Pada hari pertama bekerja di istana, Claire hanya mempelajari lingkungan kerja dan membiasakan diri dengan protokol istana. Tidak ada tugas penting yang harus diselesaikan, sehingga tepat pukul 18.00, dia pulang sesuai jadwal.
Meskipun dibesarkan di kota metropolitan yang ramai ini, Claire belum benar-benar menginjak tanah kelahirannya selama lima tahun terakhir. Roma masih seindah dulu, dengan arsitektur kuno yang berpadu harmonis dengan bangunan modern.
Dulu, dalam keputusasaan karena kehamilan yang tidak direncanakan, Claire pernah mengancam ayah dan ibu tirinya. Dia kemudian menggunakan waktu kehamilan di rumah untuk mendaftar ke universitas luar negeri.
Tak lama setelah melahirkan, Claire diterima di Universitas Oxford di Inggris. Dia pergi sendirian, meninggalkan semua kenangan menyakitkan di Italia. Setelah lulus, dia melanjutkan pendidikan magister di Universitas Sorbonne di Paris, tempat dia mengasah kemampuan linguistiknya hingga mencapai tingkat yang mengesankan.
Lima tahun kemudian, Roma tetap semarak dan makmur seperti dulu. Namun bagi Claire, semuanya sudah berubah. Dia bukan lagi gadis muda yang naif, melainkan wanita dewasa yang mandiri dan memiliki karier menjanjikan.
"Kau sudah pulang! Aku akan membuat pasta instan. Mau semangkuk?" kata Nora Greene, sahabat sekaligus teman sekamar Claire, sambil mendongak dari ponselnya dan tersenyum ramah.
Claire melepas kacamata berbingkai hitamnya dan meletakkannya di rak sepatu dekat pintu masuk. Dia menunduk untuk mengganti sepatu sambil berkata, "Jangan makan pasta instan terus, Nora. Aku yang akan masak malam ini."
"Claire, kau bilang tidak rabun jauh, tapi kenapa pakai kacamata? Dan lagi, kacamata berbingkai hitam seperti pustakawan tua!" ujar Nora sambil mendekati Claire. Dia mengangkat tangan, menyentuh dagu Claire, menyipitkan mata hijaunya, lalu menatap sahabatnya dengan pandangan menggoda. "Lihat, itu benar-benar menyembunyikan wajah cantikmu."
Claire melirik Nora sambil tersenyum, lalu menepis tangannya dengan lembut. "Aku suka begini, memangnya kenapa?"
"Dan lihat juga pakaianmu," kata Nora sambil menarik kerah blus Claire. "Kau berpakaian seperti sekretaris berusia lima puluh tahun! Bahkan wanita seusia itu tak mengancingkan baju serapi ini!" Nora tertawa sinis. "Memangnya ada pria hidung belang di istana presiden?"
Claire menatap Nora dengan sabar. Ia tidak ingin mendengar keluhan lagi, jadi ia menjelaskan sambil berjalan ke dapur, "Bukan karena ada pria hidung belang, tapi karena aku baru mulai bekerja dan tak ingin terlalu mencolok."
Nora mengikuti dari belakang, mengangguk setuju sambil mendengarkan. "Kau benar. Burung pertama yang menjulurkan kepala akan kena tembak lebih dulu. Dengan kecantikanmu, mudah membuat orang lain terutama perempuan, merasa terancam."
"Tepat sekali," Claire mengangguk dan mengambil air minum dari dapur.
"Ngomong-ngomong, bagaimana hari pertama bekerja di istana? Apa kau bertemu Presiden Atlas yang terkenal tampan itu?" tanya Nora antusias, bersandar di kulkas dengan tangan menyilang, satu kakinya bergoyang.
Claire menyesap air dan mengangguk, "Ya, dia memang lebih tampan secara langsung dibanding di televisi, tapi..."
"Tapi apa?"
Claire tersenyum gugup. "Aku tidak berani menatap matanya langsung, bahkan tidak berani banyak bicara. Auranya sangat mengintimidasi."
"Oh, ayolah!" seru Nora sambil menggeleng frustrasi. "Dia cuma pria biasa dengan dua kaki! Meskipun dia Presiden, lalu kenapa? Dia nggak akan memakanmu hidup-hidup. Kau juga tidak melakukan kesalahan apa pun."
Claire tertawa kecil, lalu mendorong Nora main-main dan membuka kulkas. Jika Atlas di kantor se-“ramah” penampilannya di televisi, mungkin kata-kata Nora ada benarnya. Tapi kenyataannya, pria itu memiliki aura yang begitu kuat hingga membuat Claire merasa canggung.
"Mengapa kulkas ini kosong?" tanya Claire saat melihat isinya yang hanya berisi minuman soda dan bir.
"Biasanya aku pesan makanan atau makan pasta instan," sahut Nora sambil menyeringai. Ia lalu memeluk Claire dari belakang. "Tapi sekarang kau sudah kembali dan tinggal bersamaku, sepertinya kehidupan yang nyaman akan dimulai!"
Claire menggeleng sambil tertawa. "Kau ini."
Memang benar, ini baru hari ketiga Claire kembali ke Italia. Karena tak mungkin kembali ke keluarganya dan tak mudah menemukan apartemen yang cocok dengan anggaran terbatas, pilihan terbaiknya adalah tinggal bersama sahabat lamanya, Nora. Kebetulan, apartemen Nora memiliki dua kamar tidur yang cukup luas.
"Ganti pakaianmu, ayo kita keluar," ujar Claire sambil melirik Nora dan menutup pintu kulkas.
"Mau ke mana?"
"Membeli bahan makanan dan makan malam yang proper."
Nora langsung memeluk Claire dengan semangat. "Kenapa harus ganti baju? Ayo kita langsung pergi!"
Claire menatap Nora yang mengenakan tank top dan celana pendek denim super pendek, lalu berkata, "Setidaknya ambil kardigan atau jaket, Nora. Kita mau ke supermarket, bukan ke pantai."
Saat mereka bersiap keluar, televisi di ruang tamu menampilkan berita malam. Suara pembawa berita yang profesional mengisi ruangan. "Menurut laporan terbaru, setelah Austin Powell, CEO Powell Corporation, meninggal bulan lalu, putra tunggalnya mulai mengambil alih perusahaan. Hari ini, Powell Corporation resmi mengumumkan bahwa Thomas Powell akan menggantikan ayahnya sebagai CEO."
Begitu wajah yang familiar muncul di layar, Nora segera mematikan TV dan mencibir, "Pria itu dulu bersumpah akan menikahimu, dan sekarang..."
"Ayo pergi, sebelum supermarket nya tutup," potong Claire dengan tenang, sambil menarik lengan Nora. Senyum tipis di wajahnya tak sampai ke mata.
Nora memandangi Claire dan tahu sahabatnya tak ingin membahas masa lalu. Dia pun tak berkata apa-apa lagi, mengambil tas, lalu pergi bersama Claire.
Nora memiliki mobil merah sporty. Mereka hanya butuh lima menit berkendara untuk sampai di pusat perbelanjaan yang berjarak dua kilometer dari apartemen.
Sesampainya di supermarket, mereka membagi tugas. Claire membeli minyak zaitun, garam, saus tomat, cuka balsamik, sayuran segar, keju parmesan, roti focaccia, dan minuman. Mereka bekerja sama dengan efisien, lalu bertemu di kasir.
"Biar aku yang bayar," kata Claire saat melihat Nora mengeluarkan dompet. Ia segera menyerahkan kartu debitnya kepada kasir.
Nora menepis tangan Claire. "Untuk apa? Ini baru hari pertamamu bekerja, bahkan belum gajian. Dari mana uangnya?"
Claire bersikeras, "Aku tahu kamu mampu, tapi aku tak bisa hidup menumpang tanpa kontribusi apa pun!"
Nora menatap Claire dengan lembut. "Siapa bilang kau menumpang gratis? Bulan ini aku yang biayai kita, dan bulan depan giliranmu setelah gajian. Kita bergantian."
Claire tersenyum hangat, merasakan ketulusan dalam persahabatan mereka. "Baiklah, kalau begitu kita bergantian. Terima kasih, Nora."
"Itulah gunanya sahabat," sahut Nora sambil menyeringai, lalu membayar belanjaan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments