Colosseum

Keesokan harinya, matahari pagi baru saja naik saat Arya menoleh ke arah dua rekannya.

"Sudah selesai berkemas? Ayo, kita berangkat," ucapnya.

"Sudah!" sahut Dina dan Gamma serempak.

Setelah menempuh perjalanan sepanjang hari, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Arya mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti.

"Baiklah, kita istirahat dulu. Makanlah, sambil kita berbincang."

Arya lalu membuka kantong sihirnya dan mengeluarkan berbagai jenis senjata. Diletakkannya satu per satu di atas kain.

"Gamma, senjata apa yang kamu mau pakai? Di sini ada pedang satu tangan kecil dan tipis, kerambit, pistol, dan gulungan benang yang bisa memotong apa saja jika dialiri sihir."

Gamma memandangi senjata-senjata itu dengan rasa penasaran.

"Hmm... bagaimana ya, aku kurang tahu. Kak Arya punya rekomendasi?"

Arya mengangguk. "Bagus. Aku rekomendasikan benang."

"Kenapa benang?"

"Kamu bisa menghilang, kan? Kalau kamu bertemu orang yang punya skill SEARCH, kamu bisa mengecoh mereka pakai benang ini. Tinggal pasang jebakan atau menutup jalan mereka. Benang ini tidak bisa diputuskan atau dilelehkan. Terbuat dari mithril."

"Mithril?! Maksud kakak... logam langka itu?! Dari mana kakak dapat?"

Dina menyahut santai sambil menyuap makanannya, "Gak usah dipikirin. Dia tuh abnormal. Semua senjata itu, kecuali pistol, terbuat dari mithril. Bahkan dua dagger punyaku juga dari mithril."

"Aku dapatkannya di tambang," kata Arya, menjelaskan. "Tapi butuh skill SEARCH buat nemuin letaknya. Nambangnya juga susah, harus hati-hati biar tambangnya nggak roboh. Pengolahannya pun rumit. Tapi alasannya jelas: mithril mudah dialiri sihir."

"Hebat!" Mata Gamma berbinar. "Kalau begitu aku pilih benang."

"Oke. Sekarang coba rasakan dulu aliran sihir dalam tubuhmu."

"Tapi aku nggak punya sihir. Cuma bisa pakai skill menghilang."

"Tidak, Gamma. Semua makhluk hidup punya sihir dalam tubuhnya. Tapi kalau nggak berbakat, sihirnya nggak bisa digunakan. Kamu beda, kamu berbakat. Cuma perlu dilatih sedikit. Nih..." Arya menyentuhkan telapak tangannya ke tangan Gamma, menyalurkan energi sihir.

"Rasakan apa yang ada di telapak tanganmu."

"Hmm... hangat... sedikit dingin, dan nyaman?"

"Benar. Itulah energi sihir. Sekarang pejamkan mata, tenangkan pikiran, dan cari energi itu di dalam dirimu."

Gamma menutup matanya. "Hummmm... energi sihir... energi sihir..." Dia membuka matanya. "Nggak ketemu, Kak..."

"Haha, santai saja. Coba terus."

Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Gamma membuka matanya lebar.

"Oh! Ini ya?! Rasanya sama seperti tadi di telapak tanganku!"

"Bagus!" Arya tersenyum. "Sekarang salurkan ke benang ini. Anggap benangnya adalah perpanjangan dari tanganmu."

Gamma mencoba. Beberapa detik kemudian, benang itu mulai berkilau halus.

"Wuih! Benangnya kayak berkilau!"

"Hebat. Kamu beneran berbakat, meski baru sembilan tahun. Sama seperti kami berdua saat awal latihan. Coba potong pohon di samping itu pakai benang ini."

Settt!

Pohon itu terpotong dengan bersih.

"Wah?! Kok bisa terpotong padahal nggak ada tekanan sama sekali?!"

"Benang itu sudah kuatur agar tidak melukai pengguna maupun orang terdekatnya. Sekarang kamu tinggal latih jari dan telapak tanganmu agar bisa menarik dan mengontrolnya dengan lihai. Panjang maksimalnya satu kilometer."

"Siap, Kak! Aku bakal latihan keras!"

"Bagus. Sekarang lanjut makan."

Dina sudah hampir selesai makan. "Nyam nyam... eh, makanannya udah habis ya?"

Arya memandang piringnya. "Lho, kok makanan di sini tinggal sedikit?!"

"Kalian kebanyakan ngobrol, jadi aku makan sebagian," ucap Dina santai.

"Kak Dina ini! Kenapa rakus sekali! Aku aja baru makan sedikit!" keluh Gamma.

"Hahaha, siapa cepat dia dapat!"

"Udah, udah," Arya tertawa. Ia membuka kantong sihirnya lagi. "Ini masih ada lagi."

"Yeayyy!" Gamma dan Dina bersorak bersama.

Namun Gamma langsung menunjuk kakaknya. "Tapi Kak Dina kan udah makan banyak. Gak boleh lagi!"

"Apa?! Jangan pelit dong!" balas Dina.

Arya hanya bisa tertawa melihat keduanya.

Sambil mengunyah, Gamma berkata, "Kak, ada yang kurang dari senjatanya. Bisa nggak benangnya dibentuk jadi cincin dan dikecilkan pakai sihir ruang?"

"Oh? Kamu mau pakai sihir ruang buat mengecilkan dan menjadikannya cincin? Gimana kalau aku buat dua cincin? Satu di tangan kanan, satu di kiri."

"Bisa gitu?!"

"Tentu! Aku ini siapa?" Arya tertawa lebar. "Ayo, serahkan dulu."

Gamma menyerahkan benangnya.

"Cukup satu jam," ujar Arya. Ia mulai bekerja, mengukir sihir ruang ke dalam struktur benang mithril itu.

Beberapa saat kemudian, Arya menyerahkan hasilnya. Dua cincin kecil berwarna perak kebiruan.

"Ini dia. Masing-masing cincin bisa mengeluarkan benang sepanjang 500 meter."

"Wah! Kakak hebat banget! Jenius!"

"Wahahaha! Pujilah terus kakakmu ini!"

"Tch. Gila pujian," gumam Dina.

Arya tertawa lebih keras. "Coba dulu. Biasakan pakai itu."

Gamma mengangguk. Tiga hari berlalu, dan ia semakin mahir menggunakan senjata barunya.

Perjalanan berlanjut menuju kota Eryua.

 

Saat sore berganti malam dan langit memerah di barat, Gamma menoleh pada Arya dan Dina yang berjalan di depan.

"Eh, aku boleh ikut bertarung juga nggak?" tanyanya.

Arya menoleh singkat. "Nggak boleh. Itu terlalu berbahaya."

"Benar," tambah Dina cepat. "Belum waktunya untukmu."

Tapi Arya terdiam sejenak, memandang ke depan seolah berpikir. "Hmm... Tapi mungkin pengalaman langsung akan lebih berguna baginya..."

Dina langsung melotot. "Kamu mau membiarkan anak secantik Gamma ikut bertarung?!"

"Bukan begitu. Tapi kau sendiri yang akan bersamanya saat infiltrasi. Kalau dia dapat pengalaman nyata, dia bisa belajar menghadapi musuh sungguhan."

"Ya sih... Tapi bukannya sparring dengan aku lebih aman?"

"Aman? Kamu? Si fanatik pertarungan itu?" ejek Arya sambil terkekeh.

Dina memukul lengan Arya ringan. "Hah?! Kamu ngejek aku ya?!"

Gamma menatap keduanya bergantian. "Jadi... boleh atau nggak?"

Arya akhirnya mengangguk. "Oke, tapi jangan jauh-jauh dari Dina, ya?"

"Iya, nanti bahaya," tambah Dina dengan nada lembut.

"Terima kasih, Kakak!"

 

Malam itu, mereka tiba di wilayah Eryua. Kota itu tampak sepi, tetapi aura kejahatan terasa kuat di udara. Gamma, yang ingin membantu lebih banyak, menerima tugas dari Arya.

"Gamma, bisa kutitipkan pengumpulan informasi padamu?"

"Serahkan saja padaku," jawabnya. Ia pun segera menghilang, bergerak cepat menuju mansion target.

Setelah menyusup ke dalam, Gamma menyadari sesuatu.

"Hanya lima belas penjaga?" gumamnya dalam hati. "Tidak sebanyak di Tizar, tapi aura mereka... lebih kuat. Seperti para veteran..."

Suara dari dalam bangunan menarik perhatiannya.

“Tuan, jangan berjalan terlalu jauh! Bisa saja Exone menargetkan mansion ini, seperti tempat lain.”

“Apa katamu?! Kenapa aku harus takut?! Aku sudah menyewa petualang peringkat A yang dikeluarkan dari guild mereka—mereka terkenal kejam. Tidak mungkin bisa dikalahkan!”

Gamma mengepalkan tangan. "Petualang A-rank? Gawat. Aku harus lapor dulu... Tapi sebelumnya, cek apakah ada ruangan tersembunyi..."

Setelah memastikan tidak ada ruang rahasia, Gamma kembali.

"Ada lima belas penjaga," lapornya pada Arya. "Mereka mantan A-rank, dikeluarkan dari guild karena terlalu brutal. Aku nggak menemukan ruangan tersembunyi."

Arya menyimak dengan tenang. "A-rank, ya? Tapi kamu bilang ingin bertarung. Jadi, sudah siap?"

"Tentu! Tapi kalau aku kesulitan, bantu aku ya?"

"Tenang saja," kata Dina. "Aku dan kakakmu akan mendukung dari jauh."

"Iya. Nggak perlu khawatir," tambah Arya.

"Baiklah!"

Arya menatap langit malam. "Kita mulai tengah malam. Sekarang kalian boleh eksplor dulu."

 

Tengah malam pun tiba.

"Baik," Arya berbisik. "Mulai."

Dina melesat lebih dulu, senyap seperti bayangan. Gamma menghilang di belakangnya. Mereka mendekati mansion dengan langkah ringan dan penuh perhitungan.

Di depan gerbang, dua penjaga berdiri. Dalam sekejap, Gamma membungkus satu dengan benangnya dan mencekiknya tanpa suara. Dina menebas leher yang lain.

*Slice* — kepala terpisah, tubuh jatuh diam.

Saat mereka membuka pintu utama, beberapa penjaga menyambut mereka.

"Jadi akhirnya kalian muncul?"

"Anak kecil?!"

Beberapa dari mereka dapat melihat Gamma—mungkin berkat skill *SEARCH* atau kepekaan terhadap aura.

"Kalian Exone?"

"Nggak mungkin, cuma anak-anak?"

Dina dan Gamma tak menjawab. Mereka langsung menyerang.

*Clang clang* — belati Dina beradu dengan pedang musuh. Ia mundur, lalu melesat dan menebas tangan, kaki, hingga kepala lawan.

Gamma bergerak ke yang tidak bisa melihatnya. Benangnya menyebar—tiga orang terpotong dalam sekejap.

"Eh?! Kenapa tiba-tiba ada yang mati?!"

"Awas! Seseorang pakai skill menghilang!"

"Aaargh—!" Salah satu jatuh, tubuhnya terbelah.

Dina dan Gamma terus menyerang, hingga hanya satu orang tersisa. Yang satu ini berbeda.

"Gamma, hati-hati!" seru Dina. "Yang satu itu kuat!"

"Baik, Kak!"

Dina menyerang, tapi lawan menangkisnya dengan mudah meski belatinya dari mithril.

"Hoo, kamu kuat juga. Siapa gurumu?"

"Ngga usah banyak omong!" teriak Dina sambil menebas lagi.

"Ah, jangan dingin gitu dong~"

Gamma menyerang dari belakang dengan benangnya, tapi si pria menghindar seolah tahu sebelumnya. Serangan mereka buntu.

"Kak Arya, yang ini kuat banget!" teriak Gamma dari kejauhan.

"Aku mengerti..." bisik Arya.

Dina mencoba menyerang titik vital, tapi lawan terus menghindar. Lalu—*bang*—peluru menembus kepala pria itu. Tubuhnya roboh, tewas seketika.

Arya menurunkan snipernya dari atas bukit.

"Ayo cari penguasanya sekarang," kata Dina.

"Dia di lantai empat," lapor Gamma. "Siapa yang akan membunuhnya?"

"Arya. Kita pancing dia keluar ke jangkauan Arya. Setelah itu, cari siapa saja yang terhubung dengannya dan bunuh juga."

"Termasuk anaknya?"

"Kalau sudah dewasa dan tidak punya hati nurani, iya. Tapi kalau masih kecil, biasanya dibiarkan hidup."

"Begitu ya..."

*Slice!* Pintu diterobos.

"I-itu... kenapa kalian di sini?! Mana para penjaga?!"

Dina tersenyum sinis. "Selamat malam, sampah. Mau kabur? Silakan."

"B-benar?! Kalian biarkan aku kabur?!"

"Silakan."

Pria itu berlari keluar mansion dengan napas terengah. Tapi sesaat setelah melangkah keluar—*bang*—sebutir peluru menembus kepalanya.

Dina memandangi mayat itu dingin. "Aku bilang kau boleh pergi. Tapi tidak pernah bilang kau akan aman."

Gamma terdiam.

"Bagaimana rasanya membunuh untuk pertama kali, Gamma?" tanya Dina pelan.

Gamma memandang tangannya. "Di satu sisi... aku senang orang seperti mereka mati. Tapi di sisi lain... rasanya aneh. Kasihan..."

Dina memeluk adiknya itu. "Itu perasaan yang wajar. Kadang, untuk menghukum orang yang sudah kehilangan kemanusiaannya... kita tak bisa lagi menggunakan kemanusiaan."

Gamma mengangguk pelan.

Eksekusi malam itu kembali sukses. Dan seperti biasa... hanya para pelayan yang dibiarkan hidup.

 

Setelah penguasa Eryua tewas, malam kembali tenang. Di tempat peristirahatan mereka, Gamma duduk sambil menatap api unggun.

"Kamu kenapa, Gamma?" tanya Arya, melihat ekspresi murung adiknya.

"Tak apa-apa... cuma belum terbiasa membunuh orang."

"Itu hal yang wajar." Arya mengangguk pelan. "Bukan berarti kamu harus membiasakan diri membunuh. Tapi ini adalah jalan yang kamu pilih. Kalau terlalu berat, bagaimana kalau di misi berikutnya kamu tidak ikut bertarung?"

"Benar tuh," sambung Dina. "Biar kami saja yang urus bagian kotor ini."

"Tidak!" sahut Gamma cepat. "Aku mau ikut bertarung! Aku tidak akan menghambat kalian!"

Arya tertawa kecil. "Haha, ya sudah. Kalau itu maumu. Ngomong-ngomong... aku bikin es krim tadi pagi. Kalian mau?"

"Pastinya!" seru Dina dan Gamma bersamaan.

Tujuan berikutnya adalah kota Yuira. Perjalanan akan memakan waktu lima hari.

Namun baru dua hari berjalan...

Tssshhh!

Sebuah serangan api meluncur dari hutan dan langsung dihentikan oleh perisai sihir Arya.

"Hoo, bisa menghalau serangan mendadak, ya? Hebat juga," terdengar suara dari balik semak. "Kalian ini... Exone, bukan?"

Arya menyipitkan mata. "Maaf, Anda siapa?"

Sosok pria berbaju merah api muncul, wajahnya arogan. "Oh, maaf. Perkenalkan, aku Mars si Api. Dari Seven Eclipse."

"Seven Eclipse?" Arya dan Dina bertukar pandang. "Ada perlu apa Anda dengan kami?"

"Tentu saja... membunuh kalian," ucap Mars dengan nada santai. "Aku sudah mencarimu berminggu-minggu, dan akhirnya ketemu juga. Hmmm, jadi benar kalian masih anak-anak, ya?"

"Mungkin Anda salah orang," kata Arya datar.

"Jangan omong kosong. Energi sihir yang tertinggal di tempat eksekusi sebelumnya cocok dengan milik kalian. Kalian sengaja meninggalkannya untuk memancing?"

"Tidak juga."

"Kalau begitu... matilah!"

Mars meluncurkan serangan. "Fire Storm!"

Arya segera membentangkan penghalang. "Barrier! Kalian berdua mundurlah! Biar aku saja."

"Apa kami tidak boleh ikut bertarung?" tanya Dina.

"Tidak," kata Arya. "Sekali-kali aku ingin bertarung langsung."

Mars menyeringai. "Kalian meremehkanku?"

"Tidak. Aku tidak pernah meremehkan lawan."

Mars mulai mengamuk dengan sihir api AOE yang menyebar luas. Arya menghindar menggunakan teleportasi jarak pendek, menembakkan peluru es dan angin dari dua pistolnya. Tapi serangan itu tertelan dalam api.

Mars mencibir. "Hanya segitu?!"

"Infernal Burst!" Serangan muncul dari bawah, mengepung Arya dalam api.

"Swap!" Arya memindahkan dirinya ke belakang, menembak dua peluru sihir. Tapi lagi-lagi tak menembus api.

Arya mulai mengatur ritme, berpikir cepat.

(Gaya bertarungnya brutal... Tapi terlalu besar skalanya. Dia tidak bisa membaca serangan cepat.)

Ia mengisi kembali pistolnya, lalu melompat, berlari zig-zag di antara batuan, teleportasi pendek, lalu...

"Frost Shard!"

Serangkaian peluru es menabrak tanah, menciptakan dinding-dinding kecil yang membatasi gerak Mars.

Mars meluncurkan Flame Wave! — api menyapu luas, memaksa Arya terbang ke udara.

Saat berada di titik tinggi, Arya menodongkan pistol besar.

"Snow Storm Cannon!"

Ledakan sihir es menghantam Mars secara frontal. Api di tubuhnya padam sebagian, dan kulitnya membeku.

"Apa ini?!" Mars marah. "Kau... monster!"

Arya mendekat dalam sekejap, pistol di tangan mengarah ke kepala Mars.

"Kau kuat. Tapi terlalu barbar... dan terlalu monoton."

*Dor!

Peluru menembus kepala Mars, mengakhiri pertarungan.

Di belakang, Dina menyaksikan dengan takjub. "Gaya bertarung macam apa itu? Pindah-pindah sambil terus menyerang..."

"Kakak hebat banget!" seru Gamma.

"Wahahaha! Puji terus kakakmu ini, wahai adikku tersayang!"

Di suatu ruangan gelap...

"Jadi Mars mati?"

"Sudah kuduga. Dia hanya seorang barbar. Pasti mati duluan."

"Siapa selanjutnya? Exone benar-benar ancaman."

"Aku."

"Kau yakin?"

"..."

Sementara itu, di tengah perjalanan...

"Kak, apa itu Seven Eclipse?" tanya Gamma.

"Kami juga nggak tahu. Kami tinggal di desa dan sepanjang jalan nggak pernah dengar nama itu."

"Benar," timpal Dina. "Pengguna sihir saja jarang ditemui, apalagi organisasi seaneh itu."

"Kalau begitu... bolehkah aku mencari tahu?"

"Mencari tahu? Di mana? Jangan bilang kamu mau ke ibu kota kerajaan?" Arya memicingkan mata.

"Iya. Kemungkinan besar, mereka berasal dari sana."

"Tapi itu berbahaya."

"Aku ini bagian intel, kan? Bukankah ini saat yang tepat untuk menunjukkan kemampuanku?"

"Kami bisa pergi bertiga."

"Tidak boleh!" tegas Dina.

"Tapi aku juga sudah kuat..." Gamma menatap Arya dengan mata memohon.

"Uuuhhh... jangan tunjukkan tatapan seperti itu..." Arya mengusap wajahnya.

"Kumohon... Aku bisa menyusup ke organisasi bawah tanah dan mencari informasi berguna. Lagian, aku punya alat komunikasi jarak jauh."

Arya mengeluh. "Iya, iya. Tapi kalau bahaya, langsung kabur dan jangan memaksakan diri. Nih, bawa juga ini."

"Apa itu?"

"Gelang teleportasi. Bisa berpindah ke tempat yang pernah dikunjungi. Tapi aku cuma punya dua. Satunya dipakai Dina. Soalnya bikin alat ini sulit banget."

"Jadi gelang yang dipakai Kak Dina... itu teleportasi?"

"Iya. Tapi aku belum pernah pakai," jawab Dina. "Aku lebih suka mengandalkan kakiku sendiri."

Dina menatap Arya dengan serius. "Kamu beneran izinkan Gamma pergi sendiri?"

"Bisik-bisik Kita harus percaya pada kemampuan adik kita sendiri," jawab Arya pelan.

"Bisik-bisik Tapi itu berbahaya banget!" balas Dina.

"Bisik-bisik Tenang saja. Cincin yang dia pakai sudah kuatur. Kalau pemiliknya dalam bahaya, akan mengirim sinyal peringatan padaku. Aku bisa langsung teleport ke sana."

"...Oke deh. Kalau begitu, aku juga izinkan kamu, Gamma. Tapi ingat! Jangan memaksakan diri!"

"Terima kasih, Kakak!"

Gamma pun berpisah dari Arya dan Dina. Ia melangkah menuju ibu kota kerajaan, seorang diri.

Dalam perjalanan...

"Hmmm... Gimana cara cari informasi, ya? Seven Eclipse punya hubungan dengan organisasi bawah tanah, kah? Ah, nanti aja. Fokus ke ibu kota dulu."

Sesampainya di ibu kota, Gamma tercengang.

"Ibukotanya luas... Tapi hanya istana dan rumah para penguasa yang megah. Kesenjangan mencolok sekali..."

Ia melangkah ke sebuah bar kecil.

Kerchakkk.

Semua orang menatap saat dia masuk.

"Permisi. Saya pesan susu, satu."

Bartender terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Ini dia."

"Pak, apakah Anda tahu tentang Seven Eclipse?" Gamma mengeluarkan sekantong koin.

Mata semua orang kembali tertuju padanya.

"Seven Eclipse?" ulang sang bartender, mengembalikan koin. "Untuk apa nona kecil bertanya tentang itu?"

"Aku hanya penasaran."

"Oi, anak kecil! Tahu apa yang kamu ucapkan? Seven Eclipse?! Kamu sehat?!"

"Diam, kalian!" potong bartender. Ia menatap Gamma serius. "Seven Eclipse adalah organisasi di bawah komando ajudan raja. Itu saja yang kami tahu. Jika kamu benar-benar ingin tahu, masuklah ke organisasi bawah tanah. Di sana banyak informasi rahasia."

"Begitu ya... Terima kasih banyak, Pak." Gamma menyelipkan koin dan tip.

Bartender menyerahkan sebuah alamat. "Senang bisa membantu."

Kerchakkk. Gamma keluar dan bergumam.

"Jadi Seven Eclipse di bawah ajudan raja... Pengetahuan umum, ya? Kalau begitu... waktunya menyusup."

Ia menuju organisasi bawah tanah.

"HALO HALO! LELANG BUDAK SEGERA DIGELAR! MERAPAT!"

Gamma menunduk, matanya suram.

"Budak, ya..." bisiknya. "Aku ingin menyelamatkan kalian... Tapi ini demi misi. Maafkan aku..."

Ia melihat papan pengumuman, lalu berhenti pada sebuah poster.

"Apa ini...? Pertandingan arena untuk mengisi kursi kosong Seven Eclipse?!"

Gamma bertanya pada pria di dekatnya. "Pak, ini maksudnya apa ya?"

"Hah? Anak kecil?! Oh, itu... Pertarungan satu lawan satu di arena. Diadakan oleh ajudan raja. Kursi Mars si Api kosong."

(Mars si Api?!) Gamma terkejut.

"Di mana saya bisa mendaftar?"

"Kamu mau mendaftar? Jangan buang nyawamu! Banyak petualang veteran ikut. Dan pertarungan itu... sampai salah satu tewas."

"Saya punya tujuan. Dan saya kuat."

"Cih... Kalau kamu mati, aku nggak tanggung jawab. Itu, ke arah sana."

"Terima kasih banyak, Pak!"

Gamma berjalan menuju loket pendaftaran dengan langkah penuh tekad. Ia telah mendaftar...

Tapi bagaimana nasibnya selanjutnya?

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!