The Legend Of Zhang Jian
Udara pagi di Istana Naga Agung masih dibalut embun tipis ketika Raja Zhang Fu duduk di singgasana emasnya, matanya menyapu ke arah langit-langit yang dihiasi ukiran naga giok. Suara burung terdengar berkicau pelan, bersaing dengan gemericik air kolam di halaman dalam. Namun, raja tak menikmati keindahan pagi itu. Keningnya berkerut karena tidak melihat putranya yang seharusnya ikut bersamanya menyambut kedatangan Tetua Sekte Kunlun.
“Di mana Zhang Jian?” tanya Raja Zhang Fu, suaranya tenang tetapi dingin seperti angin musim gugur.
Sima Qian, Kepala Kasim Kerajaan Naga Agung, segera menunduk dalam sembari menghela nafas panjang.
“Hamba mohon ampun, Yang Mulia,” sahutnya dengan suara pelan tapi jelas. “Pangeran Zhang Jian, seperti biasanya sedang melakukan pencitraan di desa barat. Padahal aku sudah mengatakan tidak ada gunanya tebar pesona pada penduduk miskin itu, tetapi ia mengabaikan seruanku.”
Mata sang raja menyipit, bibirnya mengatup rapat. Dia menggelengkan kepala perlahan, seolah melihat bayang kesia-siaan di masa depan.
“Anak sialan itu! Seharusnya hari ini ia berada di pelataran istana luar. Tetua dari Sekte Kunlun telah tiba, seharusnya ia tebar pesona pada Tetua itu bukan pada rakyat jelata, mana tahu Tetua itu bisa membuatnya menjadi murid inti salah satu Puncak Sekte Kunlun.” Raja menghela nafas panjang. “Apa sih gunanya berpura-pura menjadi pahlawan rakyat. Cepat atau lambat Kerajaan ini akan ….”
“Apa maksud Anda, Yang Mulia!” sahut Sima Qian khawatir.
Raja Zhang Fu melambaikan tangan. “Lupakan saja, cepat suruh Zhang Jian kembali!”
“Baik Yang Mulia, hamba akan memanggilnya,” sahut Sima Qian sembari menangkupkan tinju untuk menunjukkan rasa hormat, kemudian meninggalkan Raja Zhang Jian yang mulai melamun di singgasana emasnya.
...***...
Sementara itu, di sisi barat ibu kota Kerajaan Naga Agung, di tengah deretan rumah-rumah reyot dan jalanan becek, Pangeran Zhang Jian berdiri dengan senyum lebarnya yang terkenal. Anak-anak berlari kecil mengelilinginya, pakaian mereka lusuh, kaki-kaki mereka tak beralas. Di tangan Zhang Jian ada sebuah boneka kayu kecil yang ia ukir sendiri malam tadi.
“Ini untukmu, Xiao Mei,” katanya sambil menyerahkan boneka itu kepada seorang gadis kecil yang matanya berbinar. “Kalau kamu menjaganya baik-baik, nanti aku akan buatkan yang bisa bergerak!”
Anak-anak bersorak riang. Seorang pria tua penjual bakpao lewat, dan seperti biasanya, Zhang Jian memanggilnya.
“Paman! Bakpao daging dan kacang manis seperti biasa, ya. Untuk semua orang!”
Penjual itu mengangguk sembari tersenyum lebar dan mulai membagikan dagangannya. Namun, saat Zhang Jian hendak merogoh kantong penyimpanannya yang biasa diikat di pinggang, ia mendadak terdiam. Tangannya menyentuh udara kosong.
Wajah sang pangeran tak berubah, hanya senyum lebar cengengesan muncul seolah tak terjadi apa-apa.
Dia menoleh ke dua pengawal yang berdiri tak jauh darinya—keduanya berperawakan tinggi, bersenjata tombak dengan wajah lelah yang sudah tak asing dengan kelakuan junjungannya.
“Senyum itu lagi,” gumam salah satu dari mereka.
Yang satunya hanya menghela napas dan mulai mengeluarkan beberapa uang Koin dari kantong pribadinya. “Kita patungan lagi, uangku hanya tersisa segini saja.”
“Sial! Uang makan siangku hilang, semoga saja Bibi Liu membolehkan aku berhutang makan siang lagi. Hutang dua hari yang lalu belum kubayar karena Pangeran tak kunjung membayar hutangnya pada Kita,” sahut yang pertama sambil menjulurkan uang pada pedagang bakpao. “Nasib jadi Prajurit, sudah gaji kita kecil, tapi malah digerogoti oleh Pangeran yang suka pencitraan,” keluhnya.
Mereka menyerahkan pembayaran dengan berat hati, sementara sang pangeran sibuk bercanda dengan anak-anak. Namun di balik senyum cerahnya, Zhang Jian tahu persis apa yang sedang ia lakukan.
Zhang Jian bukan hanya sekedar anak muda berhati baik yang ingin menghapus kemiskinan. Dia adalah seorang pangeran yang sadar bahwa stabilitas negeri ini sangat rapuh. Rakyat miskin yang lapar adalah lahan subur bagi pemberontakan. Dan para klan besar; klan Zhou, klan Huyan, klan Bai selalu mencari celah untuk merebut kekuasaan dengan dalih membela rakyat.
Itulah sebabnya, Pangeran Zhang Jian hadir dengan senyumnya. Dengan boneka kayunya yang dibagikan kepada anak-anak sambil mengumbar janji-janji manis yang disulam rapi.
Tujuannya bukan semata-mata cinta pada rakyat, melainkan memastikan rakyat itu mencintainya kembali. Jika rakyat percaya padanya, mereka tak akan mudah dirayu untuk mengangkat senjata melawan istana.
“Pangeran Zhang Jian, harapan negeri ini ... ia berbeda dari bangsawan lain, hanya beliau yang peduli pada kita rakyat miskin,” bisik para penduduk, sambil menatapnya dengan mata penuh keyakinan.
Padahal sang pangeran tahu betul, harapan mereka adalah alat baginya untuk meredam gejolak dari dalam.
Namun, segala bentuk harapan itu kini terancam bukan hanya oleh kemiskinan. Dalam beberapa bulan terakhir, angka kriminalitas meningkat pesat. Perampokan di jalan utama ibu kota merajalela, pembunuhan diam-diam di pelabuhan selatan, bahkan konon pencuri sudah mulai menyasar kaum bangsawan.
Zhang Jian sendiri sudah lebih dari lima kali menjadi korban pencopetan, dan selalu tak sadar sampai prajuritnya menyadari kantongnya hilang.
...***...
Tawa anak-anak menggema seperti gemericik air sungai ketika Zhang Jian menceritakan kisah tentang burung phoenix yang menolak menjadi naga karena lebih suka terbang bebas.
“Phoenix itu seperti kalian!” katanya sambil mengangkat boneka kayu phoenix ke udara. “Mungkin kalian kecil dan tak punya kekuatan sekarang. Akan tetapi suatu hari nanti, kalian akan membumbung tinggi!”
Anak-anak bersorak, salah satu dari mereka bahkan mencoba melompat setinggi-tingginya, nyaris menyentuh kepala pengawal.
Namun, kebahagiaan kecil itu terputus ketika salah satu pengawal membungkuk pelan dan berbisik di telinga sang pangeran.
“Pangeran Jian, Raja menyuruh Anda kembali ke istana sekarang!”
Zhang Jian menoleh ke arah Prajurit itu, wajahnya masih tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan sedikit rasa jengkel.
Dia menepuk lembut kepala salah satu anak kecil. “Aku harus kembali ke istana, tapi tak perlu khawatir. Aku akan kembali lagi ke sini sambil membawa beras dan buah-buahan! Bahkan mungkin membawa mainan kayu berbentuk Naga seperti lambang Kerajaan Kita.”
Anak-anak bersorak lagi, memeluknya erat sebelum Zhang Jian perlahan berdiri dan mulai berjalan pergi.
Salah satu pengawalnya menggelengkan kepala. “Janji manis lagi.”
“Dia mengumbar janji begitu di desa selatan bulan lalu,” sambung yang satunya. “Dan di desa timur sebelumnya.”
“Aku khawatir saat Pangeran berkunjung lagi ke desa-desa itu ia akan dilempar telur busuk karena mengingkari janjinya.”
“Palingan ia bersilat lidah lagi dengan mengumbar janji manis baru. Tapi lucu juga membayangkan bila Pangeran memang dilempari telur busuk.”
Mereka tertawa pelan, lalu mengikutinya dari belakang.
Dan begitu langkah kaki Pangeran Zhang Jian menjauh dari desa itu, senyum tipis tetap terpahat di wajahnya. Namun, sebenarnya pikirannya sedang sibuk merancang skenario selanjutnya, bagaimana menaklukkan hati rakyat, sebelum musuh-musuh dalam istana menaklukkan segalanya lebih dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Hana Aini
bang kelanjutan pendekar sakti manaa
2025-07-09
1
☛𝑮𝒂𝒊𝒋𝒊𝒏☚
kak, mau tanya apakah cerita xuan ji tidak akan ada lanjutannya lagi?
2025-07-09
1
Zamo
Hmm.. awal yang baik, mantab bang /Good/
2025-07-08
2