Aku berjalan dengan langkah gontai memasuki kelas, semua temanku tengah berceloteh ramai tak terkecuali Sita, Maya dan Laura. Aku duduk di samping Sita dengan lesu.
“Lu kenapa sih Ya, lesu amat kaya habis lari maraton 10 kilo aja.” celetuk Maya sambil duduk menghadapku dan Sita.
“Ada Drama pagi-pagi di rumah gaes.” keluhku lesu.
“Hah Drama?” semua temanku tampak kepo, mereka menunggu aku bercerita.
“Anaknya Bokap tiri gue pulang, terus kita sarapan bareng tadi,” aku menjeda ucapanku di iringi helaan nafas.
“Terus terus?” mereka tampak semakin penasaran.
“Ya apa lagi kalau bukan kaya di Drama tivi-tivi indo, anaknya bokap gak suka sama gue sama Ibu.” aku kembali mengakhiri kata-kataku dengan helaan nafas.
“Nyokap Lu gak di siram pake kuah sayur kan?” tanya Maya dengan pandangan serius.
“Ya enggaklah, kalau dia berani nyiram emak gue, gue siram balik dia, baku hantam pun jadi.” aku mengepalkan tinjuku.
“Hooh Ya, jangan sampai kalian mau ditindas gitu aja sama orang lain.” Sita menambahkan.
“Tenang aja gaes, Dea bukan cewek lemah yang menyek-menyek yang berlaga soleha padahal nyatanya bego. Bagi gue, mata di bayar mata, mulut di bayar mulut, kalau mau baku hantam juga gue jabanin gue gak takut.” aku bertekad.
“Emang elu berani? Dia cowok loh?” Laura mengingatkan.
“Ya, gue minta bantuan kalian lah, masa ia empat cewek gak bisa nandingin satu cowok doang.” ucapku percaya diri.
“Hooh bener Ya, tangan gue juga udah gatel pengen hajar orang.” mata Maya tampak berbinar senang.
“Itu kan kalau dia udah kelewat batas gaes, kalau enggak ya gue gak mau juga cari masalah, gue sayang sama Papah Bagas.” ucapaku serius.
“Oke kalau gitu, kalau lu butuh bantuan tinggal bilang kita-kita aja, ya nggak gaes!” ucap Maya, yang langsung di angguki oleh Sita dan Laura.
“Thanks ya, kalian emang temen-temen terthebest gue!” kami saling berpelukan penuh kebahagiaan.
“Eh btw tuh Abang tiri lo mukanya gimana, cakep gak?” tanya Sita, membuat Maya dan Laura yang sudah membetulkan posisinya kembali memutar badan menghadap kami.
Aku menatap sinis kearah mereka, “Kalau ganteng emangnya kenapa? Kalian mau berkhianat sama gue?”
“Eh bukan Ya, kita cuma penasaran, ya gak May?” Sita meminta dukungan.
“Hooh Ya, kita cuma penasaran muka si Abangnya kaya gimana.” Bertepatan dengan itu guru kami pun masuk, hingga percakapan kami pun terhenti saat itu juga.
Jam istirahat pun tiba, Sita, Maya dan Laura pergi lebih dulu ke kantin sedang aku ke toilet sebentar.
“Hay!” sapa Davi setelah aku keluar dari toilet.
‘Ini si Davi nggak nungguin gue di depan toilet kan? Atau gue yang salah pake toilet?’ aku berbalik untuk memastikan apa aku memakai toilet yang benar atau tidak.
‘Tapi ini bener ko toilet cewek, lah dia ngapain disini? Jangan-jangan si Davi ini cabul lagi.’ aku melempar tatapan aneh padanya.
Tampaknya si Davi merasakan tatapan aneh yang aku layangkan hingga membuat dia gugup, “Ka–kamu jangan mikir aneh-aneh tentang aku Ya, a-aku cuma pengen ngobrol berdua sama kamu jadinya aku ngikutin kamu kesini. Tapi aku sumpah aku nungguin kamu di sana tadi, gak deket toilet!” dia mengangkat dua jarinya.
Aku memutar bola mata malas, “ya udah sok kamu mau ngomong apa?”
“Jangan disini dong Ya, masa depan toilet.” keluh Davi.
“Ya emangnya kenapa kalau depan toilet, sama-sama ngomong juga kan.” aku berucap dengan nada kesal.
“Gak enak aja takut ada yang denger.” Davi menarik tangan aku menjauh menuju sisi samping toilet yang aga sepi.
“Ih apaan sih kamu, pake pegang-pegang segala.” aku menghempas tangan Davi dengan tatapan tak suka.
“Emh sorry Ya, gak sengaja.” Davi nyengir kuda, semua orang tahu kalau aku anti dekat dengan cowok, aku selalu menjaga jarak dengan para cowok yang berusaha mendekatiku atau hanya sekedar berteman denganku. Aku tidak ingin saja berdekatan dengan lawan jenis yang memang tidak ada hubungannya denganku, malas juga kalau-kalau nanti ada cewek yang tiba-tiba ngelabrak aku dan ngaku jadi pacarnya si cowok, gak penting banget harus meladeni hal-hal kaya gitu, mending sekolah yang bener.
“Ya udah cepet mau ngomong apa?” tanyaku sambil melipat tangan di dada.
“Gini Ya, sebenarnya–,” Davi tampak gugup, dia beberapa kali menghembuskan nafas kasar dengan tangan saling meremas satu sama lain, “Aku–aku... Su–,”
Aku menghela nafas jengah, “Kalau belum siap ngomong mending jangan di omongin Dav, lain kali aja.” aku hendak pergi, namun refleks Davi mencekal tanganku.
“Sebentar aja Ya, please.” dia memasang wajah penuh permohonan. Aku mengangguk dan kembali diam.
‘Sebenarnya apa sih yang mau dia bilang susah amat,’ aku mulai jengah.
‘Jangan bilang dia mau nyatain perasaannya ke gue?’ aku membulatkan mataku, kini aku sendiri bingung harus bagaimana, ‘Apa aku langsung tolak aja ya?’
“Ya!” suara Maya terdengar.
Maya! Mataku berbinar senang, “Kemana sih tuh anak, beraknya lama betul.” gerutu Maya.
“Maaf Dav, Maya udah nungguin aku, mungkin lain kali aja ya kita bicara lagi.” ucapku memutus percakapan.
“Ta–tapi Ya!” aku langsung kabur tak ingin lagi mendengarkan kata-kata Davi.
“May!” aku langsung merangkul pundak sahabatku itu, senang rasanya dia mencariku ke toilet membuat aku terselamatkan dari pernyataan cinta Davi.
“Dih, Lu kemana aja sih, kita-kita nungguin lu dari tadi.” kesal Maya.
“Sorry, toiletnya penuh tadi, jadi gue ngantri dulu nunggu giliran.” dustaku.
”Iya gitu, tapi ko sepi?” Maya menatap curiga.
“Kan gue yang terakhir, udah ah ayo.” aku menyeret Maya pergi dari sana. Kami makan siang dengan cepat karena jam istirahat sudah hampir habis, semua teman-temanku menggerutu kesal gara-gara aku makan siang mereka cuma bentar, aku memilih diam dan meminta maaf pada mereka soal keterlambatanku tadi.
Sore harinya, seperti biasa aku dan Sita pergi ke cafe, sedang Laura dan Maya pulang ke rumahnya. Aku sedang bersiap mengenakan pakaian kerja, aku mengenakan seragam putih dengan celemek hitam di pinggang, begitu pun yang lain.
“Kalian udah siap?” tanya Manager cafe.
“Udah Pak!”
“Ya udah cepet, cafe lagi rame.”
Aku dan Sita langsung bergabung dengan pelayan yang lain untuk mengantarkan pesanan. Benar kata Pak Manager hari ini cafe benar-benar ramai, bahkan tak ada satupun kursi yang kosong mungkin karena ini malam Minggu, cafe kami memang di desain untuk tongkrongan anak muda yang cukup nyaman dan kekinian.
Sekitar pukul tujuh, empat orang anak muda masuk, Sita terdengar bersemangat di sampingku, dia bilang mereka ganteng-ganteng, bahkan Manager yang menyambutnya sendiri, mungkin mereka bukan orang-orang biasa. Tapi bagiku ya bodo amat, sekarang aku lagi kerja, bagiku mereka hanya ladang duit untuk mengisi dompet, bodo amat mau cakep kaya gimana juga mereka itu diluar jangkauan kita yang cuma remahan rempeyek ikan teri.
“Dea, kamu layani mereka!” Perintah sang Manager.
“Siap Pak!” aku menyatroni meja mereka dan memberikan buku menu satu persatu pada mereka.
“Silahkan Kak, mau pesan apa?” ucapku dengan suara ramah.
“Kalau kita mau pesan kamu, boleh gak?” ucap salah satu dari mereka menggoda, membuat aku yang sebelumnya menunduk sopan tiba-tiba mendongak dengan tatapan membunuh.
“Dimas! Lu apa-apaan sih, becandaan Lu gak lucu anjir.” tegur salah satu temannya.
“Bener Kak, becandaan Kakak itu gak lucu.” aku berucap judes.
“Hehe maaf Mbak, aku cuma becanda ko jangan di ambil hati ya.” aku hanya mendelik sebagai jawaban, aku baru menyadari mereka memang ganteng-ganteng dan yang paling mencolok di antara mereka, adalah satu orang.
‘Astage Abang tiri gue! Ko bisa dia ada disini, dia gak ngenalin gue kan?’ aku menenggak salivaku, sedang Devran hanya membuang mukanya kearah lain.
“Ran, elu mau pesen apaan?” tanya orang yang bernama Dimas tadi.
“Apa aja lah, serah lu.” Devran seolah sengaja menghindari kontak mata denganku, atau bahkan tak ingin melihat wajahku.
“Oke kalau gitu, Mbak aku pesen dua porsi yang sama ya, satu buat aku, satu buat dia.” aku mengangguk mengiyakan.
‘Sebenci itu Abang ganteng sama gue.’ lirihku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Susi Akbarini
lanjutttt...
❤❤❤❤❤
2025-07-26
1
Susi Akbarini
kteng3..
😀😀😀❤❤❤❤
2025-07-26
1