Adi menoleh pada Sunyoto yang tergeletak bersimbah darah tak bergerak lagi.
"Maafkan Adi, Tuan ..." Adi terisak. Sepasang matanya menyiratkan rasa takut dan sedih. Lalu menoleh pada ibunya, "Bu apakah betul Tuan akan mati?" Tanyanya cemas.
" Berdoa semoga ada mukjizat Tuan tertolong, ya," bisik Suryani.
"Ya, Bu, Aku ingin Tuan hidup lagi, aku mau minta maaf pada Tuan, tapi Tuan jangan mencekek ibu lagi, ya, gitu,"
"Ya, Nak, ya ..." Suryani mengusap air mata Adi.
Ayo kita turun, Nak, cepat, " diajaknya Adi ke kamar mereka.
Suryani tahu tak sempat lagi memberi anaknya makan siang. Dikepalnya nasi putih, lalu disuapkan pada anaknya, "Makanlah untuk isi perutmu,"
Adi menurut.
"Ayo minumlah teh manis ini habiskan ..," Suryani memberikan segelas air teh hangat manis.
Adi memang lapar. Di sekolah ia tak biasa jajan banyak. Satu suap nasi dan Satu gelas teh manis cukup untuk mengisi perut kosongnya.
Tak mau membuang waktu Suryani memasukkan baju Adi. Tak lupa semua tabungan uangnya untuk keperluan anaknya. Juga sebuah box berisi nasi dan lauk.
"Adi cepat tinggalkan rumah ini, pergilah sejauh mungkin ..."
"Bu Adi mau sama Ibu, Adi takut ..." sinar mata Adi membuat Suryani tak tega melepas anaknya sendiri. Tapi ini harus dilakukan. Ia tak mau Adi jadi sasaran kemarahan keluarga Sunyoto.
"Adi dengar Ibu tas bajumu ada semua uang Ibu, pergunakan untuk makan, Nak. Semoga Allah melindungimu sayang ..." Pecah tangis Suryanni mencium ubun ubun anaknya. Lalu mencium kedua pipi Adi dengan pedih tak tertahankan.
"Ibu ..." Adi masih enggan pergi ia memegang baju ibunya.
“Ayo, Nak cepat pergilah sejauh mungkin sebelum polisi dan keluarga Tuan datang...” didorongnya dengan hati terpaksa anaknya yang sesunggukan enggan meninggalkannya.
Ibu dan anak berpelukan dengan hati pilu.
”Sayang pergilah, jangan pernah mencari Ibu. Jaga dirimu dan Ibu tidak akan rela jika dirimu tersakiti, hati hati simpan uangnya,ya..” diciumnya lagi bocah menangis itu.
Sesungguhnya ia berat hati melepas Adi di dunia luar yang liar dan tak terjamin keamanannnya.
Pedih tak tak terkirakan karena tak memiliki kesempatan membesarkan Adi. Terlebih membiarkan anaknya hidup lepas di dunia luar.
“Ibu...Aku takut...aku ikut Ibu saja..” Adi memeluk erat ibunya dengan badan gemetar. Bocah itu enggan berpisah dengan ibunya.
"Kalau Adi tidak pergi nanti Ibu akan dipukul oleh keluarga Tuan," sengaja Suryani mengarang cerita. "Adi tidak ingin Ibu dipukul, kan?"
“Tapi yang membunuh Tuan, Adi, kan, Bu?" Potong Adi menatap ibunya penuh rasa takut. Air mata pemuda kecil tampan itu mengaliri kedua pipinya.
“Huss...” Suryani membekap bibir anaknya dengan dengan hati pedih, ”Anak laki laki tidak boleh menangis. Harus kuat, kan Ibu selalu bilang begitu..."
Adi mengangguk cepat. Punggung tangannya segera menyeka air matanya. Dan isakan tangisnya seketika terhenti, ditahannya sekuat mungkin, tak mau mengecewakan ibunya. Harus jadi anak penurut supaya ibunya senang.
Suryani tersenyum dalam kesedihannya melihat usaha Adi menuruti nasehatnya itu.
"Bu, tadi Tuan jahati Ibu. Adi ingin membela Ibu..." pelan dan hati hati Adi berkata pada ibunya yang berjongkok di depannya itu.
"Adi tidak bersalah... Adi hanya membela Ibu, Adi hanya kasihan pada Ibu, makanya ayo cepat tinggalkan rumah ini, sayang, kalau Adi masih di sini pasti Ibu yang akan dipukul. Ayo pergilah sayang dan jangan cari Ibu...semoga kita bertemu lagi, Nak...” diciumnya anaknya berulang kali sebagai tanda sayang dan kasihnya dalam perpisahan yang sama sekali tidak disangkanya itu.
“Ibu ...” Adi mempererat pelukannya . Tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar ketakutan. Dalam pikirannya ia tak ingin ibunya disakit.
Adi percaya pada ucapan ibunya. Selama ini ibunya tak pernah berbohong. Ia tak ingin ibunya dipukuli keluarga tuannya, makanya ia harus pergi meninggalkan rumah majikan ibunya.
“Anakku...” gemetar suara Suryani mencium lagi ubun ubun anaknya. "Ya Allah lindungilah anak Hamba di luar sana jauhkan dari orang jahat.
Mereka berpelukan. Saling bertangisan. Saling berat untuk berpisah. Beberapa detik mereka saling menyatukan hati yang penuh kasih. Saling sayang dan sama sama terikat satu dan lainnya sebagai anak dan ibu.
“Okh..!” Suryani terkejut saat mendengar deru mobil mendekat, mukanya pucat, "Ayo, Nak cepat tinggalkan rumah ini, pergilah jauh dan hati hati..” tertatih ditariknya Adi melewati pintu belakang supaya tidak terlihat anggota keluarga tuannya yang pasti tak terima atas kematian Sunyoto.
“Ibu ...” rengek Adi memegang tangan Suryani enggan melepaskan pegangannya pada tangan ibunya.
"Kalau Adi sayang Ibu nurut, kan sama Ibu, " ditatapnya anaknya dengan air mata berlinang.
"Adi sayang Ibu..." bergetar suara Adi, sedih harus berpisah dari ibunya. Takut dan bingung harus pergi kemana sendirian tanpa ibu yang selama ini selalu bersamanya.
"Lupa pesan Ibu, ya, anak laki laki nggak boleh cengeng..." Suryani menghapus air mata anaknya.
"Ya..." Adi mengangguk, dan berusaha menghentikan isakannya, "Adi nggak cengeng..." lanjutnya.
"Pintar..." Suryani memaksakan diri tersenyum.
Adi ikut tersenyum. Tentu saja untuk menyenangkan ibunya.
"Jangan pernah ceritakan pada siapa pun peristiwa ini, nanti Ibu disiksa di sini, ya Nak" Suryani khawatir anaknya dimusuhi orang jika tahu peristiwa yang sebenarnya.
"Ya, Bu, " angguk Adi dengan air mata berderai.
"Jangan sebut nama Ibu pada siapa pun, jangan bilang Adi anaknya Ibu Suryani, ya,"
"Ibu,"
"Adi harus nurut sama pesan Ibu, ya kalau sayang sama Ibu,"
"Adi sayang ibu," angguk Adi dengan air mata berlinang.
Lagi Suryani mencium untuk terakhir kalinya ubun ubun Adi.
Deru mobil semakin dekat. Suryani semakin panik. Maka dengan keterpaksaan mendorong anaknya untuk menjauhi rumah majikannya. Sedangkan Adi malah ingin memeluk ibunya.
Dorong mendorong sangatlah membuat suasana ibu dan anak itu mencekam.
“Adi sayang Ibu?”
Adi mengangguk
“Mau nurut sama Ibu?”
Mengangguk lagi.
“Ingin Ibu bahagia?”
“Ya,”
“Sungguh?”
“Ya beneran, Bu...” angguk Adi menyeka ingusnya yang berbaur dengan air matanya yang mengalir deras.
Suryani mendekat lagi mencium muka Adi,”Kalau begitu jadilah anak penurut, pergilah jauh supaya Ibumu ini senang punya anak penurut...”
“Ibu...” sedan Adi.
“Ya pergilah...”
Adi melangkah mundur selangkah demi selangkah dengan air mata berlinang menatap ibunya.
Begitu pun Suryani tak melepas sedetik pun tatapannya pada buah hatinya.
"Nak jika anak Tuan tahu kamu yang membunuh papanya pasti dia akan membalas padamu. Mereka orang kaya nanti Ibu takut tak bisa menyelamatkanmu. Pergilah Nak ... Titip Adi ya Tuhan jauhkan dari orang jahat.
Mereka saling melambai dengan cucuran air mata.
Adi yang enggan meninggalkan ibunya terpaksa pergi dengan air mata tak henti berderai. Ini perpisahan pertama dengan ibunya..
“Pergilah, Nak...” menahan tangis Suryani memandang anaknya yang menoleh padanya dengan tatap ketakutan.
"Harus kuat. Adi harus kuat!!" Suryani setengah berteriak.
"Ya Adi harus kuat!" Adi juga setengah berteriak.
Suryani menatap langkah Adi yang semakin menjauh.
Di ujung jalan Adi masih menoleh sesaat sebelum berbelok. Menatap ibunya Bu dari kejauhan.
Begitu pula Suryani.
Mereka masih berdiri saling bertatapan dari kejauhan.
Lalu Suryani memberi kode dengan tangannya supaya Adi cepat pergi.
Adi mengangguk dengan air mata berlinang. Namun linangan air matanya tak lagi bisa dilihat ibunya karena mereka berdiri dalam jarak hampir dua puluh lima meter.
Begitu pun dengan Suryani. Linangan air matanya mengiringi sosok Adi yang perlahan mulai menghilangkan di belokan jalan.
Saat anaknya tak tampak lagi barulah Suryani masuk ke dalam rumah majikannya Siap menerima hukuman atas meninggalnya Sunyoto.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments