Menu Sehat Untuk Riyani

"Ada lah Bu. Abang belum siap buat kenalin ke ibu, kan belum tentu jalan sesuai dengan yang abang bayangkan sekarang,"

"Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya! Ibu kan juga pengen kenalan sama gadis yang bisa buat pandangan kamu beda,"

(Hanif sempat terkekeh)

"Iya, ibu pokoknya tenang aja. Juga satu lagi, jangan pernah kenalin abang sama cewek pilihan ibu lagi ya! Abang gak suka, Bu,"

"Iya, iya abang. Tapi kalau sampe beberapa bulan lagi belum juga bawa gadisnya ke rumah. Ibu bakal jodohkan kamu sama anak temen ibu,"

(Hanif menghela napasnya)

"Kan abang udah bilang Bu, kalau yang begini gak harus buru-buru. Masa abang deketin terus ajak ke rumah, sabar ya! kalau misalnya udah pasti, abang dan dianya juga suka jalaninnya. Mau diajak serius juga, abang ajak ke rumah deh!"

"Iya tapi jangan lama-lama,"

"Iya ibu, iya,"

"Sekarang udah malam, kamu tidur gih!! jangan sampe sakit, jangan terlalu sibuk kerja juga coba. Sesekali liburan kayak orang abang,"

"Iya ibu, Ibu juga sehat-sehat sama ayah ya!! Kalau ada apa-apa kasih tau abang,"

"Iya Abang. Kalau gitu ibu tutup ya teleponnya. Assalamualaikum!!"

"Waalaikumsalam Ibu."

Setelah panggilannya ditutup, Hanif memilih untuk membersihkan tubuhnya—berganti pakaian tapi alih-alih bersiap untuk tidur. Laki-laki itu malah mengambil beberapa berkas yang ada di tas-nya.

Kertas data pasien atas nama Riyani—itu tertera pada halaman pertama. Daftar menu makanan yang sudah ia tuliskan tadi sebelum pulang justru menjadi pertimbangan sekarang.

Dia gak bisa makan ikan laut.

Menunya ayam sama ikan air tawar dan juga telur berarti.

Buahnya dia suka semua?

Hanif menghela napasnya. Ia menuliskan beberapa menu di setiap harinya yang cocok sekiranya cocok untuk Riyani.

Laki-laki itu tersenyum, "selesai juga. Kayaknya udah aja kayak gini, lambungnya bisa sembuh sama ramah di kalori juga." Setelahnya, ia memilih untuk beristirahat.

Di sisi Riyani,

Keesokan paginya, Aku terbangun karena rasa mual yang kembali menusuk. Dengan cepat, aku pergi ke toilet lalu memuntahkan semua isi perutku.

Masih darah, bahkan masih terasa terbakar ketika semua isian lambung itu kembali naik ke kerongkonganku. Mulutku rasanya bau amis sampai aku menangis cukup kencang di toilet.

Tok... Tok... Tok...

"Neng buka pintunya, kamu kenapa sampe nangis begitu?" tanya kakak sepupu yang menjagaku.

Aku terus menangis hingga membuat teteh panik dan pergi memanggil perawat untuk membantunya.

Aku keluar dengan mata sembab setelah teteh pergi, padahal wanita itu panik dan pergi memanggil perawat agar aku bisa membuka pintu.

Ia menghela napasnya lega, "kamu gak apa-apa kan Neng?"

"Gak apa-apa teh," jawabku dengan senyuman simpul lalu terjatuh setelah menahan rasa pusing dan juga merasa lemas.

Sontak Teteh dan juga perawat yang berjaga itu terkejut. Dengan cepat perawat itu meminta bantuan rekannya, aku kembali dibawa ke ranjang pasien lalu diperiksa oleh dokter yang sedang berjaga.

"Bu nanti tolong diawasi adiknya ya! kalau misalnya muntahannya masih darah, kasih tau perawat atau dokter aja," ucap dokter jaga.

Teteh sepupuku mengangguk, "iya Dok. Terima kasih!"

Matahari sudah mulai terang, aku perlahan membuka mataku—merasakan perut yang masih begitu perih bahkan kini rasanya seperti sudah dipukul berkali-kali dengan kuat.

Tok... Tok... Tok....

"Permisi sarapan buat nona Riyani,"

Aku mengulas senyuman pada Hanif yang langsung mengantarkan makanannya untukku.

"Gimana?" tanyanya sembari menaruh sarapan yang ia bawa.

"Masih perih, bahkan sekarang sakit banget perutnya," jawabku.

"Tadi habis muntah lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Kenapa coba kira-kira?" tanyanya, "kan udah diobatin. Terus makanan juga dicatat dengan baik."

Aku sempat terdiam menunduk.

"Kenapa? Kamu buang makanannya tanpa sepengetahuan orang lain?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan, "abisnya makanannya gak enak. Masa sayur sup isinya cuman sedikit wortel sama bakso aja. Kenapa gak ada sambel atau ayam goreng aja. Nasinya juga lembut banget, benyek kayak muntah."

Hanif menahan senyumannya, "kalau nasi lembek kan biar lambung kamu gak perlu terlalu bekerja keras buat kerja. Terus ayam goreng dan sambel itu belum cocok buat lambung kamu yang lagi luka. Masa lagi luka dikasih makan yang pedes, nanti makin luka."

"Abisnya gak enak, kalau ada sambel kan gak terasa hambar nya. Seenggaknya gak sepahit itu," protesku.

"Katanya tadi perutnya sakit, sekarang malah minta sambel. Kamu kalau lagi luka di luar terus berdarah dicuci sama sambel kira-kira perih gak?" tanyanya.

"Ya iya atuh, lagian siapa yang lagi luka malah dicuci pake sambel," timpalku.

"Nah itu jawabannya, kalau luka luar aja yang gampang sembuhnya bisa perih kalau diobatin pake sambel. Gimana kalau luka dalem?" tanyanya balik.

"Sekarang banyakin sabar aja, jangan apa-apa dibuang. Kan makanannya juga harus dijaga, dikasih dari rumah sakit itu buat dimakan bukan buat dibuang," jelasnya dengan lembut.

Teteh sepupu hanya terdiam mendengarnya. Wanita itu memilih untuk keluar dari ruang perawatan—lebih baik ia mencari makanan dibanding harus mendengarkan omelan Hanif padaku.

"Jadi mau nurut kan sekarang?" tanyanya.

Ngapain juga aku nurut gitu aja sama kamu. Kamu kan cuman kenalan aku aja.

"Gak usah ngedumel. Kalau saya bukan siapa-siapa kamu, minimal nurut sama orangtua kamu aja. Gak mau kan liat mereka sedih kalau kamu sakit terus?"

Aku terdiam, lalu mengangguk mengiyakan setelahnya.

"Ya udah sekarang makan yang bener. Abisin ya!" ucapnya diangguki olehku.

Aku makan perlahan, walaupun rasanya begitu perih ketika masuk ke perut. Belum lagi rasa mual yang mulai nusuk ke atas.

"Mual?" tanya Hanif yang sejak tadi memperhatikan.

Aku mengangguk, menahan makanan yang kembali padahal setelah ku telan. Hanif dengan cepat mengambil kantong plastik yang ada di nakas dengan kue yang dibawa bibi kemarin.

Aku memuntahkan semuanya kembali dengan sedikit darah yang ikut keluar juga. Hanif dengan lembutnya memijat leherku agar lebih baik rasa mualnya.

"Udah A. Makasih ya!!" ungkapku dengan air mata yang masih basah di wajah.

Hanif kembali duduk di samping ranjang, "sama-sama. Kalau mual jangan dipaksain, sedikit-sedikit aja ya!" aku mengangguk mengiyakan.

"Gak kerja ya?" tanyaku, "kok nungguin saya seharian?"

"Emang gak boleh?" tanyanya.

"Bukan gak boleh, kan harus kerja. Masa nungguin pasien,"

Hanif terkekeh mendengarnya, "iya nanti kerja. Habis kamu makan."

"Kan ini udah makan,"

"Kamu kayaknya ngusir yaa?" tanyanya.

Aku terkekeh mendengarnya, "bukan ngusir. Kan gak enak aja sama yang lain."

"Gak mau ya ditungguin sama saya?"

"Bukan—"

"Jadi mau?" tanyanya menyela.

"Gak tau ah. Udah sana kerja," ucapku.

Hanif terkekeh mendengarnya, "pipi kamu merah banget. Demam atau malu sama aku?" tanyanya dengan senyuman menggoda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!