Bab 2

Di tengah-tengah mereka mengobrol santai, seorang siswi tiba-tiba masuk ke ruangan tempat mereka berkumpul.

“Cari siapa?” tanya Febi yang kebetulan duduk paling dekat dengan pintu.

“Ini Bu, saya mau ngumpulin tugas,” jawab siswi itu pelan sambil memegang buku.

“Sama siapa?” tanya Febi lagi, masih dengan senyum ramah.

“Itu Bu, Pak Ekonomi,” jawabnya cepat sambil menunjuk ke arah Rizki.

Seisi ruangan langsung menahan tawa. Wajah Aldin memerah menahan geli, sementara yang lain saling melirik dengan ekspresi penuh usaha untuk tidak tertawa.

“Namanya Pak Rizki ya. Diingat, biar gak salah lagi,” ujar Hana lembut, mencoba meredakan suasana.

“Iya Bu. Maaf. Terima kasih Bu.” ucap siswi itu buru-buru, lalu melangkah cepat keluar ruangan.

Begitu pintu tertutup, ledakan tawa pun tak terhindarkan.

“Pak Ekonomi, hahahaha!” Aldin tertawa keras sambil memukul meja.

“Gue yakin lo juga sering dipanggil Pak Olahraga sama anak-anak,” balas Rizki sambil tertawa.

“Gue malah pernah dipanggil Bu! Padahal udah jelas-jelas ini laki tulen,” celetuk Aldin, membuat semuanya kembali tergelak.

Namun keseruan mereka harus terhenti karena suara bel tanda pergantian pelajaran kembali berbunyi.

“Kalian masih ada jam lagi gak?” tanya Yura sambil melirik jadwal di tangannya.

“Ada sih… tapi asli males banget,” keluh Febi sambil memijat pelipis.

“Sama. Mood gue udah hilang sejak tadi,” sahut Hana lesu.

“Semangat ya kalian berdua. Gue ada jam terakhir nanti, jadi masih bisa leha-leha sebentar,” ujar Rizki sambil selonjoran.

“Gue juga jam terakhir, tapi mager banget pengen istirahat aja,” tambah Yura.

“Gue mah udah kelar. Semangat kawan-kawanku tercinta,” ucap Aldin dengan gaya dramatis, lengkap dengan ekspresi mengejek.

Keempat temannya hanya menoleh sekilas, malas menanggapi. Sudah terlalu sering Aldin sok menang sendiri kalau udah bebas jadwal.

“Gue duluan ya guys,” pamit Hana sambil mengambil buku dari mejanya.

“Gue juga,” Febi menyusul, keduanya berjalan keluar ruangan dengan langkah berat.

“Minum kopi ah, ke kantin dulu gue,” kata Aldin sembari merapikan bajunya.

“Gue punya feeling lo bakal dipanggil guru,” celetuk Yura sambil tersenyum licik.

“Jangan sampe! Tarik ucapan lo, Yura!” seru Aldin panik.

“Jangan mau, Yura! Doakan sekalian dia disuruh ngangkat kursi ke aula!” timpal Rizki, mengompori.

“Woy, woy, gue capek banget hari ini. Jangan jahat-jahat lah, bro!” Aldin mengeluh, tapi tetap melangkah ke pintu.

Mereka tertawa kecil melihat ekspresi Aldin yang mendadak panik.

Tepat saat Aldin sudah berada di depan pintu, langkahnya terhenti karena seseorang memanggil.

“Aldin,” sapa Pak Tamam, salah satu guru senior, sambil menghampiri.

Aldin langsung berbalik dan menghentikan langkahnya. “Iya, Pak?”

“Itu, teman-teman kamu lagi ngajar semua ya?” tanya Pak Tamam sambil melongok ke dalam ruangan.

“Dua orang lagi ngajar, Pak. Dua lagi nanti jam terakhir,” jawab Aldin sopan.

“Kalau kamu?”

“Saya udah gak ada jadwal ngajar lagi, Pak,” jawab Aldin, masih dengan senyum tipis.

“Wah, bagus kalau gitu. Bantuin saya ke aula ya. Mau benerin lampu, tapi butuh bantuan buat mindahin tangga,” pinta Pak Tamam santai.

Seketika itu juga, Aldin terdiam. Ia menelan ludah perlahan, dan dalam hati langsung mengumpat lirih.

“Njir… omongan mereka bener-bener diijabah Tuhan,” gerutunya dalam hati.

“Iya Pak,” jawabnya pelan, berusaha tetap sopan meski wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa pasrah.

Sebelum benar-benar melangkah pergi, Aldin sempat melirik ke dalam ruangan, tepat ke arah dua sahabatnya yang sedang duduk santai.

Yura hanya mengangkat bahu dengan ekspresi datar, sementara Rizki tersenyum sinis dan menahan tawa. Ekspresi mereka berdua jelas penuh ejekan, seolah ingin berkata: “Tuh kan, apa gue bilang.”

“Untung gue juga ada jam. Kalau nggak, bisa-bisa sekarang gue yang disuruh ngangkat tangga,” celetuk Rizki sambil tertawa kecil.

“Syukurlah gue aman,” ucap Yura sambil menyilangkan tangan, merasa lega.

Aldin hanya bisa menghela napas panjang sambil mengikuti Pak Tamam menjauhi ruangan.

“Emang mulut kalian tuh beneran gak boleh asal nyebut…” gumam Aldin lirih sambil melangkah pasrah.

Tawa kecil kembali pecah di ruangan itu, karena mereka benar-benar tak menyangka kalau Aldin akan di panggil sama Pak Tamam.

...****************...

Setelah bel pulang berbunyi, mereka semua kembali ke ruangan.

“Kalian langsung balik kah?” tanya Febi sambil melepas sepatunya dan meregangkan bahu.

“Iya, capek banget soalnya,” jawab Hana sambil duduk di kursinya, yang langsung diangguki oleh Yura.

“Si Aldin belum balik?” tanya Rizki saat masuk ke dalam ruangan dengan tangan masih membawa buku catatan.

“Belum. Dia ke mana?” tanya Hana sambil melirik jam dinding.

“Ke aula, sama Pak Tamam. Katanya bantu benerin lampu,” jawab Rizki santai.

Belum sempat mereka menanggapi, pintu ruangan kembali terbuka. Aldin muncul dengan keringat bercucuran, wajah merah, dan napas ngos-ngosan seperti habis sprint seratus meter.

“Habis maraton, lo?” celetuk Yura, menahan tawa.

“Diem lo!” sahut Aldin sebal sambil meletakkan topinya di atas meja.

“Ini semua salah kalian berdua!” tunjuk Aldin ke arah Yura dan Rizki.

“Lah, salah dari mana coba?” tanya Rizki bingung, meski senyum geli mulai terlihat di wajahnya.

“Doa kalian tuh diijabah Tuhan, bener-bener kejadian! Gue kerja sendirian di aula, bro! Sendirian!” kata Aldin sambil menjatuhkan diri ke lantai dengan ekspresi dramatis.

“Itu mah bukan salah kami Din. Itu tanda Tuhan sayang sama lo. Dari pada lo leha-leha di kantin terus jadi contoh buruk buat siswa, kan gak baik,” ucap Yura dengan nada sok bijak.

“Serah lo dah... gue capek!” Aldin menggelosor lemas di lantai.

“Eh tapi serius deh,” tanya Yura sambil menatap curiga, “Katanya cuma mindahin tangga buat benerin lampu, kok lo ngos-ngosan gitu sih? Kaya habis lomba panjat pinang.”

“Mindahin tangga itu cuma alibi,” desah Aldin berat. “Gue disuruh mindahin kursi dari aula ke kelas baru di lantai atas.”

Seketika itu juga, tawa Yura dan Rizki pecah seperti balon meletus. Keduanya tertawa sambil memegangi perut, nyaris terguling dari kursi.

“Woy, lo becanda waktu bilang ‘dipanggil buat mindahin kursi’, ternyata beneran dong!” Rizki nyaris menangis tertawa.

Hana dan Febi pun akhirnya ikut tertawa mendengar penderitaan Aldin yang benar-benar sesuai dengan 'ramalan' mereka.

“Gila, ini bukan lagi feeling, ini udah level dukun,” celetuk Febi sambil menyeka air mata di sudut matanya.

Aldin hanya menatap mereka dari lantai, pasrah.

“Udahlah, kalau kalian udah puas ngetawain penderitaan gue, tolong beliin gue es teh manis di kantin. Gue haus,” rintihnya.

Tapi tak satu pun yang bergerak.

“Teman macam apa kalian ini,” gumam Aldin, lalu memejamkan mata di lantai, pura-pura pingsan.

"Bangun lo, kita mau pulang," ucap Febi.

"Belum juga kering keringat ini, udah diajak pulang," Aldin memulai dramanya.

"Gak usah ngadi-ngadi lo, bangun!" Rizki menarik tangan Aldin agar segera bangun.

"See you tomorrow guys," ucap Yura yang sudah siap untuk beranjak pergi.

"Bener-bener lo ya," Aldin pun segera membereskan barang bawaannya, sebelum di tinggal teman-temannya.

Tawa pun kembali pecah, menutup hari mereka dengan cerita lucu yang tak akan habis dibahas sampai besok.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!