NovelToon NovelToon

OBSESI SANG “CALON CEO”

01. Keluarga Dirgantara Wijaya.

Gyan tengah bersiap di dalam kamarnya. Hari ini pemuda berusia dua puluh lima tahun itu akan mulai bekerja di kantor Wijaya, sebagai calon direktur utama yang akan menggantikan posisi papi Richard — sepupu sang ayah, saat pria paruh baya itu pensiun nanti.

Pemuda itu, sekali lagi mematut diri di depan cermin. Memastikan penampilannya sudah sempurna atau belum.

Namun, ia merasa tidak puas. Gyan pun mengambil foto selfie dirinya di depan cermin. Kemudian mengirim gambar itu pada Gracia Aurora Wijaya. Sepupu wanita satu - satunya yang ia miliki. Sekaligus menjadi cinta pertamanya.

‘Apa penampilan ku sudah sempurna?’

Sebaris kalimat yang pemuda itu sematkan pada foto yang ia kirim.

Gyan berdecak pelan. Kebersamaan yang ia jalin dengan Cia sejak usia empat tahun itu, nyatanya telah membuat rasa cinta tumbuh di hati pemuda itu.

Ia menyadari perasaan itu saat mereka berusia tujuh belas tahun, di semester akhir kelas tiga SMA. Saat itu, ada seorang pemuda yang ingin menyatakan cinta pada Cia, Gyan merasa cemburu. Dan tidak ingin melihat gadis itu bersama pria lain.

Cemburu, bukan sebagai saudara, namun seperti seorang pria kepada lawan jenisnya.

Gyan selalu berusaha menepis rasa tak biasa yang tumbuh di hatinya. Bagaimana pun juga, mereka masih keturunan ketiga keluarga Wijaya. Dan dalam hal itu, pernikahan tidak boleh terjadi.

Maka Gyan pun menyibukkan dirinya dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi calon direktur utama. Namun, semakin Gyan mencoba menghilangkan rasa cintanya pada Cia, semakin besar pula rasa itu tumbuh di hatinya.

Ting!

Pesan balasan pun muncul di layar ponsel pemuda itu. Ia bergegas membukanya. Apapun tentang Cia, Gyan harus cepat tanggap. Tak membiarkan gadis itu menunggu terlalu lama.

‘Selalu sempurna.’

Cia membubuhkan emoticon mengedipkan mata di akhir kalimatnya.

‘Berangkat ke kantor jam berapa? Aku boleh ikut?’

Pesan kedua di kirim oleh gadis itu.

Gyan menyunggingkan sudut bibirnya. Hari ini, Cia juga akan mulai bekerja di kantor. Gadis itu akan bekerja di bagian keuangan.

Cia bukanlah calon wakil direktur utama. Karena, posisi itu akan di tempati oleh adik gadis itu suatu hari nanti.

Untuk saat ini, meski dua puluh satu tahun telah berlalu, kursi pimpinan dan wakilnya masih di tempati oleh Richard dan Dirga.

‘Aku sarapan dulu bersama yang lain. Tunggu, ya.’

Gyan membalas pesan itu. Kemudian menyimpan ponselnya di dalam saku jas yang ia gunakan.

Pemuda itu bergegas keluar dari kamarnya, karena Cia sudah mengatakan jika penampilan Gyan sudah sempurna.

Sembari bersenandung pelan, Gyan menuruni setiap anak tangga rumah mewah sang ayah. Ia dan kedua adiknya kini menempati kamar - kamar di lantai tiga.

“Selamat pagi, Bu.” Gyan mengecup pipi sang ibu yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.

“Pagi, sayang. Tampan sekali kamu memakai setelan kantor seperti ini.” Puji ibu Gista melihat penampilan putra sulungnya.

Wanita yang kini berusia empat puluh delapan tahun itu menyunggingkan sudut bibirnya. Tak terasa waktu berlalu, putra sulungnya kini sudah beranjak dewasa.

“Ibu bisa saja.” Gyan menarik salah satu kursi meja makan untuk di tempati.

Tidak lama kemudian kedua adik Gyan, Ganendra Abhinaya, dan Gisendra Abhimanyu pun ikut bergabung.

“Pagi, Bu.” Pemuda kembar identik itu mengecup pipi sang ibu secara bersamaan.

“Pagi juga, sayang.” Ibu Gista membalas dengan mengusap lengan anak kembarnya secara bergantian.

Ganendra Abhinaya lahir lima menit lebih dulu, setelah itu baru Gisendra Abhimanyu. Mereka memiliki wajah yang sangat mirip. Yang membuat orang luar atau yang baru mengenal, akan sangat sulit membedakan wajah kedua pemuda itu.

Namun, untuk keluarga Wijaya mereka tidaklah sulit. Karena, ada tanda lahir yang membedakan keduanya.

Ganendra vlog- tahi lalat di bawah matanya, sementara Gisendra tidak.

“Pagi, kak.” Sapa Ganendra dan Gisendra pada sang kakak.

“Dimana ayah?” Tanya Gyan membalas sapaan adik - adiknya.

“Sepertinya masih di kamar.” Jawab Ganen sembari menempati kursinya.

Sementara, Gisendra masih berdiri membantu sang ibu menyiapkan sarapan.

Diantara ketiga putranya, si bungsu memang paling peka.

“Endra, aku mau telur yang matang.” Ucap Ganen ketika sang saudara kembar mengambil telur mata sapi, untuk peneman nasi goreng yang menjadi menu sarapan mereka pagi ini.

“Ini untuk kak Gyan.” Jawab Gisendra.

“Hari ini kakak mulai bekerja. Jadi, harus makan yang banyak.” Ucap Gisendra lagi, kemudian menyodorkan piring itu pada Gyan.

“Terima kasih, Ndra.” Ucap Gyan tulus.

Gisendra mengangguk pelan. Ia kemudian mengisi piring yang lain.

“Selamat pagi kesayangan ayah.” Ucap ayah Dirga saat memasuki ruang makan.

Meski kini sudah berusia enam puluh satu tahun, namun pria itu masih terlihat bugar, dan masih meninggalkan jejak ketampanan di wajahnya.

“Selamat pagi, ayah.” Jawab ketiga anak ayah Dirga dengan kompak.

“Pagi, sayang.” Ayah Dirga tanpa tau malu mengecup pipi sang istri di depan anak - anaknya.

Ketiga pemuda itu pun mengalihkan pandangan mereka.

“Abang.” Gerutu ibu Gista dengan mata mendelik.

Ayah Dirga tak menghiraukannya. Ia pun menempati kursi kepala keluarga.

“Apa kamu siap, Gyan?” Tanya ayah Dirga pada sang putra sulung di sela acara menikmati makanannya.

“Tentu, ayah. Kapan papi Rich akan pensiun?” Tanya Gyan.

“Apa kamu sudah ingin menggantikan posisinya?” Ayah Dirga berbalik melempar tanya.

Gyan terbatuk pelan. Ia kemudian meminum sedikit air putih. “Bukan begitu. Bukannya, ayah yang naik jabatan lebih dulu menggantikan papi Rich?”

“Ya. Tetapi, itu akan terjadi saat kamu sudah benar - benar bisa menjadi pemimpin.” Ucap Dirga lagi.

Pria paruh baya itu mengalihkan pandangan pada kedua putra kembarnya.

“Kalian juga persiapkan diri. Jangan main - main. Meski posisi wakil direktur nanti untuk Raymond, kalian akan tetap menempati posisi petinggi.”

Meski kedua anak kembarnya masih duduk di bangku kuliah semester lima, ayah Dirga harus tetap mengingatkan posisi mereka.

Sudah puluhan tahun berlalu. Wijaya group akan tetap dipimpin oleh para anggota keluarga. Namun begitu, mereka masih boleh memiliki usaha sampingan lainnya.

“Iya, ayah. Kami paham.” Jawab Ganendra dan Gisendra secara bersamaan.

Ibu Gista hanya menyimak percakapan para pria berbeda usia itu. Ia tidak pernah ikut campur urusan perusahaan. Wanita itu, memilih mengurus kafe milik sang suami.

Setelah sarapan, Ganendra dan Gisendra pamit pergi kuliah lebih dulu.

“Kamu berangkat bersama ayah ‘kan?” Tanya ayah Dirga pada sang putra sulung.

Gyan yang tengah mengetik sesuatu pada ponselnya pun melirik sang ayah sekilas.

“Maaf, Yah. Aku harus menjemput Cia. Dia akan merajuk jika aku tidak menjemputnya.” Ucap Gyan.

Pemuda itu kemudian bangkit, lalu berpamitan pada kedua orang tuanya.

Ayah Dirga menghela nafas kasar setelah Gyan menghilang di balik pintu ruang makan.

“Ada apa, bang?” Tanya Gista.

“Apa putra sulung kita tidak memiliki kekasih? Sampai kapan dia akan pergi bersama Cia saja?” Tanya ayah Dirga dengan serius pada sang istri.

“Apa Abang sudah ingin memiliki cucu?” Gurau ibu Gista.

“Bukan. Memiliki kekasih, bukan berarti ingin mereka menikah cepat. Tetapi, aku hanya ingin Gyan memiliki teman lain selain Cia.”

Ibu Gista memikirkan ucapan sang suami. Ada benarnya yang pria paruh baya itu katakan. Gyan sudah seharusnya memiliki teman wanita selain Cia.

...****************...

CATATAN AUTHOR

“Hallo teman Readers, berjumpa lagi di novel baru aku. Kali ini, kisah putra - putri dari keluarga Wijaya.”

“Mohon dukungannya, ya. Jangan lupa tinggalkan KOMEN, LIKE dan HADIAH juga boleh 😁”

TERIMA GAJI

SARANGBEO ❤️

02. Keluarga Richard Wijaya.

Cia turun dari kamarnya dengan penampilan formal yang sangat elegan. Tangan kanan gadis berusia dua puluh lima tahun itu menjinjing sebuah tas bermerk, dengan harga puluhan juta.

Menjadi anak gadis satu - satunya di tengah keluarga Wijaya, Cia sangat di manjakan oleh semua orang - orang terkasihnya. Tidak hanya mendapat kasih sayang dari papi Richard dan mami Renatta, namun juga ayah Dirga dan ibu Gista sangat menyayangi Cia.

Terlebih Gyan. Pemuda itu sangat memanjakan dan selalu menuruti keinginannya.

“Selamat pagi semuanya.” Ucap Cia ketika masuk ke dalam ruang makan.

Sang papi telah menempati kursi kepala keluarga. Mami Renatta tengah mengisi piring dengan makanan, sementara Raymond Orlando duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel.

Cia mencium satu persatu pipi orang tuanya.

“Akhirnya calon Manager keuangan Wijaya Group datang juga. Aku hampir pingsan menunggu kakak turun.” Ucap Raymond sembari menyimpan ponsel di dalam saku jaket yang ia gunakan.

“Berlebihan sekali.” Cibir Cia. Gadis itu duduk di samping sang papi.

“Bukankah aku benar? Kakak akan menjadi calon Manager keuangan ‘kan?” Tanya Raymond lagi,

“Aku hanya magang untuk mengisi waktu luang.” Jawab Cia asal.

Raymond menganga mendengar ucapan sang kakak. “Papi, apa benar yang kakak katakan? Dia hanya magang?”

“Jangan dengarkan ucapan kakakmu.” Jawab papi Richard.

Pria berusia enam puluh enam tahun itu menatap putra dan putrinya secara bergantian.

“Kamu juga persiapkan diri. Belajar yang benar, karena kamu adalah calon wakil direktur utama yang akan menggantikan ayah Dirga nanti.” Imbuh papi Richard kemudian.

“Aku?” Raymond menunjuk dirinya tak percaya.

“Pi, ‘kan ada si kembar. Kenapa harus aku?” Imbuh pemuda itu.

“Memang seperti itu, Ray.” Mami Renatta menjawab pertanyaan sang putra sembari meletakkan piring berisi mie goreng kesukaan pemuda itu.

“Sudah tradisi di keluarga besar kita. Kursi kepemimpinan di tempati oleh masing - masing anak laki - laki tertua, dari papi dan ayah kalian.” Imbuh wanita paruh baya berusia empat puluh delapan tahun itu.

Raymond tersenyum kecut. Ia sama sekali tidak tertarik menjadi pimpinan perusahaan.

“Dengar itu.” Cia menertawakan sang adik.

“Kenapa tidak kakak saja? Kan sama - sama cucu pertama.” Raymond kembali berpendapat.

“Karena suatu hari nanti aku akan menikah, dan ikut dengan suamiku.” Jawab Cia dengan santai.

Raymond pun mendengus pelan.

“Sudah. Berhenti bicara, dan nikmati sarapan kalian.” Potong papi Richard dengan tegas.

Cia dan Raymond pun mengangguk patuh. Mereka sarapan dengan tenang.

“Kakak ke kantor menggunakan mobil yang mana?” Tanya Raymond saat pemuda itu selesai sarapan.

Papi Richard telah memberikan mobil pribadi untuk kedua anaknya. Tetapi, Raymond sangat suka menukar kendaraannya dengan mobil mungil milik sang kakak.

“Kamu bawa saja. Aku berangkat dengan Gyan.” Ucap Cia setelah meneguk air minumnya.

Raymond tersenyum senang. Pemuda itu kemudian bangkit dan mengecup pipi sang kakak.

“Kakak yang terbaik.” Ucapnya kemudian.

Raymond pun berpamitan pada kedua orang tuanya.

“Kenapa tidak berangkat dengan papi saja? Kasihan ‘kan Gyan harus bolak - balik.” Ucap mami Renatta.

“Tidak apa - apa, mi. Aku tidak keberatan sama sekali.” Pemuda yang di bicarakan pun muncul. Menjawab ucapan Renatta sebelum Cia membuka mulutnya.

“Tuh mommy dengar langsung dari orangnya.” Celetuk Cia.

Gyan menyapa papi Richard dan mami Renatta. Kemudian duduk di samping Cia.

“Kamu sudah sarapan?” Tanya mami Renatta kemudian.

“Sudah, mom.”

“Baiklah. Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Papi akan mengenalkan kalian pada Manager dan Direktur yang lain.” Ucap papi Richard kemudian.

Gyan dan Cia mengangguk bersamaan.

“Papi ikut dengan kita saja.” Gyan memberikan tawaran.

“Tidak. Papi berangkat dengan sopir saja.” Papi Richard kemudian bangkit.

Renatta pun mengikuti. Mengantar hingga pintu utama.

“Kenapa firasatku mengatakan ada yang berbeda dengan sikap Gyan pada Cia?” Gumam mami Renatta saat melihat perlakuan manis Gyan yang membukakan pintu mobil untuk Cia.

“Tidak. Mereka sudah bersama sejak kecil. Wajar jika Gyan memanjakan Cia.” Imbuh wanita paruh baya itu lagi.

\~\~\~

Gyan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Jam kantor baru akan di mulai satu jam lagi. Jadi, mereka masih memiliki banyak waktu untuk bersama.

“Apa ada yang aneh dengan penampilanku?” Tanya Cia ketika menyadari Gyan yang selalu melirik ke arahnya.

Setelah lulus S2, ini untuk pertama kalinya mereka akan bekerja di kantor. Tentu Cia sebisa mungkin memaksimalkan penampilannya.

“Kamu selalu sempurna, Cia.” Ucap Gyan. Ia kembali melirik gadis yang duduk di samping kirinya itu.

Andai tidak ada batas tak kasat mata di antara mereka, Gyan sudah sangat ingin menyatakan perasaan yang ia miliki pada Cia.

“Lalu kenapa kamu selalu melirik aku, Gy?”

Gyan menyunggingkan sudut bibirnya. Ternyata, Cia menyadari jika sejak tadi ia tak berhenti melirik gadis itu.

Bagaimana Gyan bisa mengalihkan pandangannya? Jika ada bidadari cantik duduk di sampingnya.

“Apa kamu gugup?” Tanya Gyan kemudian. Ia tidak mau menjawab pertanyaan Cia.

“Sedikit. Lagi pula, aku hanya akan magang di departemen keuangan. Bukan di lantai atas seperti kamu.” Ucap Cia sedikit terkekeh.

“Kenapa tidak ikut denganku saja?” Gyan bicara dengan nada memelas.

“Memangnya kamu bisa mengajari aku? Kamu juga belum memiliki pengalaman kerja.” Cibir Cia.

“Apa kamu lupa? Aku sudah membantu papi dan ayah sejak mulai kuliah. Hanya saja aku bekerja dari rumah.” Tukas Gyan.

“Ah ya. Aku lupa jika kamu adalah calon direktur utama Wijaya Group.” Gadis itu kembali terkekeh pelan.

Gyan berdecak kesal. Cia selalu saja mengejeknya seperti itu.

Sama seperti Raymond, jika boleh meminta Gyan tidak ingin menjadi direktur utama. Ada banyak orang yang lebih berpontensi dari dirinya.

Namun aturan keluarga tidak bisa diubah atau pun ditentang.

“Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada untuk kamu.” Cia mengusap lengan sepupunya itu.

Entahlah, mereka masih tergolong sepupu atau tidak. Karena yang sebenarnya saudara sepupu kandung itu adalah kedua ayah mereka.

Jadi kalau anak - anaknya di sebut apa? Duapupu? Lucu sekali.

Mobil Gyan pun tiba di pelataran gedung Wijaya Group. Plat nomor kereta besi itu terdeteksi sebagai salah satu pemilik perusahaan.

Maka, petugas keamanan meminta Gyan memarkirkan mobilnya di tempat khusus pemilik gedung.

Dari tempat parkir yang terletak di basemen, Gyan mengajak Cia naik ke lantai dua puluh untuk bertemu dengan papi Richard dan ayah Dirga terlebih dulu.

Kedua pria paruh baya itu nantinya yang akan mengenalkan mereka pada para Manager dan Direktur yang lainnya.

“Ingat dulu kamu sering membuat ulah dengan para petugas kebersihan?” Tanya Gyan pada Cia saat mereka masih berada di dalam lift.

Saat beranjak remaja, mereka berdua sudah jarang datang ke gedung berlantai dua puluh itu.

“Ya. Dan kita selalu menghabiskan jam kerja mereka dengan bermain bersama.” Cia mengenang kembali masa lalunya.

Kedua muda - mudi itu pun tergelak bersama.

...****************...

03. Perkenalan Calon CEO Wijaya Group.

Bertempat di ruang pertemuan gedung Wijaya Group, papi Richard dan ayah Dirga mengenalkan putra putri mereka pada para Manager dan Direksi yang lainnya.

Beberapa orang dari mereka, tentu sudah mengenal Gyan dan Cia semenjak masih bocah. Saat sering datang berkunjung ke kantor untuk menemui ayah mereka.

Gyantara Abhiseva di perkenalkan sebagai calon Direktur utama. Dan akan menempati kursinya nanti saat pemuda itu sudah cukup kompeten.

Sementara Cia di perkenalkan sebagai calon Manager keuangan. Tentu juga sama seperti Gyan. Gadis itu akan naik jabatan saat di rasa sudah cukup mampu melakukan tugasnya.

Setelah perkenalan dengan para Direksi, papi Richard dan ayah Dirga mengantar anak - anak mereka ke ruangannya masing - masing.

Cia bergabung dengan devisi keuangan untuk sementara. Hingga gadis itu mampu bekerja dengan baik.

Sementara, ruangan Gyan berada di lantai sembilan belas. Bersebelahan dengan ruang arsip.

Tempat yang memang di sediakan khusus untuk melatih calon pemimpin.

“Aku disini sendirian?” Tanya Gyan sembari mengamati setiap sudut ruangan yang akan ia tempati.

Tidak seluas ruangan sang ayah dan papi Richardnya. Namun, ruang kerja pemuda itu cukup nyaman untuk Gyan.

Jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta. Rak buku di belakang meja kerja. Sofa panjang dan dua sofa single dengan sebuah meja untuk menerima tamu, dan juga ruang istirahat. Yang kurang hanya mini pantry.

Jadi Gyan harus turun ke pantry kantor untuk membuat kopi.

“Dulu papi dan ayahmu juga sempat menempati ruangan di lantai ini.” Beritahu papi Richard.

“Ya. Tetapi sekarang aku sendirian, pi. Apa Cia tidak bisa di pindahkan kesini? Masih ada ruangan kosong ‘kan?” Nada bicara Gyan sedikit memelas.

Yang benar saja ia sendirian di lantai sembilan belas itu? Gyan tidak habis pikir.

“Apa kamu bisa mengajari Cia tentang keuangan perusahaan kita? Kalau iya, ayah tidak keberatan memindahkan gadis itu kemari.” Ayah Dirga menjawab ucapan sang putra.

Gyan berdecak pelan. Ia pun berjalan menuju meja kerjanya. Masih kosong. Hanya ada tempat alat tulis diatas papan kayu jati itu,

“Kamu tidak sendirian disini. Papi dan ayah ada satu lantai diatas mu.” Imbuh papi Richard.

Gyan pun hanya berdecak pelan.

Di hari pertamanya bekerja, Gyan mendapatkan tugas untuk mempelajari tentang struktur dan hal - hal internal Wijaya Group.

Pemuda itu belajar dengan serius. Meski ia sebenarnya enggan menjadi pimpinan, namun Gyan tidak ingin mengecewakan keluarga besarnya.

\~\~\~

Jam makan siang tiba. Cia menghampiri Gyan ke lantai sembilan belas, untuk mengajak pemuda itu makan bersama.

Cia terkagum - kagum melihat ruangan yang di tempati oleh sepupunya itu.

“Enak ya, kerja di ruangan sendiri.” Celetuk Cia saat Gyan keluar dari toilet yang ada di dalam ruang istirahat.

“Bukan hanya sendiri, tetapi aku disini sendirian, Cia.” Gerutu Gyan.

Pemuda itu mengambil jas yang tergantung di samping rak buku, kemudian memakainya.

“Mau makan siang dimana?” Tanya Gyan setelah memastikan dompet dan kunci mobil ada di dalam saku jas.

“Di kafe depan kantor saja.” Ucap Cia.

Gyan mengangguk pelan. Ia pun meraih ponsel di sudut meja kerjanya.

Mereka pun keluar bersama dan menuju lift untuk turun ke lobby kantor.

“Bujuk papi agar kamu di pindahkan ke ruanganku.” Ucap Gyan saat mereka berada di dalam lift.

“Mana bisa seperti itu, Gy.” Cia menggeleng tak percaya.

“Aku sendirian disana, Cia. Untung tidak ada hal - hal horror yang terjadi.” Gyan kembali menggerutu.

Cia tidak menanggapi karena lift telah berhenti dan terbuka di lobby.

Karena makan siang di kafe yang terletak di depan gedung Wijaya, maka mereka pun hanya berjalan kaki. Dan cukup menyeberang jalan saja.

“Kamu pesan apa?” Tanya Gyan saat mereka sudah menempati salah satu meja disudut tempat makan kekinian itu.

Cia nampak berpikir sembari membaca buku menu. “Bakmi ayam pangsit. Air putih dan jus alpukat.” Ucapnya kemudian.

Gyan menulis pesanan gadis itu. Ia memasan menu yang sama. Kemudian pergi ke kasir untuk melakukan pemesanan sekaligus membayarnya.

“Aku serius, Cia. Apa kamu tidak boleh pindah ke ruangan ku? Kamu bisa membawa pekerjaanmu kesana ‘kan? Bukan hanya sekedar menemaniku.” Ucap Gyan saat mereka sedang menunggu pesanan datang.

Tatapan pemuda itu terkunci pada wajah cantik yang duduk di hadapannya.

Cia kembali menggeleng pelan. “Tidak bisa, Gy. Akupun bekerja di kubikel dengan Staff yang lain. Bukan di ruangan khusus. Sama seperti kamu, aku juga masih belajar.”

Gyan mendengus pelan mendengar ucapan sang sepupu.

“Bagiamana jika kamu meminta sekretaris? Bukannya direktur harus memiliki sekretaris? Atau asisten seperti om Dion?” Cia menyebut nama asisten sekaligus sekretaris sang papi.

Melissa telah berhenti bekerja sepuluh tahun yang lalu karena lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Sejak saat itu, Richard mempekerjakan seorang sekretaris pria, yang sekaligus menjadi asisten pribadinya.

“Bukannya sudah ada om Dion?” Gyan berbalik melempar tanya.

“Ya memang, tetapi kamu juga perlu sekretaris lain seperti tante Mona ‘kan?” Cia menyebut nama sekretaris ayah Dirga yang sudah bekerja selama dua puluh satu tahun dengan pria itu.

“Om Dion sekarang berusia empat puluh tahun. Entah kapan kamu siap menjadi Direktur utama? Sampai saat itu tiba, apa kamu yakin om Dion masih bugar? Dia pasti akan seperti papi, yang lebih banyak berdiam diri di kantor dan papa Dirga yang meeting kemana - mana.” Imbuh Cia lagi.

Sampai saat ini, hanya Cia seorang yang memanggil ayah Dirga dengan sebutan ‘papa.’ Kebiasaan sejak ia masih balita bersama pria dewasa itu.

Gyan memikirkan ucapan gadis yang selalu memikat hatinya itu.

Obrolan mereka terinterupsi ketika pesanan datang. Dan keduanya pun mulai menyantap makan siangnya.

“Jadi menurut kamu, aku harus meminta sekretaris sama papi dan ayah?” Tanya Gyan di sela menikmati makanannya.

“Ya. Persiapan sejak dini. Jadi, saat kamu sudah siap naik jabatan, kamu sudah memiliki sekretaris.” Imbuh Cia.

Gyan mengangguk setuju. Apapun yang Cia katakan dan sarankan padanya, pemuda itu selalu memikirkan dengan matang. Kemudian menyetujuinya begitu saja.

Selama ini, pilihan Cia tidak pernah salah untuk Gyan. Gadis itu selalu menjadi tempat diskusi terbaik Gyan selain sang ibu.

“Baiklah, aku akan berbicara dengan papi dan ayah nanti. Semoga saja mereka menyetujuinya.” Ucap Gyan kemudian.

“Katakan saja apa yang aku ucapan tadi. Papi dan papa pasti akan mempertimbangkannya. Bagaimana pun juga, kamu itu calon pemimpin masa depan usaha keluarga kita.”

“Cia.”

“Ya.” Cia yang sejak tadi sibuk menyantap bakmi pun menoleh ke arah Gyan. Dan pemuda itu kini tengah menatapnya dengan lekat.

“Ada apa?”

“Apa kamu tidak marah, jika aku menjadi direktur nanti? Bagiamana pun juga, kamu adalah cucu tertua di keluarga kita.” Ucap Gyan dengan serius.

Salah satu alasan yang membuat Gyan enggan menjadi Direktur utama adalah, karena Cialah yang berhak menempati posisi itu. Karena gadis itu lebih tua tiga bulan dari Gyan.

Cia meminum air putihnya. Kemudian menggeser mangkok kosong ke sudut meja.

“Gy. Dalam keluarga kita, yang menjadi pimpinan perusahaan itu adalah cucu laki - laki pertama. Bukan cucu tertua. Kamu mengertikan maksudnya?”

Gyan mengangguk pelan.

“Jadi, berhenti merasa tidak enak hati padaku. Semuanya sudah menjadi tradisi turun temurun. Lagi pula, suatu hari nanti aku juga akan menikah dan ikut dengan suami. Tidak mungkin memimpin perusahaan keluarga sendiri ‘kan?” Imbuh Cia lagi.

Tangan Gyan terkepal di bawah meja saat mendengar kalimat terakhir yang Cia ucapkan.

‘Kamu tidak boleh menikah dengan orang lain, Cia.’

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!