Cowok itu duduk rapi, wajahnya tenang tapi sorot matanya gelisah. Ia menoleh ketika mendengar suara langkah mendekat, dan nyaris berdiri saat melihat perempuan itu menarik kursi tanpa basa-basi.
Perempuan itu menjulurkan tangan. “Maaf, kenalkan. Aku adiknya Aylara. Namaku Tari Nayaka Ghazali putrinya pak Ghazali almarhum. Tapi panggil Nayaka aja, nggak usah ribet.”
Arslan mengerjap dua kali. Tangannya sempat ragu menyambut. “Kamu bukan Aylara?”
Nayaka menyandarkan punggung ke kursi, santai. “Ya bukan lah. Masa gue seglowing itu? Aylara tuh kakak gue, cewek kalem penyayang bunga. Tapi dia nggak bisa datang hari ini.”
Arslan menatapnya makin heran. “Jadi kenapa kamu yang datang?”
Nayaka mengangkat alis, masih dengan gaya nyantai. “Karena kakak gue udah punya cowok, Dok. Udah nempel kayak perangko, nggak bisa dilepas. Jadi ya demi menghormati orang tua dan nggak mau ngecewain perjodohan keluarga, gue disuruh gantiin.”
Arslan mendadak kaku. “Gantiin… maksudnya?”
Nayaka menyeringai. “Yaa siapa tahu cocok. Kan katanya lo juga susah banget dijodohin. Jadi keluarga kita bikin eksperimen. Siapa tahu lo nggak cocok sama Aylara, tapi justru cocok sama versi bar-bar-nya.”
Arslan menatapnya takjub. “Versi bar-bar?”
“Yup. Perawat UGD, shift malam, doyan ayam geprek level 10, dan jujur sampai kadang nyakitin. Tapi asli nggak neko-neko. Jadi kalau dokter masih berharap Aylara yang muncul, gue pamit sekarang. Tapi kalau mau ngobrol dulu, ya udah, kita coba duduk kayak dua orang waras.”
Arslan diam beberapa detik, sebelum akhirnya menarik napas. “Baiklah. Duduk aja dulu Nayaka.”
Arslan menatap gadis di depannya seolah baru saja didiagnosis dengan penyakit langka. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang entah kenapa sekarang terasa terlalu panas.
“Aku maaf, kamu Nayaka?” tanyanya pelan, seolah butuh verifikasi ulang dari Tuhan langsung.
Nayaka menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki dan menyesap air lemonnya santai.
“Iya, masa Raisa,” jawabnya tanpa ekspresi bersalah. “Kaget ya? Kirain yang datang cewek kalem berkerudung, pinter masak, bibir tipis, rajin nonton kajian?”
Arslan menelan ludah. “Ehm nggak juga. Cuma di foto kamu beda.”
“Ya ampun,” Nayaka menepuk jidatnya sendiri, “emangnya cowok-cowok di Tinder pada mirip aslinya? Gile lo.”
Arslan tersenyum kaku. Perempuan ini tajam. Bukan cuma mulutnya, tapi juga logikanya. Dan entah kenapa, walau mulutnya seperti granat aktif, dia cantik.
“Tapi jujur ya, aku suka wajah lo,” lanjut Nayaka. “Kalo nggak impoten, mungkin udah gue seret ke KUA.”
“Bisa tolong jangan ngomong itu keras-keras?” bisik Arslan panik, melirik ibu-ibu di meja sebelah yang mulai curi dengar.
Nayaka cengar-cengir. “Santai dong. Itu kan fakta. Gue udah baca semua riwayat lo dari Bu Gita. Lengkap. Bahkan skripsi lo tentang fertilitas pria juga aku baca.”
Arslan memejamkan mata sesaat. “Kamu selalu se-blak-blakan ini?”
“Gue nggak suka muter-muter. Kalau lo rusak, ya bilang. Kalau gue niat bantu, ya gue benerin. Gue bukan cewek yang hobi disembunyikan di belakang pintu. Kalau nikah sama lo, semua harus jelas. Termasuk masa depan ‘kebun’ lo.”
Arslan hampir menumpahkan kopinya. “Kebun?”
“Lo ngerti maksud gue.”
Arslan mendesah panjang. Untuk pertama kalinya dalam 31 tahun hidupnya, dia merasa seluruh sistem imun mentalnya kalah telak oleh seorang perempuan.
Tapi ada yang menarik. Alih-alih mundur, dia merasa cukup dibuat penasaran.
Dokter Arslan menatap ke arah jendela kafe, berusaha menyusun kata-kata. Kedua tangannya yang biasa cekatan di ruang bedah kini malah gemetar tak tentu arah di atas meja.
Ia akhirnya berkata pelan, tanpa menatap Nayaka, "Kenapa kamu setuju menikah dengan pria seperti aku ini?"
Nayaka mengangkat alis, sambil mengaduk minumannya, santai.
"Pria seperti lo tuh yang kayak gimana dulu?"
Arslan menelan ludah. “Aku perfeksionis. Kaku. Nggak pandai bersosialisasi. Dan yang paling penting aku impoten, Nayaka.”
Keheningan menggantung sebentar. Tapi Nayaka justru menyandarkan punggung dan memiringkan kepala, menatap Arslan dengan ekspresi setengah geli setengah iba.
"Loh? Terus kenapa? Lo pikir gue dateng kesini cuma pengen urusan ranjang doang?"
Arslan menatap Nayaka, terkejut.
“Dengerin ya, Dok. Gue bar-bar, iya. Tomboy, jelas. Tapi gue bukan cewek kosong yang nggak punya isi kepala. Hidup gue udah sering digampar kenyataan. Gue tahu yang namanya cinta dan rumah tangga itu bukan soal ranjang doang.”
Ia bersandar lebih dekat, menatap mata Arslan lurus-lurus.
“Lo impoten, terus? Emangnya gue normal-normal banget? Kadang pas jaga UGD gue nangis sendiri di kamar mandi, ngerasa hidup nggak adil. Tapi gue bangkit lagi. Karena gue tahu orang rusak pun masih bisa dicintai.”
Arslan masih bungkam.
Nayaka mengangkat bahu.
“Kalau lo bisa jujur kayak gitu sebelum dinikahin, berarti lo punya keberanian. Dan gue suka orang yang berani ngaku kelemahan. Justru lebih gampang gue sayangin ketimbang yang sok jago tapi penipu.”
Ia menyesap minumannya. “Lagipula Dok impoten bukan akhir dunia. Yang penting kan hatinya masih bisa berdetak.”
Arslan menunduk, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ditatap bukan sebagai proyek gagal, tapi sebagai manusia.
Arslan menatap gadis di hadapannya dengan sorot mata tajam tapi tidak penuh kebencian. Tangannya menangkup cangkir kopi yang mulai dingin, suaranya datar namun tegas.
“Kamu menarik juga,” ujarnya tanpa basa-basi.
Nayaka menaikkan satu alis, lalu bersandar ke kursi. “Ya iyalah. Udah cantik, gratis ongkir pula,” celetuknya santai.
Arslan tetap serius. “Tapi aku mau lihat selama seminggu ke depan apakah kamu akan tetap di sini atau malah batalin semua ini. Karena aku akan lakukan beberapa hal yang mungkin bikin kamu ilfeel, muak, atau bahkan mundur.”
Ia menatap lurus, tajam tapi tidak bernada menantang lebih ke menekan.
“Sengaja,” sambungnya pelan, “karena aku masih belum percaya ada perempuan waras yang mau nikah dengan laki-laki kayak aku. Aku nggak cuma impoten. Aku perfeksionis, kontrol freak, keras kepala, dan nggak bisa basa-basi.”
Nayaka menyipitkan mata. “Jadi lo bakal nyiksa gue tujuh hari buat nguji mental? Gila sih,” ujarnya pelan. Tapi matanya berbinar bukan marah justru tertantang.
Arslan mengangguk. “Kalau kamu bertahan, aku kasih satu permintaan. Apapun misalnya uang, rumah, mobil, bahkan rumah sakit kecil kalau kamu mau.”
Nayaka tiba-tiba tertawa, tawanya ringan tapi bukan main-main. Ia mencondongkan tubuh ke meja, menatap Arslan dengan senyum tipis.
“Lo kira gue ikut audisi istri impoten demi hadiah? Gila ya,” katanya sambil geleng-geleng. “Kalau tujuh hari itu ujian lo, ya udah gas. Tapi abis itu giliran gue yang kasih tantangan balik.”
Arslan terdiam, jelas tak menyangka.
Nayaka melanjutkan, suaranya tetap santai tapi nada bicaranya berubah lebih rendah, dalam, dan tulus.
“Kalau gue bisa bikin lo berfungsi lagi normal bukan cuma secara medis, tapi juga batin dan kepala lo yang udah keburu pesimis itu lo mau kasih apa?”
Arslan membatu, tak menyangka perempuan ini bisa mengimbangi bahkan membalik permainannya. Tapi yang keluar hanya satu kalimat pendek, pelan tapi jelas.
“Kamu yakin?” ujarnya.
Nayaka mengangguk sambil tersenyum nyengir.
“Gue ini perawat, Dok. Urat malu gue udah tipis. Urat kasihan udah putus. Tapi gue tahu cara ngurusin pasien keras kepala kayak lo. Lagian,” ucapnya, lalu menyender ke kursi, “mungkin Tuhan kasih lo impoten biar bisa ketemu cewek bar-bar kayak gue.”
Arslan menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia tidak ingin buru-buru mengakhiri kencan buta itu.
Karena Nayaka, di balik kelakuannya yang ceplas-ceplos, menyimpan keberanian yang jarang ia temui bahkan di ruang operasi.
Dan mungkin hanya Nayaka yang cukup gila untuk bertahan dalam ‘eksperimen’ i
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Nabila Syarif
sudah kagum
2025-08-09
0
Zalita Lita🦩⃝ᶠ͢ᵌ
perempuannya berbeda dokter
2025-08-09
0
Tiana qioa
jujurnya pake bar-bar
2025-08-09
0