama, tangan kiriku menangkis pukulan kedua, sementara tangan kananku melesakkan pisau lipat ke paha orang ketiga. Suara teriakan tertahan memenuhi udara.

Salah satu dari mereka merangkak, mencoba kabur, tapi segera kumenendang tulang rusuknya hingga ia jatuh berguling. Dalam hitungan detik, ketiganya sudah terkapar mengerang kesakitan. Kemudian aku mengusap darah di pisau dengan sapu tangan yang selalu kuselipkan di saku.

Mereka bangkit memohon ampun, langkah terhuyung-huyung. Nafsu untuk menghabisi mereka masih bergolak. Namun aku mengeratkan rahang, menahan diri. Tidak ada gunanya menambah masalah jika mereka sudah kapok.

"Pergi sebelum aku berubah pikiran,"desisku rendah, cukup keras untuk mereka dengar.

Tanpa menunggu diulang, ketiganya limbung berlari menjauh, menyisakan hanya suara langkah tergesa dan erangan pelan yang cepat meredam di kejauhan.

Aku menarik napas panjang, merasakan dentuman adrenalin di kepala. Mataku menuruni pandangan ke gadis di belakangku.

"Kamu terluka?" tanyaku, tak berusaha untuk terkesan ramah.

"Xièxiè…( Terima kasih)" hanya itu yang terdengar, suaranya lirih, seperti bisikan.

Aku memutuskan berbalik badan, menatap sosok gadis itu hingga kami saling berhadapan.

Gadis itu, berhijab hitam. Cantik seperti dewi kayangan yang bersinar, matanya besar, hidungnya mancung dan kecil, bibirnya? Astaga meski tipis tapi ranum dan merona. Aku di buat tak berkedip beberapa saat. Aku baru menyadari ternyata dia seindah itu. Mengingatkanku pada seseorang.

Sudah pasti ku tahu, dia seorang muslimah, mungkin dari etnis uighur atau suku Hui yang terkenal dengan kecantikan wanitanya.

Gadis itu menunduk, memainkan jemarinya.

"Apa yang terjadi? Kenapa masih di sini?" tanyaku, suaraku datar seperti biasa.

"Aku ketinggalan bus. Barang barangku ada disana, aku turun dan hanya membawa beberapa yuan untuk membeli air minum. Bisakah kau membantuku lagi? Tolong..."

Aku memandangnya tajam, menilai setiap gerakan kecil yang dia buat.  Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan diri untuk tak menangis.

"Dasar ceroboh..." desisku, gadis itu semakin menunduk.

"Bagaimana bisa kau pergi sendirian tanpa ada yang menemani? tanpa uang dan ponsel?" aku bicara dengan suara ketus, tentu saja kesal. Aku bukan orang yang suka rela direpotkan seperti ini.

Merogoh saku jeansku. Menarik ponsel dan memberikanya. Namun gadis itu menggeleng lemah.

"Kenapa? Hubungi keluargamu, biar mereka menjemputmu di sini!"

"Aku bahkan tidak hafal nomor ponselku sendiri." jawabnya, suaranya lebih lirih dan terkesan putus asa.

Astaga... aku sendiri mendengus, memijat dahi yang mendadak pening.

"Tapi mungkin kamu bisa bantu aku mengejar bus itu dengan motormu? Tolonglah." katanya lagi, membuatku terkekeh rendah mendengar ide konyol itu.

"Itu tidak mungkin, Senorita. Bus itu sudah melaju puluan kilometer dan masuk tol. Mana mungkin motorku bisa mengejarnya."

"Kalau begitu, bantu aku cari kantor polisi."

"Kantor polisi?" Wajahku menegang seketika. Tidak mungkin. Aku baru saja keluar penjara 3 bulan lalu. Menolong gadis ini dengan menyerahkannya ke polisi, sama saja dengan menambah perkara hidup. Mereka pasti akan menuduhku yang tidak -tidak.

Sialan, kenapa aku bisa terjebak di situasi seperti ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!