BAB 4. Seandainya Ada Papa

Bel sekolah baru saja berbunyi, tanda pelajaran hari ini sudah berakhir. Karin sedang membereskan buku-bukunya saat suara Nia berisik menyerbu kursinya.

“Ayo gue antar pulang.”

Tawarnya pada Karin, yang tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, bak seorang bodyguard. Saat istirahat siang tadi, Nia melarang Karin berjalan ke kantin, ia dengan sigap menawarkan dirinya membelikan makanan kecil agar Karin tak perlu berjalan jauh ke kantin. Juga saat Karin ijin ditengah pelajaran untuk ke toilet, Nia dengan senang hati mengikuti langkah Karin dan menunggunya tepat di depan pintu toilet, lalu menggandeng tangan Karin sampai kembali ke dalam kelas. Sungguh seperti seorang pengasuh, batin Nia. Antara senang dan geli.

“gue bisa pulang sendiri Nia…”

“Ah gak..gak.. pokoknya gue anterin.”

“Ya ya, udah terserah lu aja.”

Mereka tertawa bersama. Lalu berjalan beriringan menuju halte bus, menyusuri trotoar. Melewati gedung tempat mereka bimbingan belajar mempersiapkan ujian akhir.

Tidak, belum. Saat itu mereka belum memulai program bimbingan belajar ditempat itu. Dalam memory Karina sebelum mengalami kecelakaan, mereka memulai bimbingan belajar satu bulan sebelum ujian, artinya hari itu mereka belum mendaftar program itu.

“Ni, percaya gak, besok kita bakal belajar di Bimbel ini.”

Karin tersenyum menunjuk gedung bimbel yang ada di hadapan mereka, gedung yang berada tepat disamping sekolah mereka, merasa hebat seolah sedang meramal sebuah kejadian.

“Hah? Maksut lu paan?”

“Besok, nyokap gue sama nyokap lu bakal janjian daftarin kita ke bimbel ini.”

“Emang nyokap lu udah ngomong ke lu?”

“Belum sih…”

“Trus lu tau dari mana?”

Nia menyelidik curiga. Sementara Karin hanya tertawa dan melanjutkan langkahnya menuju halte bus diseberang gedung itu. Nia menyusul dibelakang sambil merengek meminta penjelasan. Mereka tiba diujung zebra cross di seberang halte. Seketika tubuh Karina kaku tak bisa bergerak, tangannya bergetar, berkeringat. Wajahnya pucat dan matanya nanar menatap garis hitam putih yang membentang disepanjang lebar jalan.

Ia teringat mimpi buruk itu, kejadian yang mengubah segalanya. Yang menghadirkan kenyatan pahit yang harus ia hadapi saat ini. Kecelakaan itu. Karin menelan ludah, kakinya betul-betul tak bisa ia gerakan. Membuat Nia panik menggoyang goyangkan badan Karin yang sedang memutar ulang rekaman kejadian berdarah dalam ingatanya.

“Ni, jangan nyebrang. Jangan lewat sini. Ayo jalan terus.”

Karin kembali berjalan di trotoar menyusuri jalanan mengarah kea rah rumahnya. Nia berlari kecil mengikuti langkah kaki Karin yang makin cepat dengan kebingungan.

“Rin… Karin, tunggu… lu mau kemana?”

Nia berusaha mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Karin.

“Lu mau pulang jalan kaki? Gila lu. Bisa pingsan kita nanti. Rumah lu jauh kocak!”

Nia memaki tapi terus mengikuti langkah sahabatnya itu.

“Rin, udah dong capek gue nih.”

Nia menyerah dan berhenti, lalu jongkok dan memanggil Karina yang terus berjalan menjauh memohon belas kasihannya.

“Karina… brenti gak lu…!!”

Karin tersadar, ia berusaha menenangkan diri lalu berhenti melangkah dan berbalik arah menatap Nia yang sudah pasrah terjongkok mengatur nafasnya. Melihatnya berhenti, Nia berdiri dan menghampirinya dengan khawatir.

“Lu kenapa sih Rin? Lu mimpi apa sih kemaren sampai lu jadi aneh gini?”

Karin menatap Nia, ia merasa bersalah membuat sahabatnya itu khawatir. Karin menggeleng. Tidak, dia gak boleh bikin Nia khawatir. Sahabatnya ini terlalu baik untuk mendapat perlakuan yang menyedihkan, sisa hidupnya harus bisa ia gunakan untuk menciptakan memory indah, setidaknya untuk bisa Nia kenang sebelum kehadirannya segera bisa dilupakan oleh orang yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka duduk dibangku SD, sampai SMA selalu satu sekolah.

“Kita naik bis di halte setelah ini aja ya. Kita jalan dulu aja bentar. Sekalian lewat sekolah adek gue.”

Karin berusaha tersenyum agar Nia merasa lega. Nia mengangguk menggandeng tangan Karin berjalan perlahan.

Tidak jauh dari sekolah mereka ada gedung sekolah SMP tempat Dimas bersekolah, meskipun mungkin Dimas sudah pulang dijam itu, tapi Nia setuju untuk berjalan kearah sana. Berharap Dimas masih ada dan mereka bisa pulang bertiga, Nia masih sedikit khawatir jika terjadi sesuatu dijalan, setidaknya ada Dimas bersama mereka.

“Gedebuk….brak…”

Belum juga mereka sampai di gedung sekolah Dimas, mereka mendengar sebuah suara di samping sebuah bangunan kosong yang sudah lama tidak ada yang menempati. Suara seperti sesuatu yang jatuh disusul suara riuh tertawa sekaligus mengerang.

Nia dan Karin saling tatap, lalu mereka melihat sekeliling. Dalam bangunan tua itu terlihat bebrapa bayangan tubuh berbaju putih sedang saling berkerumun.

Hantu? Ah tak mungkin, siang bolong begini, batin Karin yang mulai sangat waspada setelah pertemuannya dengan putri, si hantu cilik.

“Rin, kyaknya ada yang berantem disana!”

“Hah, berantem? Mana?”

“Itu Rin, anak-anak sekolah itu. Pakek seragam!”

Pekik Nia menunjuk kearah anak-anak dengan baju seragam di dalam gedung. Karin melangkah mendekat kearah gedung, dan betul saja. Ia melihat beberapa anak laki-laki yang sedang saling menyerang.

“Tunggu Rin, itu Dimas!”

Nia menghentikan langkah Karina dan menunjukan telunjuknya memberi tanda bahwa ada Dimas disana.

“Karin, lu jangan masuk bahaya. Kita cari bantuan aja!”

Nia menyeret Karin agar menjauh, mencari bantuan. Mereka memanggil seorang bapak pedagang kaki lima dan beberapa orang pembelinya untuk membantu mereka melihat dan melerai Dimas yang entah sedang dipukuli atau justru dia yang sedang menyerang.

“Heh kalian, bubar bubar..!!”

Lerai seorang diantara bapak itu.

“Pulang sekolah bukannya balik malah berantem disini. Bubar!!” sahut bapak yang lain.

Seketika mereka yang menggunakan seragam putih lari kocar kacir meninggalkan seorang anak berseragam biru muda, yang sedang meringkuk melindungi diri dengan tangan menutupi kepalanya, dengan dahi dan bibir yang sudah berdarah menerima serangan tak kurang dari 5 orang anak dari sekolah lain. Ya, Dimas. Itulah Dimas.

Bapak penjual asongan mendekati Dimas, memeriksa apakah anak itu masih selamat dari keroyokan.

“Kamu gak papa nak?”

Dimas menggeleng, merintih kesakitan. Dibantunya Dimas berdiri dan berjalan keluar gedung dengan pincang. Sementara Nia dan Karin menunggu diluar bangunan dengan cemas hingga mereka keluar.

Dimas terkejut, mendapati kakaknya berdiri dihadapanya, menyaksikannya dalam kondisi berantakan dan berdarah. Membuat Dimas justru terlihat marah dan merebut tas ransel dari tangan seorang bapak yang ikut membantunya berjalan. Lalu pergi begitu saja tak menghiraukan Karin yang hampir menangis melihatnya, setelah mengucapkan terimakasih pada orang-orang yang sudah menolongnya.

Tak lupa juga Karin dan Nia mengucapkan terimakasih lalu buru-buru berlari menyusuli adinya yang terus berlari tak mempedulikan Karina yang terengah engah mengejar.

“Dimas brenti!”

Karina berhasil mengejar dan menarik tangan Dimas memaksanya berhenti.

“Lu ngapain bisa sampai dikeroyok gitu? Lu bikin masalah apa sama mereka?!”

“Gak ada yang bikin masalah. Elu tuh yang suka bikin masalah!”

Sahut Dimas penuh emosi.

“Kok gue sih? Yang berantem elu kenapa jadi gue yang bikin masalah.”

Dimas tak menghiraukannya, ia kembali berjalan meninggalkan kakanya.

“Dim, lu kalau balik dalam kondisi gitu bakal bikin mama sedih. Lu mau mama sedih?”

Kata-kata Karin berhasil menghentikan langkah Dimas. Karin tau betul, meskipun Dimas sedikit bandel, dia tidak akan bisa melihat bu Nurma sakit atau sedih. Dan sebandel-bandelnya Dimas, tidak mungkin sampai berbuat seperti yang baru saja ia saksikan jika bukan karena hal yang sangat beralasan. Karina mendekati Dimas, menyentuh pundak adiknya dengan hati-hati.

“Mama udah sakit gara-gara gue Dim, jangan lu ikut nambahin sakitnya mama.”

Bisik Karin lembut. Dimas terdiam, ia mencerna kata-kata kakaknya. Membayangkan jika ibunya harus kembali bersedih atau sakit karena ulah anaknya. Dimas tak sanggup melihat itu.

“Lu kenapa sih bisa ampe dikeroyok gitu? Lu gak nyerang mereka duluan kan?”

Dimas menggeleng. “Mereka ngatain mama janda bohay kak.” Terang Dimas, diikuti suara tawa kecil Karina.

“Kok lu ketawa sih? Lu seneng ya mama digodain?”

“Ya emang mama bohay, Dim. Gimana dong?”

“Gak lucu tau gak!”

“Iya… iya.. Maaf, bukan gitu maksud kakak.”

Mereka kini berjalan beriringan dengan langkah yang lebih tenang.

“Gue gak suka kalau ada yang ngomong gak sopan soal mama.”

“Iya, kakak tau. Kakak juga gak suka. Tapi gak perlu sampai berantem juga kali Dim. Ujung-ujungnya elu juga yang ke’ok kan. Babak belur gitu. Untung kakak sama kak Nia lewat, kalau gak? Udah jadi apa lu ama mereka? Udah jadi bakwan lu, disantap ama mereka”

Karin dan Nia terkekeh sementara Dimas manyun kesal.

“Lagian mereka kenal mama dari mana sih, Dim?”

“Mereka satu SD ama gue. Jadi kenal sama mama”

Karin membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil mengangguk.

“Coba kalau kita masih punya papa, pasti mama gak akan jadi bahan ejekan. Mama juga gak akan susah susah cari duit sendirian buat kita.”

Dimas tertunduk berjalan menatap langkah kakinya sendiri.

“Papa itu kaya apa ya wajahnya? Mama gak pernah kasih liat fotonya. Lu kan waktu papa pergi udah agak gede kak, lu inget gak wajah papa?”

Dimas menatap wajah Karina sekejap.

Deg, langkah Karina terhenti.

“Karina, ini papa” begitu pesan yang Karina terima sebelum ia mengalami kecelakan, di dunianya yang sebelumnya.

Karina menghela nafasnya berat, menatap adiknya yang bingung melihatnya pucat.

Papa…, batinya lirih.

Episodes
1 BAB 1. Mati untuk hidup
2 BAB 2. Hidup Dengan Yang Mati
3 BAB 3. Bidadari Karina
4 BAB 4. Seandainya Ada Papa
5 BAB 5. Langkah Awal
6 BAB 6. Yang Pulang Tak Berarti Kembali
7 BAB. 7 Perjalanan Pertama.
8 BAB 8. Oma Itu Siapa?
9 BAB 9. Oma Surya VS Nenek Dini
10 BAB 10. Ketahuan
11 BAB 11. Nia dan Putri #1
12 BAB 12. Keikhlasan Mama
13 BAB 13. Sebuah Foto
14 BAB 14. Nia Dan Putri #2
15 BAB 15. Sebuah Kunci
16 BAB 16. Foto Keluarga
17 BAB 17. Persahabatan
18 BAB 18. Jalan Buntu
19 BAB 19. Ratusan Juta Rupiah
20 BAB 20. Rumah Itu Pemberian Papa
21 Bab 21. Lapor Mama!
22 BAB 22. Demam
23 BAB 23. Kotak Kardus
24 BAB 24. Parcel Mama
25 BAB 25. Nek Mojang
26 BAB 26. Es Buah Pak Bewok
27 BAB 27. Pak Bewok
28 BAB 28. Nenek Nia Dan Nenek Karina
29 BAB 29. Berbagai Kejutan
30 BAB 30. Segelas Es Buah
31 BAB 31. Mencari dan Menemukan
32 BAB 32. Rahasia Masing-masing
33 BAB 33. Merubah Yang Tak Bisa Dirubah
34 BAB 34. Ada Yang Menghindar
35 BAB 35. Bapak itu Papa
36 BAB 36. Dedikasi Budiman
37 BAB 37. Kecelakaan
38 BAB 38. Rasa Bersalah
39 BAB 39. Manusia-Manusia Istimewa
40 BAB 40. Keputusan Yang Salah
41 BAB 41. Seperti Bongkahan Salju.
42 BAB 42. 'Menang'
43 BAB 43. Semangat Lagi
44 BAB 44. Pertemuan Diam-Diam
45 BAB 45. Candra Kirana
46 BAB 46. Tangan Kosong
47 BAB 47. Ke-keluarga-an
48 BAB 48. Keributan
49 BAB 49. Intrik
50 BAB 50. Hampers Datang Lagi
51 BAB 51. Peringatan
52 BAB 52. "Seandainya Karin tau dia adalah..."
53 BAB 53. Pundung
54 Mencari Dimas
55 "Hati-Hati Di Jalan Ya Pah"
56 Dia Adalah...
57 Secercah Cahaya
58 Pesan itu...
59 "Dasar Perempuan!"
60 Pertemuan
61 Ayah, dan Anak
62 Perjuangan Belum Berakhir
63 Sebuah Kisah Cinta
64 Mang Daryo Memanggil
65 Mang Daryo Sakit
66 Warisan dan Harapan
67 Kirana dan Bu Dini
68 Pertemuan mengharukan #1
69 Planing
70 De Javu
71 Dalam Rumah Duka
72 Permintaan Terakhir
73 Isi Hati Nurma
74 Janji Temu
75 Membereskan Kenangan
76 Putri Yang Mulai Melemah.
77 Warisan Papa
78 Mari Ke Bandung.
79 Nasihat
80 Memantapkan Hati
81 Sebuah Perpisahan?
82 Mari Bersiap
83 Sepasang Suami Istri.
84 Legowo
85 Takdir Tetaplah Takdir.
86 Wasiat
87 Untuk Kalian Semua Yang Aku Sayang
88 Karya Ke Dua
Episodes

Updated 88 Episodes

1
BAB 1. Mati untuk hidup
2
BAB 2. Hidup Dengan Yang Mati
3
BAB 3. Bidadari Karina
4
BAB 4. Seandainya Ada Papa
5
BAB 5. Langkah Awal
6
BAB 6. Yang Pulang Tak Berarti Kembali
7
BAB. 7 Perjalanan Pertama.
8
BAB 8. Oma Itu Siapa?
9
BAB 9. Oma Surya VS Nenek Dini
10
BAB 10. Ketahuan
11
BAB 11. Nia dan Putri #1
12
BAB 12. Keikhlasan Mama
13
BAB 13. Sebuah Foto
14
BAB 14. Nia Dan Putri #2
15
BAB 15. Sebuah Kunci
16
BAB 16. Foto Keluarga
17
BAB 17. Persahabatan
18
BAB 18. Jalan Buntu
19
BAB 19. Ratusan Juta Rupiah
20
BAB 20. Rumah Itu Pemberian Papa
21
Bab 21. Lapor Mama!
22
BAB 22. Demam
23
BAB 23. Kotak Kardus
24
BAB 24. Parcel Mama
25
BAB 25. Nek Mojang
26
BAB 26. Es Buah Pak Bewok
27
BAB 27. Pak Bewok
28
BAB 28. Nenek Nia Dan Nenek Karina
29
BAB 29. Berbagai Kejutan
30
BAB 30. Segelas Es Buah
31
BAB 31. Mencari dan Menemukan
32
BAB 32. Rahasia Masing-masing
33
BAB 33. Merubah Yang Tak Bisa Dirubah
34
BAB 34. Ada Yang Menghindar
35
BAB 35. Bapak itu Papa
36
BAB 36. Dedikasi Budiman
37
BAB 37. Kecelakaan
38
BAB 38. Rasa Bersalah
39
BAB 39. Manusia-Manusia Istimewa
40
BAB 40. Keputusan Yang Salah
41
BAB 41. Seperti Bongkahan Salju.
42
BAB 42. 'Menang'
43
BAB 43. Semangat Lagi
44
BAB 44. Pertemuan Diam-Diam
45
BAB 45. Candra Kirana
46
BAB 46. Tangan Kosong
47
BAB 47. Ke-keluarga-an
48
BAB 48. Keributan
49
BAB 49. Intrik
50
BAB 50. Hampers Datang Lagi
51
BAB 51. Peringatan
52
BAB 52. "Seandainya Karin tau dia adalah..."
53
BAB 53. Pundung
54
Mencari Dimas
55
"Hati-Hati Di Jalan Ya Pah"
56
Dia Adalah...
57
Secercah Cahaya
58
Pesan itu...
59
"Dasar Perempuan!"
60
Pertemuan
61
Ayah, dan Anak
62
Perjuangan Belum Berakhir
63
Sebuah Kisah Cinta
64
Mang Daryo Memanggil
65
Mang Daryo Sakit
66
Warisan dan Harapan
67
Kirana dan Bu Dini
68
Pertemuan mengharukan #1
69
Planing
70
De Javu
71
Dalam Rumah Duka
72
Permintaan Terakhir
73
Isi Hati Nurma
74
Janji Temu
75
Membereskan Kenangan
76
Putri Yang Mulai Melemah.
77
Warisan Papa
78
Mari Ke Bandung.
79
Nasihat
80
Memantapkan Hati
81
Sebuah Perpisahan?
82
Mari Bersiap
83
Sepasang Suami Istri.
84
Legowo
85
Takdir Tetaplah Takdir.
86
Wasiat
87
Untuk Kalian Semua Yang Aku Sayang
88
Karya Ke Dua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!