Suasana makan malam terasa begitu dingin. Aku memberanikan diri untuk mengatakan keinginanku. Aku ingin kembali bekerja.
"Ada yang ingin aku bicarakan," ucapku pelan, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang.
Reyhan tidak langsung menjawab. Ia hanya melirikku sekilas sebelum kembali menyendok sup yang tinggal separuh.
"Aku… ingin kembali bekerja," lanjutku hati-hati.
Sendok di tangannya terhenti. Perlahan ia mendongak, menatapku. Tatapan itu, tajam, menusuk, dan penuh kebencian. Aku menggigit bibir bawahku, tak mampu menahan getaran kecil yang mulai muncul di dadaku.
"Kembali ke tempat kerjaku yang lama. Aku janji tetap akan mengurus rumah dan melakukan tugasku," tambahku, meski aku tahu tatapan itu sudah cukup menjawab.
Dia tidak berkata apa-apa. Hanya menatapku lama, seperti sedang menilai niatku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Udara di ruang makan terasa menegang, seolah satu napas pun bisa meledakkan sesuatu.
"Aku sudah bicara dengan manajerku. Mereka—"
"Tidak," katanya datar. Dingin.
Aku terdiam. Kalimat itu seperti palu yang memukul langsung ke kepalaku.
Jika bukan karena genggaman tangan di pangkuanku yang kugenggam erat, mungkin aku sudah kehilangan kendali. Tapi aku menelan semuanya. Menelan tatapan tajam itu, menelan suara dingin itu, menelan penolakan yang bahkan tidak diberi ruang untuk ditawar.
Reyhan berdiri. Lalu ia melangkah pelan mendekatiku. Tubuhku kaku, tapi aku tetap menegakkan kepala.
"Mulai besok, kamu kerja di kantorku."
Aku terbelalak. "Apa?"
"Kamu dengar." Ia menunduk sedikit, menatapku tanpa emosi. "Aku tidak akan mengulang dua kali."
Lalu ia pergi begitu saja, meninggalkanku dengan napas yang tercekat dan dada yang penuh sesak.
Aku masih duduk terpaku di kursi, menatap piring di depanku yang bahkan belum sempat kusentuh. Makanan itu sekarang terasa hambar, seperti perasaanku malam ini. Duniaku berguncang lagi, oleh satu kata, satu keputusan yang tak bisa kutolak.
Bekerja di kantornya? Apa maksudnya? Mengawasiku setiap waktu? Mengikatku lebih erat lagi agar tak bisa ke mana-mana?
Aku memejamkan mata, menahan gelombang emosi yang hendak pecah. Aku tak boleh menangis. Tidak di sini.
Perlahan, aku berdiri. Kursi sedikit bergeser saat kutarik, menimbulkan suara seret yang menggema di ruang makan yang sunyi. Aku melangkah menuju dapur, membereskan piring kami berdua meski rasanya tubuhku sudah tak punya tenaga.
Setelah semuanya beres, aku naik ke kamar. Reyhan belum ada di sana. Entah dia di ruang kerja atau sudah pergi entah ke mana. Aku tak ingin tahu. Yang aku tahu, besok pagi hidupku akan berubah lagi.
Dan aku harus siap.
---
Pagi datang terlalu cepat. Aku bersiap dengan pakaian kerja seadanya yang masih kusimpan di lemari. Ku rapikan jilbabku, dan aku sempat menatap cermin cukup lama, mencari keyakinan di sana, tapi tak kutemukan.
Saat aku turun ke lantai bawah, Reyhan sudah menungguku di ruang tamu. Setelan jas abu-abu yang dikenakannya begitu rapi, seperti biasa. Tatapannya lurus ke arahku saat aku muncul di tangga. Tak ada senyum. Tak ada sapaan.
"Cepat. Kita berangkat sekarang."
Aku hanya mengangguk, berjalan mengikutinya tanpa suara.
Di dalam mobil, hanya ada suara mesin dan denting pelan jam tanganku sendiri. Reyhan tidak berkata apa pun selama perjalanan. Tangannya menggenggam setir, matanya lurus ke depan. Aku mencoba duduk tenang, meski jantungku terus berdetak tak menentu.
Saat mobil berhenti di depan gedung megah bertingkat, aku menelan ludah. Ini... kantor Reyhan?
Dia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu untukku. Tanpa menunggu, dia langsung melangkah masuk, dan aku hanya bisa mengikuti dari belakang, seperti bayangan.
Tatapan beberapa pegawai yang kami lewati cukup membuatku kikuk. Mungkin mereka bertanya-tanya siapa aku. Atau mungkin mereka sudah tahu. Entahlah. Aku tak sanggup menebak apa pun lagi.
Reyhan membawa aku masuk ke dalam sebuah ruangan, luas, mewah, dan dingin. Ruang kerjanya. Ia menunjuk ke meja kecil di sudut ruangan.
"Mulai sekarang, kamu kerja di sini. Aku yang akan tentukan apa yang kamu kerjakan."
Aku memandang meja itu, lalu menatapnya. "Kenapa aku di sini? Aku bisa bekerja di divisi lain…"
Tatapannya kembali menusukku.
"Kamu akan tetap di ruangan ini."
Dan dengan itu, dia duduk di kursinya, membuka laptop, dan mulai bekerja… seolah kehadiranku hanya formalitas belaka.
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan dada yang sesak. Baiklah, Reyhan. Jika ini caramu… aku akan tetap bertahan.
Aku masih menatap layar komputer kosong di mejaku, mencoba menenangkan gejolak yang belum reda sejak pagi. Ruangan ini terasa seperti penjara. Bahkan udara pun terasa berat di setiap tarikan napas.
Pintu tiba-tiba diketuk, lalu terbuka sebelum Reyhan sempat menyahut.
Seorang perempuan berpenampilan menarik melangkah masuk. Rambutnya digerai rapi, tumit sepatunya berdetak pelan di lantai marmer. Tatapannya langsung tertuju padaku, meneliti dari ujung kepala sampai kaki, sebelum akhirnya beralih ke Reyhan.
"Maaf mengganggu, Pak," ucapnya lembut, nyaris manja. "Tadi saya lihat ada orang baru. Dia siapa, ya?"
Aku pura-pura tak mendengar, menatap layar di depanku yang belum juga menyala.
"Dia?" Reyhan bersandar santai di kursinya, menatapku datar. "Hanya seseorang yang butuh pekerjaan. Anggap saja… budak."
Budak?
Kata itu menampar keras harga diriku.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi. Jari-jari tanganku mengepal pelan di atas pangkuan. Aku bukan budaknya. Aku istrinya. Tapi dia bicara seolah aku tak lebih dari barang yang bisa dia miliki sesuka hati.
Belum habis rasa geramku, aku dikejutkan oleh suara tawa lembut dari sekretaris itu. Aku melirik dan mataku langsung membelalak saat melihat perempuan itu kini duduk di pangkuan Reyhan, tanpa rasa malu. Tangannya memainkan dasi Reyhan sambil menatapnya manja.
Dan dia? Reyhan hanya diam. Bahkan tidak mendorongnya pergi. Tidak menunjukkan ekspresi terganggu.
Tubuhku menegang. Jadi... Dia... memiliki hubungan dengan wanita itu?
Aku berdiri spontan, mendorong kursiku ke belakang. Kepalaku penuh dengan tanya dan amarah yang tak bisa lagi kutahan. Aku tidak sanggup berada di ruangan itu lebih lama.
Namun saat aku berbalik untuk pergi, suara Reyhan menghentikanku.
"Mau ke mana?"
Aku tak menjawab.
"Nayla." Suaranya terdengar dingin, mengandung perintah. "Kamu tidak bisa pergi dari ruangan ini tanpa izinku."
Aku mengepalkan tangan lebih kuat. Gila. Dia benar-benar gila.
Dia memamerkan kemesraan dengan wanita lain… di depan istrinya sendiri. Dan sekarang dia melarangku pergi? Apa dia pikir aku boneka yang bisa ditaruh dan diambil kapan saja?
Aku membalikkan badan perlahan, menatapnya dengan rahang mengeras. Tapi sebelum sempat aku berbicara, Reyhan menoleh pada sekretarisnya.
"Keluar dulu."
Perempuan itu tampak kecewa, tapi tetap berdiri sambil membetulkan bajunya yang sedikit kusut. Ia sempat melirikku, senyum menyebalkan tergantung di bibirnya, lalu keluar dari ruangan.
Kini hanya ada aku dan Reyhan. Dan udara yang terasa semakin panas, meski AC masih menyala dengan dingin.
Reyhan bersandar di kursinya, menatapku seperti aku benar-benar budaknya.
"Aku ingin bicara dengan budakku."
Aku menahan napas, menahan emosi yang mulai mendesak untuk meledak.
Reyhan bersandar santai di kursinya, lalu mengangkat dagunya sedikit ke arahku. "Mendekat."
Aku tak bergerak. Tatapan kami terkunci. Tapi saat dia mengulang perintahnya dengan suara lebih rendah dan tegas, kakiku melangkah perlahan.
Begitu jarakku cukup dekat, tangannya tiba-tiba menarik lenganku. Aku terkejut, kehilangan keseimbangan, dan tanpa sempat menahan, tubuhku jatuh ke pangkuannya.
"Reyhan!" seruku kaget, tubuhku menegang. Tapi dia hanya menatapku dengan mata gelap penuh amarah.
"Cium aku," ucapnya dingin.
Mataku terbelalak. "Apa? Kau sudah gila?"
Aku berusaha turun dari pangkuannya, tapi lengan kekarnya menahan pinggangku. Aku menepis, mendorong, sia-sia.
Tangannya meraih jilbabku, menariknya pelan, membuat wajah kami semakin dekat. Napasku memburu, bukan karena gugup, tapi karena amarah dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Tatapannya membara, tapi bukan karena cinta. Bukan karena rindu. Hanya... benci.
Tanpa peringatan, bibirnya menempel paksa di bibirku.
Aku mendorong dadanya sekuat tenaga, mencoba melawan. Tapi kekuatanku kalah jauh. Aku hanya bisa menggigit bibirku sendiri, menahan air mata yang mulai menggenang.
Akhirnya, Reyhan melepaskannya. Napasku masih tersengal saat tubuhku didorong menjauh darinya. Aku terhuyung mundur, berdiri dengan wajah yang tak sanggup kusembunyikan keterkejutannya.
"Anggap saja itu sebagian kecil dari balas dendamku," ucapnya dingin, nyaris berbisik.
Mataku bergetar.
"Jangan pernah lupa," lanjutnya tajam, "di mataku, posisi istri itu tidak ada artinya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments