Jarak Dua Orang Asing

Malam itu, kamar kos elit yang disewa Alsid terasa seperti panggung pertunjukan dua aktor yang belum hafal naskah. Di satu sisi, Demian duduk bersila di atas karpet, mengenakan hoodie pinjaman yang kedodoran di tubuh kurusnya. Wajahnya tenang, tapi matanya waspada, seolah siap kabur lagi jika keadaan mencurigakan.

Di sisi lain, Alsid duduk di ujung ranjang, memeluk bantal seperti tameng. Posturnya tegap, bahunya lebar, dan ekspresinya... mirip orang baru saja ditipu toko online.

“Gue masih shock, tahu gak,” kata Alsid tiba-tiba. “Gue kira lo tuh boneka... ya ampun... dan lo hidup! Jalan! Berkeringat! Nyerocos!” Ia berbicara sambil membentang-bentangkan tangannya ke arah Demian.

Demian menatapnya datar. “Aku juga kira kamu manusia waras. Ternyata koleksi bonekanya... agak menyeramkan. Aku jadi penasaran, buat apa juga kamu beli paket yang begituan. Konten make up untuk orang yang gak bisa make up kan gak masuk akal."

Alsid menunduk malu, lalu cepat-cepat bangkit membela diri. “Eh, jangan salah! Itu emang buat konten make up! Gue tuh artistik dan suka seni dari dulu!”

“Seni apa seniwen?? Ngaku aja, kamu pasti cowok-cowok jomblo yang punya orientasi s*x menyimpang, dan boneka itu sebagai tanda bahwa semua itu beneran. Pasti wibu juga kan? Soalnya bau bawang bombay."

“Woy! Kalo penyimpang, gue udah tidur sama lo sekarang. Dah gue rodok-rodoh dah elu sampe pingsan!”

Demian langsung geser posisi duduk. “Nih orang... semakin gue liat semakin aneh ternyata.”

“Lagian elu, gue normal dan sholehah gini malah di tuduh aneh-aneh."

"Sholeh kali, bukan sholehah! Emang elu betina? Makin yakin gue, kalau elu gila." Demian mengoreksi dengan mata yang menyipit sinis.

"Oh, emang gak sama?" Alsid malah menambah bumbu yang meyakinkan Demian, membuat lelaki berambut keemasan itu menarik napas panjang dan memantapkan apa yang telah ia simpulkan. "Tapi, tunggu dulu,” kata Alsid sambil mengangkat tangan seperti jaksa di sidang. “Boleh gue nanya sesuatu?”

Tanpa pikir panjang Demian menjawab. “Boleh.”

“Umur lo berapa?”

“17.”

Alsid melotot. “APA?! Lo?! Tujuh belas?! Gue juga tujuh belas! Tapi lo... kurus banget. Gue kira lo murid SD. Apa elu stunting? Stunting nih Jangan-jangan!”

Demian mengangkat alis. “Ya karena aku miskin. Mau nyalahin metabolisme juga gak bisa. Aku kerja dari kecil, gak sempat makan protein shake kaya kamu. Kamu makan daging aku makan tempe, kamu makan keju aku makan ubi. Kamu tidur di ranjang empuk dan enak, aku tinggal di tikar tipis. Aku nyari duit dari ngamen, kamu ngabisin duit buat beli boneka s*x.”

“Ya ampun, sabar dong, bro. Ngomelnya asli kayak emak-emak, nyerepet gak abis-abis. Gue cuman kaget, soalnya seumuran tapi elu kurus.”

“Kayak gak pernah liat orang kurus aja. Gue kurus tapi masih ada isi, kayak gue busung lapar aja!" omel Demian sinis. "Pasti mau pamer, karena badannya gede kayak gerobok orang-orang jaman dulu.”

“Ya ampun, gerobok gak tuh?" Alsid memasang ekspresi sedih mendengarnya, namun ada tawa di baliknya. "Gue gede karena gym. Lo kurus karena hidup. Ayolah, hidup ini harus imbang. Ada yang kurus ada yang berisi, tampan dan bagus.”

Demian mendecak. "Idih."

Alsid mendekat sedikit, lalu menyipitkan mata. Ia memandang wajah Demian lekat-lekat, membuat alis Demian berkerut tiada henti. “Kayaknya.. gue ada pertanyaan lain deh buat lu, tapi.. janji ya lu jangan tersinggung."

"Apa?"

"Lu normal apa... pelangi pelangi?”

Demian memicingkan mata. “Apa maksud kamu?”

“Ya... lo suka cewek kan?”

Demian terdiam sebentar. “YA IYA LAH!”

“Alhamdulillah,” gumam Alsid, lalu bersandar lega. “Gue kira lu sejenis boty, soalnya... muka elu kayak muka boty.”

Demian mengerutkan dahi. “Anak anj*ng emang!! Mana ada muka boty, muka gue kayak gini dari dulu dan gue laki tulen, lebih macho dari elu malah!! Boty boty, oon lu!!”

"Ya jangan marah lah, gue kan cuma nanya. Soalnya muka elu tu untuk sekelas laki-laki, masuk kategori cantik. Mukanya lebih ngarah ke cewek gitu, feminim. Lu punya mata keemasan, rambut keemasan, kulit kayak habis dilulur tiap hari. Itu bukan tampilan cowok biasa, men. Itu tampilan malaikat turun dari langit habis syuting iklan shampoo kucing. Lagian bisa-bisanya pengamen punya kulit putih, apa lu ngamen jadi manusia silver??"

Demian memelotot. “Kamu... seriusan deh, nggak ada pertanyaan yang lebih penting?”

“Eh, penting loh. Kita tidur sekamar. Gue harus tahu potensi ancaman biologis.”

“Aku bukan predator,” jawab Demian ketus. “Tapi kamu, kelakuannya udah masuk daftar hitam di surga.”

Alsid terkekeh. “Eh, gue masih suci loh. Belum pernah pacaran, apalagi—”

“Stop. Jangan lanjut.”

“Fine,” kata Alsid, mengangkat tangan. “Semua pertanyaan gue ini penting, emang pertanyaan yang penting menurut lu itu yang kayak gimana?"

Demian menatapnya lama. “Kamu tinggal di sini sendiri? Orang tuamu emangnya kemana? Kok gak bareng mereka? Kalau umur tujuh belas itu harusnya kan bareng orang tua lebih enak. Lu malah lebih milih idup sendiri dan jadi orang c*bul buat beli boneka."

Wajah Alsid mendadak berubah. Tawanya memudar. Ia menunduk sebentar sebelum menjawab.

“Sebenarnya.. Gue kabur juga, sih. Dari rumah. Bokap gue pengusaha besar. Perusahaan di mana-mana. Dia mau gue jadi fotokopi dirinya. Tapi gue... nggak mau.”

Demian mendengarkan dengan seksama.

“Gue bilang mau jadi content creator, stylist, apapun yang bukan itu. Dia bilang gue aib. Terus... ya, gue diusir. Biasa, drama keluarga orang kaya. Isinya duit, tapi kosong. Gak ada kasih sayang di dalamnya, cuma sampah aja. Mending gue hidup sebatang kara.”

Perkataan itu sedikit menghantam perasaan Demian. Ia yang sebatang kara karena keadaan, sementara Alsid malah menjadikan sebatang kara sebagai pilihannya. “Sekarang?” tanya Demian pelan.

“Sekarang gue hidup dari sisa tabungan. Ngontrak kamar kos elit. Kadang jual barang bekas buat nambahin uang. Lumayan, barang gue ori semua.”

Demian ikut termenung. “Aku lari juga dari rumah."

"Gue juga tuh, hahahah ternyata kita sama ya. Seorang pelari."

"Sekarang jadi dua orang pelari."

Malam terasa lebih ringan setelah tawa itu. Dua anak remaja yang berasal dari dunia berbeda—satu dari jalanan, satu dari rumah mewah—duduk di kamar kos sederhana, berbagi kisah yang tak pernah mereka bagi pada siapa pun sebelumnya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidup mereka yang porak-poranda, mereka merasa: mungkin, dunia tidak seburuk itu kalau ada teman untuk tertawa. Dan ternyata, mereka bisa tertawa bersama, berbagi kisah meskipun tak saling mengenal sebelumnya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Nana Colen

Nana Colen

lanjut dulu aaah belum nemu gregetnya 😁😁😁

2025-07-24

2

Ika Ratnasari

Ika Ratnasari

next kk🥰🥰

2025-07-24

2

SeekarYaSeekar

SeekarYaSeekar

next

2025-07-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!