Langit Jakarta mulai berubah jingga saat jam kuliah terakhir berakhir. Mahasiswa keluar dari kelas satu per satu, sebagian langsung menuju halte TransJakarta, sebagian lain ke parkiran kampus yang mulai ramai.
Raka berjalan pelan, menunduk. Langkahnya tak tergesa, seperti biasa — tidak ada yang menunggu, tidak ada yang menyapa. Di punggungnya tergantung tas kanvas lusuh berisi laptop tua dan buku-buku fotokopian.
Dia tiba di pojok parkiran motor. Di sana, berdiri vespa biru kusam, catnya mengelupas, joknya dilapisi kulit sintetis robek yang ditambal lakban hitam. Pelat nomor nyaris tak terbaca karena karat.
> "Masih utuh..." gumam Raka pelan, meski ia tahu tak ada yang sudi mencuri motor seperti ini.
Saat ia mengeluarkan kunci dari saku, suara tawa terdengar dari arah belakang.
“Eh, bro! Itu beneran motormu?” Suara lantang penuh ejekan.
Raka menoleh pelan. Tiga orang berdiri tak jauh darinya. Salah satunya — Rio — mahasiswa dari jurusan sebelah yang memang dikenal suka nyari masalah.
“Wah, vespa zaman Belanda ya? Vintage banget, Bro,” tambah salah satu temannya sambil tertawa.
Raka tidak menjawab. Ia hanya fokus membuka jok motornya. Tangannya bergerak tenang, meski hatinya sudah hapal skenario ini. Setiap minggu, pasti ada waktu di mana ia jadi bahan olok-olok.
“Serius deh, gua kadang kasian liat lo, Ka,” kata Rio sok bersimpati. “Zaman sekarang masih naik beginian? Pantes gak punya temen.”
Temannya yang satu lagi menyenggol lengan Rio. “Eh, jangan gitu. Siapa tau dia anak jenderal yang nyamar.”
Tawa kembali pecah.
Raka tidak menanggapi. Ia menyalakan mesin vespa-nya dengan beberapa kali hentakan kaki. Motor itu batuk-batuk, mengeluarkan asap putih tipis. Tapi akhirnya hidup juga.
“Wah, mantap. Knalpotnya bisa jadi semprotan nyamuk,” ejek mereka lagi.
Raka menunduk, helm setengah wajah sudah dipasang. Ia menaiki motornya perlahan, lalu melaju pelan keluar dari parkiran kampus, membiarkan tawa dan suara cemoohan tertinggal di belakang.
---
📍 Di Jalan Raya – Dalam Hati Raka
Lampu jalan mulai menyala satu per satu. Angin sore Jakarta berhembus pelan, membawa bau debu dan asap kendaraan.
Raka berkendara lurus, tidak terburu-buru. Tapi di balik pantulan kaca helm-nya, matanya tajam memandangi satu mobil hitam yang sudah tiga kali melewati jalur yang sama.
Dia menatap spion kecilnya.
> “Bukan mahasiswa. Platnya dari luar kota.”
Tangannya tetap di setang, tapi otaknya sudah menghitung.
Jarak. Kecepatan. Sudut blind spot. Rute pulang terdekat.
Tawa anak-anak kampus mungkin masih terngiang. Tapi mereka tidak tahu — mahasiswa cupu yang tadi mereka olok-olok, tengah menjalankan pengawasan skala rendah di pusat kota. Dan tak seorang pun boleh tahu.
Dia melaju dengan vespa tuanya sampai di kawasan apartemen.
memarkirkan vespanya di sudut basement apartemen. Lalu naik ke atas
Lift berbunyi pelan saat mencapai lantai dua puluh tujuh. Raka melangkah keluar dengan langkah santai, menyusuri koridor apartemen yang sepi.
Kawasan hunian ini tergolong elit. Modern, bersih, dan terjaga. Tapi siapa pun tak akan menyangka, mahasiswa culun dari kampus negeri biasa itu... tinggal di sini.
Di ujung lorong, ia mengeluarkan kartu akses, menempelkan pada panel pintu digital bertuliskan 27B. Pintu terbuka otomatis. Raka masuk.
Begitu pintu tertutup kembali, dunia seakan berubah.
Raka berdiri sejenak di ambang ruang tamu yang sunyi. Lalu menghela napas panjang, dan...
Crakk.
Ia menggeliat, memutar bahunya ke kiri dan kanan. Gerakan kecil untuk merenggangkan otot-otot yang selama seharian ini sengaja ia tekan.
Sambil berjalan menuju cermin di ruang tengah, ia melepas kaca matanya. Lalu membuka lensa bening transparan yang menutupi iris matanya.
> Warna hazel keemasan itu akhirnya muncul — terang, tegas, dan... terlalu cantik untuk disadari siapa pun di kampus.
Ia menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya berubah hanya dengan sedikit ekspresi — dari wajah datar penuh canggung, menjadi wajah muda yang tenang dan tajam.
Cermin besar di ruang tengah memantulkan sosok lelaki tinggi berambut hitam, dengan sorot mata yang berbeda dari yang selama ini diperlihatkan ke dunia.
Ia berjalan ke kamar mandi, melepas kaus kebesaran dan jaket lusuhnya. Satu per satu, potongan pakaian itu jatuh ke lantai. Kini, yang terlihat hanyalah tubuh dengan otot ramping dan sixpack terdefinisi — bukan berlebihan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia terbiasa melatih diri.
Air keran mengalir pelan. Raka mencipratkan air ke wajahnya, lalu menatap pantulan dirinya sekali lagi. Tak ada jejak si "mahasiswa cupu" di sana.
> “Pura-pura membungkuk seharian ternyata lebih capek dari latihan fisik,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Ia meraih handuk, mengusap rambutnya yang tadi ditata acak dan dibiarkan menutupi sebagian wajah. Kini, rambut itu ditata seadanya — justru memperlihatkan garis rahang tegas dan ekspresi santai alami.
Raka melangkah keluar kamar mandi. Duduk di kursi tinggi dekat dapur. Ia membuka laptop khusus dengan tiga lapisan keamanan.
Sistemnya aktif. Beberapa panel terbuka di layar. Data lintas server. Rute drone pengintai. Laporan enkripsi terbobol.
> "Target Delta 7 mengaktifkan sinyal hari ini... Lokasi: kampus."
Raka mengernyit. Satu alisnya terangkat.
> "Wah. Menarik juga. Baru semester tiga, sudah mulai main sinyal sendiri?" gumamnya santai, sambil meregangkan jari-jari.
Tangannya mulai bergerak di atas keyboard. Bukan mahasiswa culun lagi.
Raka si operator — ahli IT dan infiltrator lapangan diam-diam — telah kembali.
Besok pagi, ia akan kembali mengenakan kaca mata lusuh, membungkukkan badan, dan menunduk saat dibully.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments