Kehilangan Mikayla

Dokter Gio berdiri di sisi ranjang, mengenakan sarung tangan dengan tangan gemetar. Dua perawat membantunya dengan sigap, memasang alat bantu napas dan menyiapkan suntikan adrenalin.

“Mikayla! Hei, Mik! Dengarkan aku! Lihat aku!” suara Gio parau, nyaris pecah. “Kamu nggak boleh pergi… kamu dengar, Mik? Kamu masih bisa diselamatkan! Bertahan, Mikayla! Aku mohon…”

Tapi tubuh Mikayla tak lagi banyak merespons. Wajahnya pucat, hampir transparan. Nafasnya tersengal dan terputus-putus. Matanya separuh terbuka, menatap kosong ke langit-langit yang kini seperti langit terakhir dalam hidupnya. Jari-jarinya sedingin es.

Air mata mengalir dari sudut matanya yang hampir tak berkedip.

Dalam kabut kesadarannya, Mikayla merasa dirinya melayang. Ringan. Seolah tubuhnya tidak lagi tertambat ke bumi. Suara-suara di sekelilingnya terdengar seperti gema dari dalam air. Cahaya langit-langit terlihat seperti titik jauh di ujung terowongan.

Tiba-tiba…

Suara langkah tergesa-gesa terdengar dari lorong luar.

“Mikayla!! Mikaylaaa!” suara lelaki menerobos udara, mengguncang ruangan seperti badai panik. Pintu didobrak keras.

Sosok laki-laki itu muncul. Tinggi, napasnya memburu, rambutnya kusut seperti habis berlari sejauh mungkin. Matanya liar mencari. Dan saat ia melihat tubuh Mikayla di ranjang, diam, hampir tak bernyawa, lututnya Lemas.

“MIKAYLA!! Aku di sini! Aku di sini!” teriaknya, mendekat, menggenggam tangan Mikayla yang dingin.

Mikayla membuka matanya sedikit. Suara itu seperti datang dari kejauhan, samar, menggema seperti suara dari balik kabut.

Mikayla berusaha membuka mata lebih lebar. Suaranya samar, bibirnya bergerak tanpa suara. “Siapa...?” hanya gerakan bibir, tak terdengar, seolah ia tak lagi memiliki kekuatan untuk berbicara.

“Mikayla… jangan tinggalin aku… Maaf aku baru datang menemui mu.” suara lelaki itu pecah. Tangisnya turun tak terbendung.

“Tuan, kami mohon keluar dulu. Biarkan kami menanganinya,” suara seorang suster tegas namun lembut. Bersama asistennya, mereka menyeret pria itu pelan, yang masih berusaha mencengkeram tangan Mikayla hingga jari-jarinya terlepas.

“Tapi aku, dia... Mikayla!”

“Tolong, Tuan!”

Dengan berat hati, pria itu dipaksa keluar. Tapi sebelum pintu menutup, ia menoleh sekali lagi, air mata mengalir deras di pipinya.

“Gio! Kalau kau membiarkan dia pergi, aku takkan pernah memaafkan mu! Selamatkan dia! Kumohon!”

Pintu tertutup kembali. Suara monitor mulai kacau.

“Tekanan darah turun drastis!” teriak suster.

Gio tak menghiraukan kata-kata siapa pun. Tangannya bergerak cepat. Tapi matanya sudah berkaca-kaca. Ia menekan dada Mikayla berulang kali, berharap keajaiban.

“Ayo, Mik… kamu janji mau istirahat. Ini bukan yang aku Maksud! Jangan gini dong… bertahan sedikit lagi…!”

Namun pandangan Mikayla sudah kosong. Ia menatap langit-langit putih untuk terakhir kalinya. Suara di sekelilingnya menjadi sunyi. Nyeri yang menghantuinya selama bertahun-tahun... perlahan sirna.

Dalam hati, satu kalimat terakhir terucap, “Jika aku diberi kesempatan hidup kembali… kumohon, jangan jadikan aku bagian dari keluarga itu lagi…”

Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi suara tawa sinis. Tak ada lagi racun, pengkhianatan, atau harapan yang dipatahkan.

Mikayla menutup matanya dan tak pernah membukanya lagi.

Flatline!

Monitor berubah menjadi garis lurus panjang. Bunyi ‘tiiiiiiiiiiiit’ memenuhi ruangan.

“Jantungnya berhenti!”

“CPR, cepat!”

Gio memompa dada Mikayla berulang kali. Putus asa.

"Ayo Mik, jangan gitu… kamu kuat… kamu selalu kuat…" suaranya pecah. “Jangan pergi… bukan gini caranya kamu menyerah…”

“Mulai defibrillator! Menjauh! Satu, dua, tiga, clear!”

Tubuh Mikayla sedikit terangkat saat kejutan listrik masuk, tapi tetap tidak ada respons.

“Lagi! Sekali lagi! Clear!”

Tak ada gerakan.

Gio mulai kehilangan harapan. Tapi ia masih memompa dada Mikayla.

Namun tubuh Mikayla tak merespons. Ia tetap diam. Terlalu damai… terlalu tenang.

Suster menatap Gio dengan mata merah. Ia menggeleng pelan.

Gio membeku. Tangannya yang masih menekan dada Mikayla perlahan berhenti. Bahunya turun. Napasnya gemetar.

“T-Tidak… ini bukan akhirnya dia…”

Tangis menetes di pipinya.

Suster mendekat ke Gio, pelan, sopan, tapi tegas. “Dok... kita harus mencatat waktu kematian pasien.”

Gio tak menjawab. Ia menatap wajah Mikayla yang kini tenang, seolah tertidur. Pipinya masih basah oleh air mata.

Dengan suara paling pelan, patah, dan bergetar, ia menjawab, “Mikayla Wicaksana… meninggal pukul... 17.46 sore... di tanggal 9 Juli 2025...”

Di luar ruangan, pria yang datang tadi terduduk lemas di lantai, wajahnya pucat. Tangannya menutup wajah, bahunya terguncang.

“Sabar, Tuan,” bisik asistennya, mencoba menenangkan. “Kami semua tak tahu keadaannya separah ini…”

Tangis menjadi satu-satunya suara.

Pria itu bangkit, mendorong pintu kembali terbuka dengan kasar. Pria tadi masuk, menyeret kakinya yang lemas. Ia langsung menarik kerah jas dokter Gio.

“Ku bilang kau harus menyelamatkannya! Kenapa dia tidak bangun?! KENAPA?!” suaranya meledak. Wajahnya basah oleh air mata.

Gio tak melawan. Ia hanya menatap kosong, lalu menepis tangan pria itu pelan dan pergi meninggalkan ruangan, bahunya turun, tubuhnya lunglai, langkahnya berat. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan ini.

Sementara itu, pria itu berjalan pelan ke sisi Mikayla. Ia terisak, matanya menatap wanita yang kini telah tiada.

Satu per satu peralatan medis dilepas oleh suster. Alat bantu napas. Monitor. Infus. Semua dilepas perlahan.

Ia menyentuh pipi Mikayla dengan tangan gemetar.

“Kalau ada kehidupan kedua… aku janji, Mik…” suaranya lirih.

“Akan ku buat kamu menjadi ratu satu-satunya dalam hidupku. Aku akan buat kamu bahagia... tanpa mereka... tanpa keluarga yang menyakitimu…”

Tangisnya pecah lagi. Ia mengecup kening Mikayla yang dingin. Terlalu dingin.

Suster menatapnya dengan iba. Lalu, dengan perlahan, ia menarik kain putih dan menutup tubuh Mikayla… dari ujung kaki… hingga ke wajah.

Tepat sebelum kain itu menutupi seluruh wajahnya, Mikayla seperti tersenyum.

Senyum tipis… damai. Seolah luka bertahun-tahun akhirnya berakhir.

Seolah ia akhirnya bebas.

Langit berwarna biru keperakan membentang luas. Awan lembut seperti kapas terapung tenang, menyelimuti tempat yang tak bisa dijelaskan oleh logika manusia. Udara terasa hening namun hangat, penuh ketenangan. Cahaya keemasan jatuh dari langit, menyinari tanah putih yang tak berujung.

Di tengahnya, terdapat sebuah pelataran suci, dikelilingi pilar-pilar kristal yang tinggi menjulang, memantulkan cahaya halus seperti pelangi. Di atas singgasana batu putih berukir, duduk seorang pria muda berjubah panjang warna biru muda, rambutnya perak bersinar, matanya penuh kebijaksanaan.

Ia dikenal sebagai Tuan Raviel, Penjaga Catatan Jiwa, bukan sekadar pencatat amal, tapi juga pengamat hati manusia.

Tuan Raviel memandangi sosok perempuan yang berjalan perlahan ke arahnya. Dress putih sederhana menyelimuti tubuh Mikayla, rambutnya tergerai, dan wajahnya bersih tanpa luka. Ia tampak seperti dirinya yang dulu, sangat cantik. Bahkan dewa itu sedikit terpesona dengan Mikayla.

Terpopuler

Comments

Kusii Yaati

Kusii Yaati

sumpah aq sampai nangis Thor,bab awal udah dapet cerita yang bikin sedih, emosi dan bikin nangis /Sob//Sob//Sob/

2025-07-17

0

JanJi ◡̈⋆ⒽⒶⓅⓅⓎ😊

JanJi ◡̈⋆ⒽⒶⓅⓅⓎ😊

d perlihatkan juga apa kluarganya menyesal atau ngak😤

2025-07-10

1

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

semoga di kehidupan kedua kamu tidak memiliki keluarga seperti mereka lagi mik

2025-07-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!