Bab 2

Aku bahkan belum benar-benar paham siapa suamiku sekarang… tapi malam ini, aku akan bertemu dengan keluarganya. Orang-orang yang, konon katanya, membesarkannya dengan cinta. Tapi kalau itu benar… kenapa hatinya terasa sedingin batu?

Setelah Paman Alfarezi meninggal, Reyhan tak di izinkan lagi untuk bertemu denganku dan keluargaku. Bahkan Reyhan sendiri tak ingin bertemu denganku. Dia berubah sejak saat itu. Mereka semua menuduh papaku yang membunuh Paman Alfarezi.

Mobil Reyhan meluncur tenang, tapi jantungku tidak. Aku menatap jendela, mencoba mengatur napas. Tapi tetap saja, tanganku gemetar.

"Bagaimana kabar mamamu, Rey?" tanyaku pelan, mencoba terdengar tenang.

Dia tidak menjawab. Hanya fokus menyetir. Hening.

Begitu mobil berbelok dan melewati gerbang besar berukir, napasku tercekat. Rumahnya, maksudku, rumah keluarganya, tampak seperti mansion di film. Lampu-lampunya terang, taman rapi, dan mobil-mobil mewah berjejer di depan teras.

Aku merapikan jilbabku, menatap bayangan wajah sendiri di kaca jendela.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan?” tanyanya tanpa menoleh.

Aku mengangguk. "Jangan membuat malu. Jangan menangis. Jangan pura-pura sedih."

Dia menatapku sekilas, lalu keluar dari mobil. Aku ikut turun, menahan napas begitu pintu besar dibuka oleh seorang pelayan.

Kami masuk.

Seolah-olah semua suara di ruangan langsung menghilang begitu aku muncul di samping Reyhan.

Beberapa orang menoleh. Menatap. Menilai.

Seorang wanita bergaun maroon berdiri dari kursinya, wajahnya nyaris tak menyembunyikan ekspresi tak suka. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan sorot tajam memandangku dari atas ke bawah.

"Nayla," Reyhan memperkenalkanku singkat. "Istriku."

Wanita itu tersenyum kecil, tapi tidak sampai ke mata. Aku masih ingat dia, meskipun aku tidak terlalu mengenalnya. Dia adalah Mamanya Reyhan.

"Istri? Begitu cepat kau mengganti pilihan, Reyhan?" suaranya tajam, menusuk tanpa perlu nada tinggi.

Seorang gadis berdiri dari sudut ruangan. Cantik. Anggun. Senyumnya lebar saat menatap Reyhan, lalu padam saat matanya bertemu denganku.

Oh. Aku tahu instingku tak salah.

"Ara juga ada di sini, Reyhan," kata mamanya. "Kami pikir… kau akan tetap pada rencana awal. Bukankah kalian tumbuh bersama?"

Ara.

Gadis itu melangkah mendekat, menyentuh lengan Reyhan dengan lembut. "Sudah lama kita tidak bertemu, Rey…"

Aku berdiri di sampingnya seperti bayangan.

Reyhan menarik tangannya. "Aku sudah menikah," katanya datar.

Mamanya tertawa kecil. "Iya, dengan anak dari orang yang menghancurkan keluarga kita. Ironis."

Aku menegang. Pandanganku langsung menatap lantai.

"Papanya Nayla," lanjut wanita itu, "adalah orang yang membuat perusahaan Papa bangkrut. Dan semua itu yang menyebabkan sakit jantung Papa makin parah. Kau tahu itu."

Aku menahan napas. Ingin bicara. Tapi apa yang bisa kubela dari papaku kalau aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi?

Reyhan tak menjawab. Hanya berjalan menuju kursi makan, dan aku terpaksa mengikuti.

Sepanjang makan malam, aku seperti tidak ada. Tak satu pun dari mereka bertanya padaku. Bahkan saat makanan dihidangkan, tak ada yang menawarkan piring. Aku mengambil sendiri. Menahan tangis. Menelan makanan yang terasa seperti kerikil.

"Jadi, sampai kapan drama ini berlangsung, Reyhan?" tanya pamannya sambil mengaduk sup. "Ara sudah menunggumu sejak lama."

"Aku sudah menikah," ulang Reyhan, suaranya tegas.

"Dengan anak dari pengkhianat," desis salah satu sepupu perempuan di seberang meja.

Aku tidak tahan.

Aku bangkit pelan. "Permisi," suaraku pelan, hampir tak terdengar.

"Apa?" suara nyonya Alfarezi meninggi. "Kau bahkan tidak cukup sopan untuk menyelesaikan makan malam bersama kami?"

Reyhan ikut berdiri. "Istriku tidak harus mendengar omong kosong seperti ini."

Tapi aku sudah lebih dulu berjalan pergi. Aku tak kuat. Bukan karena mereka benci padaku, aku sudah siap untuk itu. Tapi karena mereka memperjelas bahwa aku hanyalah luka baru yang mereka tak rela terima.

Begitu sampai di luar, udara malam menyerbu wajahku. Aku menarik napas panjang, berharap bisa menenangkan detak jantungku yang tak karuan.

Tak lama, Reyhan menyusulku.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja saat acara keluarga," katanya dingin.

Aku menoleh, menatap matanya. "Kau memaksaku menikah. Kau menjebakku dalam hidup yang tidak kupilih. Tapi jangan paksa aku untuk tersenyum saat semua orang menyebutku racun dalam hidupmu."

Reyhan terdiam. Rahangnya mengeras.

"Lalu kenapa tidak ceraikan aku saja? Kalau aku benar-benar tidak berarti?" tanyaku lirih.

"Karena aku belum selesai."

Dan dengan itu, dia berjalan kembali ke dalam. Namun dia berhenti dan menoleh kembali padaku.

"Masuklah. Kau tetap harus melakukan tugasmu," ucapnya dingin kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku berdiri diam, membiarkan angin meniup gaun biru tuaku. Di balik pintu rumah besar itu, mereka tertawa. Mereka punya dunia yang tak akan pernah menerimaku.

***

Malam itu, aku duduk sendiri di balkon kamar tamu yang Reyhan tunjukkan. Udara dingin menusuk kulit, tapi pikiranku lebih dingin lagi.

Di bawah sana, cahaya lampu dari ruang keluarga menyala terang. Suara tawa samar-samar terdengar, keluarga Reyhan masih menikmati malam, seolah kedatanganku tak ada artinya. Seolah aku hanya bayangan yang kebetulan lewat.

Kupikir setelah makan malam penuh sindiran itu, Reyhan akan mencoba menjelaskan sesuatu. Atau setidaknya... bertanya apakah aku baik-baik saja.

Tapi tidak.

Dia tidak datang. Tidak menoleh. Tidak peduli.

Ketika akhirnya aku mulai tertidur dengan mata sembab, suara ketukan keras menggema di pintu.

Aku membuka sedikit. Reyhan berdiri di sana. Dingin. Kaku.

"Kita bicara," katanya datar, lalu melangkah masuk tanpa menunggu izin.

Aku berdiri di tempat, mencoba mengatur napas. "Kalau kau mau bicara soal keluargamu, aku—"

"Bukan soal mereka," potongnya tajam. "Ini tentang kita."

Aku mengangkat daguku. "Kalau kau ingin aku pergi, tinggal bilang. Aku juga tidak nyaman di sini. Jika kau tidak pernah menganggap pernikahan ini, kenapa tidak kau ceraikan saja aku?"

Dia tersenyum, sinis. "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi semudah itu?"

Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Reyhan melangkah pelan ke arahku. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku, tapi tak ada kehangatan di sana. Hanya dingin… dan kemarahan yang tertahan.

"Perceraian terlalu mudah untukmu, Nayla," bisiknya. "Kau akan melarikan diri tanpa membayar apa pun atas kehancuran keluargaku."

Aku mundur selangkah, menahan rasa gugup yang mulai menyeruak. "Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi dulu. Kau menghukumku atas sesuatu yang tidak kulakukan."

"Tepat," katanya. "Tapi kau anak dari pria itu. Dan hidupmu sekarang… akan jadi pengingat bahwa setiap luka bisa dibayar dengan luka lain."

Aku menahan napas. Rasanya seperti ditampar kenyataan. "Jadi… selama ini kau menikahiku karena sudah kau rencanakan. Karena kau ingin aku menderita?”

Dia menatapku lama, lalu mengangguk. "Akhirnya kau paham."

Air mataku mulai jatuh, tapi aku buru-buru menghapusnya. Aku tidak mau dia melihat aku lemah.

"Kalau begitu, lanjutkan permainanmu," kataku pelan. "Tapi ingat satu hal, Reyhan... orang yang kau benci bukan aku. Dan semakin lama kau mencoba menjatuhkanku, semakin jelas siapa yang sebenarnya hancur."

Dia tidak membalas. Hanya menatapku dengan mata gelap yang tak bisa kutebak.

Setelah itu, dia pergi begitu saja, membiarkanku berdiri di kamar yang terasa semakin sempit.

Aku merosot ke lantai, menatap kosong ke depan.

Aku adalah tawanan dendamnya. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku hancur hanya karena Reyhan tak bisa menyembuhkan lukanya sendiri.

Kalau dia ingin menyakitiku, biar dia lihat… aku tidak semudah itu tumbang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!